oleh

Pemerintah Sebut UU Cipta Kerja Permudah Perizinan

Jakarta- Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil mengklaim hadirnya UU Cipta Kerja memunculkan harapan baru untuk membuka lapangan kerja, membuka peluang untuk berusaha serta menyederhanakan perizinan. “UU Ciptaker merupakan paradigma baru bagi Indonesia serta akan membuka kreativitas bangsa kita,” kata Sofyan dalam sebuah webinar, Kamis (5/11).

Sofyan A. Djalil mengutarakan bahwa dalam pembentukannya, UU Ciptaker memuat prinsip yang universal. Dalam urusan pemerintahan, seharusnya menggunakan prinsip semuanya diperbolehkan, karena untuk kepentingan umum, kecuali yang dilarang. Namun, realitasnya, semua hal perlu izin.

Banyaknya izin ini memberikan imbas kepada masyarakat, terutama menengah ke bawah. Sofyan mengatakan bahwa banyak pelaku usaha kecil dan menengah yang kesulitan melengkapi izin yang sedemikian rupa. “Hadirnya UU Ciptaker ini sebenarnya akan mengakomodir pelaku UKM, dengan prinsip semua boleh kecuali yang dilarang,” ujarnya.

Lebih lanjut, UU Ciptaker ini mengenalkan tata ruang sebagai panglima. Sofyan menyebut bahwa ada beberapa Kepala Daerah yang terkena sanksi hukum karena adanya peraturan yang tidak masuk akal. “Dalam UU Ciptaker, melalui tata ruang nanti semuanya akan diintegrasikan. Jika semuanya diintegrasikan, maka tidak ada lagi persoalan batas hutan, tidak ada lagi persoalan warna sehingga punya kepastian,” katanya.

Sofyan juga menegaskan ini harus didukung kualitas Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). “Kita perlu persiapkan RDTR secara matang dan lebih baik sehingga apabila nanti dimasukkan ke dalam sistem Geographic Information System Tata Ruang (GISTARU), semua orang bisa melihat apabila seorang ingin membuka usaha, ia dapat melihat langsung lokasi tanahnya,” ungkapnya.

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Teten Masduki mengatakan bahwa UU Ciptaker tidak membedakan perlakuan antara izin untuk usaha besar dengan izin UKM. “Izin yang banyak, ribet serta rumit ini akan memunculkan korupsi perizinan. Ini akan menyulitkan para pelaku UMKM sehingga banyak menjadi pelaku usaha informal. Kita perlu cegah hal ini dengan memberikan kemudahan pelaku usaha informal sehingga menjadi pelaku UKM dengan UU Ciptaker,” ujarnya.

Kata Teten,undang-undang ini akan mendorong terjadinya perubahan di sektor ekonomi. “Namun, perlu kita ingat agar UU Ciptaker ini tidak mendorong terjadinya liberalisasi investasi. Jangan sampai investasi besar akan menelan UMKM kita,” tegasnya.

Deputi Pengembangan Iklim Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Yuliot mengatakan selama ini perizinan menjadi faktor pertama menghambat investasi, maka diperlukan Online Single Submission (OSS) untuk mempermudah hal tersebut. “Di dalam sistem yang akan dibangun oleh BKPM yaitu OSS Risk Based Approach (RBA), sistem OSS ini akan diintegrasikan dengan sistem di Kementerian ATR/BPN yang terkait dengan tata ruang yaitu GISTARU dan dengan pelaku usaha atau kegiatan usaha itu sendiri,” katanya.
Berdasarkan Pasal 33 PP Nomor 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, kabupaten/kota yang sudah memiliki Perda RDTR dan sudah terintegrasi ke aplikasi OSS, izin lokasi akan terbit oleh lembaga OSS tanpa komitmen.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi, Sanny Iskandar menyebut keberadaan RDTR sangat mempengaruhi proses perizinan di Indonesia. Pasalnya, kepastian izin usaha sangat bergantung kepada kecepatan penyusunan dan penetapan RDTR oleh pemerintah daerah (Pemda). “Tujuan keberadaan OSS bagi investor ialah agar mendapat kepastian untuk izin usahanya (izin lokasi). Hal tersebut akan sangat tergantung pada kecepatan penyusunan dan penetapan RDTR oleh Pemerintah Daerah,” jelasnya.

Gubernur Bali, I wayan Koster menjelaskan bahwa UU Ciptaker dapat membantu pemda dalam merancang RDTR. Dia menilai bahwa UU Ciptaker berisi suatu ketentuan komprehensif yang mengharmoniskan sejumlah sektor yang selama ini menjadi ego sektoral yang sulit untuk ditembus dan itu merambat sampai daerah.

“Sebagai contoh di dalam bidang perizinan seperti di Bali misalnya untuk pembuatan hotel dan restoran antar Kabupaten/Kota itu tidak ada standarnya. Jadi salah satu untuk menstandarkan ini adalah UU CK dan saya berharap dari UU CK ini di bidang perizinan itu perlunya standardisasi perizinan dalam berbagai sektor yang perlu disinkronkan dan diharmoniskan,” katanya. (sumber: hukumonline).

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed