UU No 11.2020 tentang Cipta Kerja memuat berbagai aspek, salah satunya adalah persaingan usaha tidak sehat. Beberapa pasal yang terdapat di UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengalami perubahan di UU Ciptaker. Saat ini, pemerintah tengah menyusun rancangan peraturan pemerintah (RPP) dari UU Ciptaker.
Atas hal tersebut, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kodrat Wibowo mengapresiasi tugas pemerintah yang telah menyelesaikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, terlebih lagi di dalam UU tersebut dan turunannya pemerintah selalu memasukkan pertimbangan persaingan usaha yang sehat.
“KPPU mendukung spirit yang ada di UU Cipta Kerja dan aturan turunannya yang bertujuan untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan mendatangkan investasi baru di Indonesia. Terlebih lagi dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya selalu mempertimbangkan iklim persaingan usaha yang sehat,” ujar Kodrat dalam keterangan pers, Senin (4/1).
Salah satu aturan turunan yang menjadi perhatian KPPU adalah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Sektor Postelsiar. Dalam RPP Postelsiar tersebut, pemerintah mengatur mengenai berbagi jaringan atau network sharing dan berbagai spektrum atau spectrum sharing untuk penerapan 5G. Menurut Kodrat, KPPU mendukung penuh network sharing dan spectrum sharing untuk penerapan 5G sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan yang ada.
Pada 2017 KPPU tidak merekomendasikan kedua hal itu untuk teknologi sebelum 5G dengan pertimbangan berdampak buruk terhadap persaingan usaha yang sehat karena dikhawatirkan akan terdapat persekongkolan alat produksi dan strategi pemasaran.
Kini network dan spectrum sharing diperbolehkan walaupun terbatas untuk penerapan 5G dengan tetap menjaga persaingan usaha yang sehat. Dalam implementasinya, lanjut Kodrat, KPPU akan melihat lebih rinci skema kerja sama network sharing dan spectrum sharing untuk penerapan 5G agar tidak ada penguasaan alat produksi dan pengaturan wilayah yang berdampak terhadap iklim kompetisi.
Spektrum frekuensi merupakan aset berharga bagi perusahaan telekomunikasi namun tetap merupakan sumber daya terbatas milik negara. Penguasaan atas spektrum frekuensi tentunya akan meningkatkan valuasi dari perusahaan telekomunikasi.
Dalam UU Cipta Kerja serta dalam draft RPP Postelsiar ditegaskan bahwa pemerintah dapat mencabut izin atas spektrum frekuensi jika penggunaannya tidak optimal. Tahapan pengajuannya ke Kemenkominfo, proses persetujuan, dan pengawasan atau pengendalian network dan spectrum sharing harus dikawal ketat.
Kodrat mengingatkan kerja sama dalam kedua hal tersebut yang tidak diperbolehkan ketika mengambil alih aset perusahaan yang lebih kecil atau yang tengah mengalami masalah.
“KPPU mempersilakan pelaku usaha telekomunikasi untuk melakukan kerja sama network dan spectrum sharing. Asalkan kerja sama ini tidak mengarah kepada unsur kepemilikan atau unsur penguasaan aset,” ujar Kodrat.
Agar memberikan kepastian berusaha, KPPU sangat senang jika dilibatkan untuk dapat memberikan pertimbangan ketika ada penyelenggara telekomunikasi yang akan melakukan network dan spectrum sharing, termasuk pengaturan peran KPPU secara tegas dalam RPP Postelsiar. Namun, Kodrat mengakui hingga saat ini lembaganya belum diminta pertimbangan oleh kementerian teknis.
“Jika diperkenankan kementerian teknis, kami siap untuk dilibatkan dalam memberikan rekomendasi dan peran KPPU dimasukkan dalam RPP Postelsiar. Tujuannya agar iklim persaingan usaha yang sehat dapat terus dijaga. KPPU juga berharap sebelum pelaku usaha melakukan merger atau kerja sama dapat berkonsultasi dengan kami. Tujuannya jangan sampai kerja sama tersebut tidak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Kami mengharapkan pre-notification bukan post-notification,” ungkapnya.
Perubahan beberapa pasal dalam UU Anti Monopoli tersebut diatur dalam Bab VI tentang Kemudahan Berusaha, tepatnya Bagian Kesebelas tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pada Pasal 118.
Secara garis besar terdapat empat poin penting perubahan terkait penegakan hukum anti monopoli. Pertama, perubahan upaya keberatan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menilai hal ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembuktian di pengadilan, mengingat hakim di Pengadilan Niaga umumnya telah terbiasa berurusan dengan aspek bisnis atau komersil.
Kedua, penghapusan jangka waktu penanganan upaya keberatan oleh Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung. Penghapusan dimaksud adalah penghapusan jangka waktu pembacaan putusan keberatan dan kasasi. Komisioner KPPU Afif Hisbullah menilai pasal ini dikhawatirkan berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha atas penyelesaian upaya keberatan yang dilakukannya.
Namun Afif yakin jika hal tersebut akan diatur oleh MA. Saat ini upaya keberatan masih menggunakan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan terhadap Putusan KPPU.
“Penghapusan jangka waktu pembacaan putusan keberatan dan kasasi menjadi ranah MA. Tapi sebenarnya rancanangan PP seperti apa itu harus disosialisasikan ke KPPU dan jangan terlalu lama. Pemeriksaan keberatan ada batas waktu lebih cepat, kalau tidak diatur cenderung tidak ada kepastian hukum terkait waktu,” jelasnya pada acara yang sama.
Ketiga, penghapusan batasan denda maksimal. Dalam hal ini KPPU masih ketentuan Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut perubahan dalam UU CIptaker. Karena terkait dengan kriteria, jenis dan besaran denda akan di atur dalam peraturan tersebut. Dan keempat adalah terkait penghapusan sanksi pidana dengan mengutamakan sanksi administratif. Namun sanksi pidana tetap berlaku untuk pelaku usaha yang tidak kooperatif dalam penegakan persaingan usaha. (sumber: hukumonline.com)
Komentar