Direktorat Jenderal Imigrasi mengakui menghapus nama Djoko Tjandra dari sistem pencegahan dan penangkalan. Kepala Sub Direktorat Cegah Tangkal Direktorat Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Ditjen Imigrasi 2018-2020 Sandi Andaryadi mengatakan penghapusan dilakukan karena adanya surat dari Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri yang dikepalai Irjen Napoleon Bonaparte.
Sandi mengatakan Imigrasi menerima dua surat dari Divhubinter Polri pada 4 dan 5 Mei 2020. Surat pertama berisi penjelasan bahwa Divhubinter tengah melakukan pembaharuan data. Sementara surat kedua berisi pemberitahuan nama Djoko Sugiarto Tjandra sudah terhapus dari data red notice Interpol.
“Perihal penyampaian penghapusan red notice nomor kontrol A tahun 2009 atas nama Joko Soegiarto Tjandra,” kata Sandi saat bersaksi dalam sidang kasus suap penghapusan red notice di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 23 November 2020. Duduk sebagai terdakwa dalam sidang ini Brigjen Prasetijo Utomo.
Sandi mengatakan Imigrasi tidak pernah meminta informasi dari polisi mengenai status Djoko Tjandra. Dia bilang surat itu merupakan inisiatif dari Divhubinter Polri.
“Perihal penyampaian penghapusan red notice nomor kontrol A tahun 2009 atas nama Joko Soegiarto Tjandra,” kata Sandi saat bersaksi dalam sidang kasus suap penghapusan red notice di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 23 November 2020. Duduk sebagai terdakwa dalam sidang ini Brigjen Prasetijo Utomo.
Setelah mendapatkan surat itu, Sandi mengatakan, Dirjen Imigrasi memeriksa kembali surat pengajuan cegah tangkal saat Djoko pertama kali dinyatakan sebagai buronan pada 2009. Menurut dia, dari hasil diskusi internal disimpulkan tidak ada lagi dasar untuk memasukkan Djoko ke dalam sistem pencegahan dan penangkalan. “Kami sepakat tidak ada rujukan lagi untuk menempatkan JST,” kata dia.
Jaksa sempat mencecar mengenai alasan Dirjen Imigrasi menghapus Djoko dari daftar ‘orang terlarang’. Menurut Sandi, dalam surat yang dikirim Divhubinter Polri, tak ada permintaan penghapusan nama Djoko.
Ia menilai tak ada pula keharusan bagi imigrasi untuk menghapus seseorang dari sistem cegah-tangkal bila orang tersebut sudah tidak masuk daftar red notice. Terlebih, seseorang juga bisa dimasukkan ke dalam sistem cegah tangkal, meskipun dia tidak masuk daftar red notice. “Kenapa kemudian imigrasi sampai pada kesimpulan untuk menghapus dari ECS (sistem cegah-tangkal)?” tanya jaksa.
“Karena kami melihat bahwa rujukan untuk mencantumkan Djoko itu merujuk pada red notice,” jawab Sandi.
Gara-gara penghapusan ini, diduga Djoko atau Joko Tjandra bisa masuk ke Indonesia tanpa terdeteksi untuk mengajukan Peninjauan Kembali kasusnya di pengadilan. Belakangan, kasus ini menyeret dua jenderal polisi, yaitu mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo menjadi terdakwa.
Keduanya diduga menerima duit dari Djoko untuk mengurus kepulangannya ke Indonesia. Jaksa mendakwa Napoleon menerima uang SGD$ 200 ribu dan US$ 270 dan Prasetijo menerima US$ 150 ribu dari Djoko Tjandra. [] (sumber Tempo.co).
Komentar