oleh

Inkonsistensi Otonomi Khusus Papua

-OPINI-861 views

 

Oleh: Ambassador Freddy Numberi

Laksamana Madya TNI (purn)

Dalam pelaksanaan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua pemerintah kurang memperhatikan dan tidak mengintegrasikan budaya Orang Asli Papua (OAP) dalam pembangunan yang ada. Hal itu baru terjadi dalam tahun terkahir Presiden SBY pada tahun 2014. Michael Brown (1966) mengatakan bahwa diskriminasi politik dan kesenjangan ekonomi memainkan peranan penting manakala suatu kelompok etnis atau minoritas ingin memisahkan diri untuk memiliki suatu pemerintahan sendiri.

Pergantian pemerintahan dari rezim otoriter ke rezim yang demokratis di era reformasi, belum merupakan suatu jaminan transformasi Indonesia ke arah yang lebih adil dan manusiawi, karena sistem politik yang diwarisis adalah budaya politik otoriter. Evaluasi kritis masyarakat baik di Pusat maupun di daerah tentang pelaksanaan Otsus Papua bukan hanya diskriminasi politik dan kesenjangan ekonomi saja tetapi juga dalam hal penegakan hukum (kasus korupsi dll), sosial-budaya (pembangunan yang salah arah), maupun pendekatan keamanan (harusnya pendekatan kesejahteraan) ikut menjadi faktor pemicu rasa ketidakpuasan rakyat Papua terhadap pemerintah (pusat dan daerah). Ketidakpuasan masyarakat Papua karena Otsus juga tidak dilaksanakan sesuai pasal-pasal yang ada (inkonsisten).

Kelima masalah tersebut dapat diuraikan lanjut sebagai berikut:

Pertama, hak-hak politik OAP dalam mengekspresikan jati diri mereka dalam alam Indonesia yang merdeka, demokratis serta di era reformasi ini seringdiredam, malah dicurigai sebagai separatis.

Kedua, kesenjangan ekonomi antara saudara-saudara kita (pendatang) dari luar dengan OAP sangat mencolok, karena dalam pelaksanaan Otsus tidak ada aksi afirmasi yang berpihak kepada OAP. Padahal UU Otsus 21/tahun 2001 mengamanatkan hal itu. Contohnya pasal 43 UU Otsus (Perlindungan hak-hak masyarakat adat). Intinya belum ada keberpihakan kepada OAP.

Ketiga, penegakan hukum yang tidak berjalan dengan baik, dimana banyak kasus korupsi yang menurut OAP tidak jelas penyelesaiannya, bahkan bagi OAP terkesan adanya oligarki, kolusi dan nepotisme. Dana Otsus yang dikucurkan lebih dari cukup, sayangnya OAP pada tingkat akar rumput tidak menikmatinya.

Disamping itu, banyak pasal-pasal dalam UU OTSUS 21/2001 yang “diamputasi” oleh Mahkamah Konstitusi, misalnya pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur oleh DPRP (pasal 7), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (pasal 45) juga dibatalkan Makamah Konstitusi. Partai Politik lokal (pasal 28) juga belum dibentuk. Ini adalah kekhususan-kekhususan yang ada dan telah disetujui Pemerintah Pusat, sehingga UU OTSUS itu bisa ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Kalau ini hilang, kekhususannya dimana???

Keempat, dalam bidang Sosial-Budaya masyarakat asli Papua juga tergerus dari akar budaya mereka, karena pembangunan yang ada selama ini apalagi dalam era Otsus tidak nampak pengintegrasian karakteristik budaya sesuai 7 (tujuh) wilayah budaya orang Papua.

Di samping tidak bersifat Tematik, Holistik, Integratif, Spasial dan Sustainable (tidak merusak lingkungan) dalam program maupun kebijakan yang dibuat dalam rencana pembangunan di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat). Denis Leith (The Politics of Power, University of Hawaii Press, 2003: hal.7) dalam penelitiannya di Papua menyebutnya sebagai “Cultural Genocide”(pemusnahan kultur manusia OAP) dan “Ecocide” (pemusnahan Lingkungan Hidup di Tanah Papua).

Kelima, dalam bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, pendekatan yang dilakukan adalah sekuriti dan selama ini menimbulkan benturan dan konflik yang akhirnya menimbulkan etidakpuasan rakyat terhadap pemerintah. Tidak konsistennya pelaksanaan Otsus ini sebagai akibat dari tidak terlaksananya komitmen pemerintah sesuai amanat UU Otsus tersebut.

Disamping itu masih ada rasa curiga dan distrust antara Papua dan Jakarta, karena dipicu lima faktor diatas. Kita tidak berhasil merebut hati dan pikiran Orang Asli Papua sebagai bagian integral dari Bangsa Indonesia. Presiden Jokowi sudah menunjukan hasilnya dalam periode–I kepemimpinan beliau. Dalam periode-II ini harus di dukung oleh semua pihak termasuk Kementrian/Lembaga dan pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat serta semua Stakeholders yang mencintai Tanah Papua.

Dalam periode-II Presiden Jokowi telah mengubah pendekatan keamanan/sekuriti, menjadi:

  1. Pendekatan Antropologis, dengan terus melibatkan dan mendengarkan masyarakat;
  2. Pendekatan Kesejahteraan, dengan terus menggenjot pembangunan di berbagai bidang untuk meningkatkan konektivitas yang berujung pada peningkatan kesejahteraan;
  3. Pendekatan Evaluatif, dengan secara ketat mengawasi pembangunan di Papua lewat kunjungan kerja rutin setiap tahunnya.

Selanjutnya sasaran dalam paradigma baru tersebut adalah:

  • Masyarakat Adat; (2) Agama; (3) Perempuan.

Didukung 5 agenda Prioritas:

(1) Kualitas Lingkungan Hidup dan Ketahanan Bencana;

(2) Tata kelola Pemerintahan dan Keamanan dengan tetap menghormati HAM;

(3) Transformasi Ekonomi Berbasis Wilayah Adat dari Hulu ke Hilir dan bersifat Tematik, Holistik, Integratif, Spasial dan Sustainable;

(4) SDM Papua yang unggul, Inovatif, berkarakter dan kontekstual;

(5) Infrastruktur Dasar dan Ekonomi.

Hasil akhir kedepan (output) adalah Orang Asli Papua yang sejahtera, aman, damai, adil, demokratis dan adanya penghormatan terhadap HAM. Sedangkan outcome yang diharapkan adalah Ketahanan Nasional Bangsa Indonesia dan Keutuhan NKRI lebih terjamin. []

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed