TUGAS jurnalisme adalah melayani dan membela publik. Dan untuk hal ini ia mensyaratkan banyak hal: data, fakta, verifikasi hingga tidak menghakimi. Kerja jurnalisme, sekali pun demi kepentingan publik, ia menempatkan etika sebagai pijakan untuk mencari, mengolah, dan menyebarkan informasi.
Jurnalisme, sekali pun bekerja demi kepentingan publik, tidak berarti bisa dengan sendirinya memperlakukan, bahkan apa yang disebut “musuh publik,” dengan kesewenangan. Jurnalisme memang harus memberi hak pada siapa pun mengemukakan pendapatnya –sebagai asas keseimbangan atau hak bicara – tapi di sisi lain ia tidak bisa memaksa siapa pun, sumber berita atau nara sumber, untuk bicara.
Karena itu memaksa narasumber bicara, dengan alasan apa pun, bahkan mengatasnamakan kepentingan publik, itu bukan jurnalisme yang baik.
Atas alasan apa pun jurnalis tidak bisa memaksa narasumber mengikuti kemauannya –juga sekali pun dengan dalih atas nama asas keberimbangan itu. Narasumber yang menolak bicara -dengan mengetahui risiko atas pilihannya- mesti dihormati. Jurnalisme wajib menghormati hak narasumber untuk hal semacam itu.
Karena itu memaksa narasumber bicara, dengan alasan apa pun, bahkan mengatasnamakan kepentingan publik, itu bukan jurnalisme yang baik. Bahkan tak layak disebut kerja jurnalisme. Apalagi menggunakan ruang publik, media sosial, untuk menaklukan narasumber agar tak memiliki pilihan selain mengikuti kemauan jurnalis tersebut.
Itu bukan kerja jurnalisme melainkan tindakan intimidatif. Dan jurnalisme jauh dari sifat intimidatif -sebuah kerja yang jauh dari etika dan sifat kemanusiaan. Jurnalisme abadi dan diperlukan karena ia berjalan di rel kemanusiaan. (domainhukum)
Komentar