PARA murid sekolah negeri kini tak lagi mesti tunduk pada aturan seragam sekolah berkaitan dengan agama yang mereka anut. Pekan lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Lewat SKB Nomor 02/KB/2021, yang disahkan pada Rabu, 3 Februari 2021, Pemerintah memberi waktu 30 hari kepada pemerintah daerah dan sekolah untuk “membereskan” aturan soal seragam dan atributnya yang tak sesuai dengan ketentuan dalam SKB. Kementerian Pendidikan membuka pengaduan yang berkaitan dengan pelanggaran “SKB tiga menteri” itu melalui unit layanan terpadu atau melalui website dan email. “Akan kami monitor untuk memastikan pelanggaran-pelanggaran itu tak terjadi,” ujar Nadiem Makarim, Rabu pekan lalu.
Tak sekadar “perintah,” SKB ini juga mengancam memberi sanksi kepada sekolah hingga kepala daerah yang tak segera melaksanakan. Penjatuhan sanksi dilakukan oleh tingkat di atasnya secara berjenjang. Pemda memberi sanksi kepada sekolah yang tak mematuhi SKB ini, gubernur menjatuhkan sanksi kepada kepala daerah yang mengabaikan SKB, dan Kemendagri menjatuhkan sanksi untuk gubernur yang tak melaksanakan. Nadiem juga akan memberi sanksi berkaitan dengan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi sekolah yang melanggar SKB tersebut.
SKB ini berlaku hanya untuk “sekolah negeri,” bukan sekolah swasta, dan tidak berlaku untuk sekolah di Aceh, provinsi yang memang memiliki otonomi khusus sebagai “daerah istimewa.” Dengan SKB ini maka diharapkan tidak lagi ada pemaksaan berkaitan dengan pemakaian seragam sekolah seperti terjadi di Padang.
Menurut Menteri Agama, Yaqut Cholil, latar belakang terbitnya SKB 3 Menteri ini karena adanya kasus-kasus pelarangan dan pemaksaan pakaian seragam bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang dilakukan pemerintah daerah. Ia memberi contoh peristiwa yang terjadi di Padang. “Saya meyakini itu hanya puncak gunung es,” kata Yaqut.
SKB ini memang “lahir” dari kasus seorang pelajar SMK Negeri 2 Padang yang mengaku dipaksa memakai jilbab. Lewat aku facebooknya, Elianu Hia, menyatakan ia tidak setuju anaknya memakai kerudung ke sekolah. Tak hanya itu, ia juga menggugah video berdurasi sekitar 12 menit kala menemui Wakil Kepala Sekolah SMKN 2. Belakangan perkara ini diselesaikan secara kekeluargaan. Di hadapan puluhan wartawan, Jumat, 22 Januari 2021 Kepala SMKN 2 Padang, Rusmadi, menyatakan minta maaf atas kesalahan penerapan kebijakan seragam sekolah.
Berita dari Padang soal seragam ini, serta merta “meletup” dan menjadi isu nasional. Dinas Pendidikan Padang sendiri segera menyurati seluruh sekolah menengah agar tidak memaksa siswi nonmuslim menggunakan kerudung ke sekolah. “Agar kejadian seperti itu tidak berulang lagi,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat, Adib Alfikri. Adib menyatakan pihaknya akan segera melaksanakan kewajiban yang diatur dalam SKB Tiga Menteri. Namun, ujar Adib, mungkin akan ada penyesuaian dengan kearifan lokal di Sumatera Barat.
Pada Kamis, 4 Februari lalu, DPRD Padang juga menggelar pertemuan dengan Dinas Pendidikan Kota Padang. Topik yang dibicarakan adalah perihal Surat Edaran Diknas pada 28 Januari 2021 tentang Pemakaian Seragam Sekolah. Dewan menilai SE itu bisa multi tafsir –dinilai sebagai pemaksaan- dan diminta dicabut. “Surat edaran itu segera dicabut kembali. Dengan demikian artinya SE tersebut tidak ada lagi,” ujar Ketua Komisi IV DPRD Padang, Azwar Siry.
Perihal aturan yang mewajibkan siswi sekolah negeri berpakaian muslimah di Padang diakui mantan wali kota Padang Fauzi Bahar sudah ada sejak zamanya, sekitar 15 tahun lalu. Menurut dia, mulanya aturan itu hanya imbauan, namun kemudian menjadi instruksi wali kota Padang pada 2005. Menurut dia kendati nomenklaturnya untuk siswi muslim, tapi di lapangan siswi nonmuslim juga mengenakan jilbab. Aturan ini kemudian diterapkan juga di wilayah lain di luar Padang. Menurut Fauzi, aturan yang ia buat selain bertujuan menjaga kaum perempuan dimaksudkan untuk mengembalikan budaya Minang.
Ketentuan yang wajib dicabut lewat SKB tersebut tidak termasuk peraturan daerah yang disusun oleh gubernur, bupati atau wali kota bersama DPRD. Menurut Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar, sekarang tak ada lagi peraturan setingkat perda yang mewajibkan pelajar memakai atribut agama tertentu. Menurut dia, kalau pun ada, yang bisa “menyetip” peraturan semacam itu hanya Mahkamah Agung. Ia menyilakan masyarakat menggugat ke Mahkamah Agung jika ada peraturan daerah “bernada” intoleran.
“SKB tiga menteri” soal seragam sekolah ini disambut beragam pendapat. Anggota Komisi Perlindungan Anak dan Ibu (KPAI), Retno Lisyarti, misalnya, menyebut SKB tersebut bisa menghentikan tindakan diskriminasi intoleren yang sering terjadi selama ini. Menrut komisioner bidang Pendidikan KPAI tersebut, aturan sekolah maupun aturan Pemda dalam mewajibkan penggunaan atribut tertentu merupalan pelanggaran hak asasi manusia.
Suara berbeda muncul dari Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas. Anwar menyatakan seharusnya pemerintah justru mewajibkan sekolah mengatur para muridnya untuk berpakaian seragam menurut agamanya masing-masing. Menurut dia, negara atau pihak sekolah bukannya membebaskan muridnya yang belum dewasa memilih apakah akan memakai pakaian yang sesuai atau tidak sesuai dengan agamanya, tapi mewajibkan anak-anak didiknya berpakaian sesuai ajaran agaman dan keyakinannya.
Penerapan aturan SKB, bersama ini dipandang juga belum jelas benar. Kepada Tagar sejumlah orang tua mempertanyakan perihal beredarnya kabar di media sosial yang antara lain menyatakan tak akan ada lagi ada ketentuan memakai jilbab di sekolah, hal yang membuat mereka khawatir. “Aturan berjilbab itu penting untuk pendidikan akhlak juga,” ujar Nafsiah warga Bogor yang memiliki anak perempuan yang tengah sekolah di tingkat sekolah dasar.
Munculnya disinformasi perihal SKB tiga menteri itu mendapat sorotan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Menurut Sekjen FSGI, Heru Purnomo, kurangnya sosialisasi aturan SKB itu telah menimbulkan kasalahan informasi di lapangan, sehingga muncul suara pro dan kontra di antara para pendidik atau orang tua. Heru menyatakan pihaknya menemukan munculnya disinformasi soal SKB itu disebarkan melalui media sosial.
Heru memperingatkan, pro kontra yang terjadi soal SKB ini tidak boleh dipandang sebelah mata karena salah-salah bisa dijadikan amunisi tindakan intoleren lainnya. FSGI, katanya, meminta Pemerintah melakukan sosialisasi SKB secara masif minimal satu tahun atau sampai selesainya pembelajaran jarak jauh (PJJ). Batasan waktu 30 hari seperti ditetapkan dalam SKB itu, untuk mencabut aturan tertulis seragam sekolah yang intoleren, ujarnya, terlalu terburu-buru. {}tagarid
Komentar