Kapolri “baru,” Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo menggagas sejumlah program dalam seratus harinya. Salah satu program penting itu adalah menempatkan polsek, kepolisian sektor, untuk fokus pada keamanan dan ketertiban. Polsek tak lagi dibebani penegakan hukum, yang dalam hal ini dipegang kepolisian tingkat resort (polres).
Ini gagasan penting yang sekaligus berkait dengan salah satu janji Listyo lain saat menjalani fit and proper test di DPR beberapa waktu lalu. Kala itu Listyo menyatakan, jika ia menjadi kapolri, tak ada lagi kasus-kasus semacam Nenek Minah yang dihukum hanya gara-gara mencuri tiga biji kakao.
Kasus Nenek Minah adalah tamparan untuk rasa kemanusiaan dan kepolisian. Wanita 55 tahun itu diadukan PT Rumpun Sari Antan (RSA) karena mencuri tiga biji kakao milik perusahaan tersebut pada 2 Agustus 2009. Ia mengaku mengambil buah itu untuk dijadikan bibit.
Jaksa menjeratnya dengan Pasal 362 tentang pencurian. Pada 19 November 2009 nenek Minah divonis satu bulan penjara, 15 hari –lebih ringan dari tuntutan jaksa 3 bulan penjara. Ketua Majelis Hakim PN Purwokerto, Muslih Bambang Luqmono, tak kuasa menahan air matanya saat mengetuk vonis yang dijatuhkannya –yang disambut gembira keluarga nenek Minah karena Muslih tak memerintahkan nenek tersebut masuk penjara. “Kasus ini kecil, namun sudah melukai banyak orang,” kata Muslih.
Kasus Nenek Minah tentu tidak akan sampai pengadilan jika di tingkat paling bawah, masyarakat dan polsek bisa menyelesaikannya. Bahkan semestinya jika pun ia masuk ke tingkat polres, bisa diselesaikan –dengan diskresi yang dimiliki lembaga ini- tanpa harus mengirimkan kasus ini ke kejaksaaan yang kemudian memprosesnya hingga ke pengadilan. Dan lembaga pengadilan tak bisa menolak kasus yang masuk ke mereka. Yang dilakukan PT RSA mungkin adalah pembelajaran untuk orang-orang semacam Nenek Minah agar tidak melakukan pencurian. Sebuah “cara” pembelajaran yang jauh dari rasa manusiawi –selain hanya menunjukkan sebuah kekuasaan terhadap orang kecil.
Gagasan Kapolri Listyo Sigit Prabowo yang akan mentransformasikan –demikian istilah yang dipakai Listyo- fungsi Polsek sebagai harkamtibmas (pemeliharaan keamanan ketertiban masyarakat) akan “menukikkan” fungsi polisi sebagai ujung tombak penjaga keamanan dan menjaga ketertiban masyarakat. Untuk hal semacam ini maka sebenarnya yang dilakukan polisi sederhana, yakni bekerja sama dengan tokoh masyarakat atau bentuk-bentuk “tingkat pemerintahan” paling rendah, seperti RT atau RW.
Selama ini harus diakui organisasi RW –ketua RW- kurang diberdayakan untuk hal-hal berkaitan dengan keamanan. Padahal sebagai organisasi yang membawahi sejumlah RT ia bisa merupakan “mata telinga” apa yang terjadi di lingkungannya. Jika polsek merangkul RW di wilayahnya, misalnya dengan cara mengadakan pertemuan sebulan atau dua bulan sekali membahas masalah keamanan, maka tugas polsek menjaga ketertiban –juga mencegah berulangnya kasus Nenek Minah itu- “selesai.”
Hukum tak sekadar bicara tentang kebenaran. Lebih dari itu adalah soal keadilan. Banyak kasus-kasus yang memang jelas sebuah pelanggaran jika ia dilihat dari sisi undang-undang, tapi berbeda jika dilihat dari sisi kemanusiaan. Tradisi bangsa Indonesia –musyawarah, mufakat- adalah unsur terpenting dalam menyelesaikan hal-hal demikian di tingkat bawah. Maka di sini peran RW, Lurah, dan tokoh masyarakat untuk menghindari masalah-masalah yang sebenarnya tak perlu diproses hingga tingkat pengadilan seperti kasus Nenek Minah. Kasus Nenek Minah tidak akan terjadi jika pemuka masyarakat setempat dan kepolisian bisa mengajak dan menghentikan arogansi PT RSA yang ingin memberi pelajaran pada Nenek Minah. (tagar)
Komentar