Merek atau brand adalah merek dagang yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum yang terdaftar di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendaftaran Hak Merek didaftarkan secara resmi di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Pendaftaran Merek didaftarkan secara online dengan cara memesan nama merek yang mau didaftarkan, apakah nama tersebut sudah dipakai oleh seseorang atau badan hukum lain atau belum. Jika nama tersebut sudah dipakai oleh pihak atau perusahaan lain, biasanya nama tersebut akan secara otomatis ditolak oleh sistem. Setekah di cek dan nama tersebut aman maka kita disuruh membayar PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp. 2.000.000,-) ke Bank persepsi yang ditunjuk.
Tetapi, yang menjadi permasalahan adalah, setelah nama tersebut didaftarkan dan pemiliK merek sudah merasa aman, tiba tiba satu tahun kemudian merek tersebut bisa mendapat pemberitahuan merek tersebut akan ditolak dan biasanya si pemilik merek akan diberitahu melalui pengumuman online juga bahwa yang bersangkuatn diberi waktu atau kesempatan untuk menjawab atas akan ditolaknya merek yang mereka daftarkan.
Sementara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mereka bayarkan tidak bisa diambil kembali.
Bahkan banyak dari pihak pendaftar merek tiba tiba setelah dua tahun berjalan Pengumuman (Sertipikat Hak Merek keluar setelah dua Tahun), mendapatkan surat dari Direktorat Jenderal Hak dan Kekayaan Intelektual, bahwa merek yang mereka di tolak alias tidak bisa diterima.
Ini pasti akan membuat si pendaftar merek atau badan usaha terkaget kaget, soalnya merek yang mereka daftarkan sudah melalui proses yang berlaku yang di tetapkan oleh Pihak Hak Kekayaan Intelektual (HKI) seperti mengecek nama merek, membayar PNBP dan Mendaftarkan, sementara merek yang mereka daftar sudah beredar di masyarakat luas. Hal ini tentu akan sangat mempengaruhi dari segi keberlangsungan perusahaan, bukan hanya pada proses produksi tetapi yang pasti juga akan mempengaruhi dari keseluruhan manajemen perusahaan dari soal produksi yang sudah beredar, kemungkinan digugat dari pihak yang merasa mereknya di bajak, sampai ke para karyawan yang tentu juga akan berimbas pemutusan hubungan kerja secara massal jika produk yang mereka produksi merupakan produck yang membutuhkan sistem padat karya dan membutuhkan banyak karyawan seperti misal pabrik garmen, sepatu dsb.
Sementara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mereka bayarkan tidak bisa diambil kembali.
Padahal menurut Pasal 20 ayat 1 (a) UU No. 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografi, pengertian persamaan pada pokoknya ialah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan merek yang lain, dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat didalam merek merek tersebut.
Sedangkan menurut kaidah Hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang telah berlaku tetap, menyebutkan bahwa untuk menetapkan antara merek yang satu dengan merek yang lainnya maka merek-merek yang bersangkutan harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh (total indruk), tanpa mengadakan pemecahan atas bagian bagian dari merek tersebut (termasuk jenis barangnya), serta dengan membandingkan pada kaidah Hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No 1631.K/SIP/1978 tanggal 20 Juni 1978 yang berbunyi, ”walaupun sebagaian kata yang terdapat pada etiket masing masing merek mempunyai persamaan, tetapi apabila merek yang satu dengan yang lainnya memakai kombinasi, telah cukup memberikan daya pembeda pada ingatan dan pandangan konsumen (masyarakat)”.
Jadi kesimpulannya dalam menentukan ada tidaknya persamaan pada pokoknya antara satu merek dengan merek lainnya, maka merek yang bersangkutan harus dipandang secara keseluruhannya, atau dengan kata lain tidak cukup hanya dengan melihat dari satu sisi saja juga yang paling penting adalah falsafah dari merek tersebut.
Semoga tulisan ini dapat memberi masukan kepada bapak bapak yang bersangkutan untuk memikirkan bagaimana caranya agar merek yang didaftarkan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual tidak ditolak yang akan mengakibatkan kerugian bagi seseorang atau badan hukum yang sudah terlanjur mendaftarkan merek mereka tetapi satu atau dua tahun kemudia merek tersebut ditolak dengan alasan yang tidak jelas. (janto).
Komentar