oleh

Orang Baduy Meratapi Hutan Amanat Leluhur yang Dirusak Penambang Emas

-OPINI-830 views

Oleh: Abdul Halim

(Penggiat Masyarakat Adat Nusantra dan Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial)

 

“Kami minta maaf, jeung ka Pemerintah. Kami kasebatna kaamanatan ku leluhur-leluhur kami. Bisi aya gunung kalebur, lebak ka rusak, buyut karobah. Ayeuna kabuktian Gunung Liman. Ayeuna eta, menta tulung, menta di jaga bener-bener, ku pemerintah. Kami geus kaseuseul ku karuhun. Waktu diamanatkeun leluhur kami, tah eta, geus kabuktian Gunung Liman sakali, eta minta ditutup”. “(kami minta maaf ke pemerintah. Kami ini disebutnya, diberi amanat leluhur-leluhur kami. Jangan ada gunung dilebur, lebak/dataran dirusak, buyut/ketetapan adat dirubah. Sekarang terbukti di Gunung Liman. Sekarang minta tolong, minta dijaga benar-benar oleh pemerintah. Soalnya kami sudah diperingatkanoleh karuhun, dulu sudah diamanatkan oleh leluhur kami demikian, sekarang sudah terbukti sekali di Gunung Liman ini, hutannya dirusak. Oleh karena itu kami minta kawasan hutan ini ditutup)”.

Demikianlah kata aki Pulung, utusan dari Baduy Dalam dengan suara yang parau sembari menahan tangis melihat kerusakan kawasan hutan titipan atau larangan yang dibuka untuk tambang emas. Bahkan, begitu luhurnya mereka, sampai minta maaf segala dan merasa bersalah kepada pemerintah karena gagal menjaga keutuhan hutan larangan atau titipan yang tidak boleh dibuka tersebut.

Beberapa hari yang lalu viral beredar video yang diunggah oleh @inforangkasbitung, dimana orang Baduy Dalam (aki Pulung) ditemani orang Baduy Luar (Panggiwa/wakil Jaro Pemerintahan) meninjau hutan di Gunung Liman yang rusak karena dibuka untuk penambangan emas oleh orang-orang yang tidak di kenal. Video tersebut berlabelkan Dokumen Jaro Cibarani. Gunung Liman masuk wilayah administrasi desa Cibarani atau istilah adatnya wewengkon adat Cibarani. Hutan atau desa ini berada disebelah Barat atau di luar desa Kanekes yang merupakan tempat tinggal orang Baduy. Jadi secara administrasi/ kewilayahan adat, tidak masuk dalam wewengkon adat Baduy.

Tapi kenapa orang Baduy memeriksa dan mengurusi hutan yang berada di luar wilayahnya. Bahkan, kenapa harus menangis bersedih menyaksikan kerusakan hutan yang berada di luar wilayah adatnya. Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan. Bagi para pencinta hutan dan lingkungan, mereka akan terenyuh dan prihatin, serta memberikan respek yang besar kepada orang-orang Baduy yang berkenan dan berkorban secara sukarela mengurusi kerusakan hutan di luar wilayahnya secara tulus ikhlas.

Tapi bagi kebanyakan orang bisa berlaku sebaliknya, kenapa dia harus intervensi ke wilayah orang lain yang bukan kewenangannya. Hal ini pula yang sering dialami orang-orang Baduy ketiga memeriksa 14 gunung-gunung lainnya yang berada di luar wilayahnya. Demikian pula dengan pemerintah.

Sering orang Baduy dianggap terlalu aneh-aneh bila meminta perlindungan atau dukungan untuk memeriksa ke empat belas gunung-gunung tersebut. Hal ini terjadi karena sering orang Baduy dilarang dan dihaling-halangi oleh masyarakat setempat bila masuk ke wilayah hutannya yang akan diperiksa oleh orang Baduy.

Orang Baduy, secara adat memang ketitipan amanat dari leluhurnya untuk menjaga dan membertapakan seluruh alam jagad raya ini. Istilah mereka adalah :”ngabartapakeun nusa telung puluh telu, bagawan sawidak lima, pancer salawe nagara” (membertapakan tiga puluh tiga pulau/wilayah, enam puluh lima leluhur utama, dan pusat dua puluh lima negara). Seperti bintang dan rembulan harus mereka bertapakan atau do’a kan supaya tetep beredar pada solar sistemnya. Ada hutan-hutan pada 15 gunung yang terangkai sebagai satu kesatuan yang mereka sebut Hutan Pangauban (Leuweung Pangahuban). Ke lima belas gunung-gunung tersebut diantaranya adalah: “Sanghiang Sirah, Honjek, Kembang, Liman, Kendeng, Bongkok, Madur, Antrawiyah, Arpat, Sanggahbuana, Gangpanjang, Sirahsikancrah, Gangmanik, Karangilat, dan Gede.”

Gunug Kendeng sendiri sebagai pusatnya berada di dalam desa Kanekes tempat orang-orang Baduy tinggal. Ke lima belas gunung tersebut secara administrasi berada di wilayah kabupaten Pandeglang dan Lebak, Provinsi Banten serta kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Kawasan ini kebanyakan berada dalam Taman Nasional (TN) Halimun-Salak dan sedikit di TN Ujung Kulon. Sedangkan beberapa gunung yang lainnya berada diantara keduanya.

Hutan-hutan tersebut merupakan “hutan perlindungan alam” yang tidak boleh diganggu gugat, karena kalau terjadi kerusakan pada hutan-hutan tersebut akan berakibat pada bencana yang fatal. Secara “bathiniah” orang Baduy wajib menjaga keutuhan hutan-hutan tersebut.

Tapi secara fisik, pemerintah dan aparat setempat yang bertugas menjaga keutuhannya. Setiap tahun atau minimal satu tahun sekali, orang-orang Baduy akan memeriksan hutan-hutan tersebut. Biasanya Puun sebagai pemimpin spiritual tertinggi, terlebih dahulu akan menerawang secara “bathiniah” apakah ada kesurakan pada hutan-hutan tersebut.

Apabila ada kerusakan maka diperintahkan kepada Jaro Pemerintahan untuk memeriksanya secara lahir/fisik. Perintahnya pun bersifat wajib: “Kalau punya uang boleh naik kendaraan umum, tapi kalau tidak punya uang bisa/harus jalan kaki”. Demikian yang dikatakan Jaro Pulung, Jaro Pemerintahan pada tahun 1997 ketika mendapatkan tugas dari dari Puun untuk memeriksa hutan di Gunung Sanghiang Sirah, Ujung Kulon. Apabila terjadi kerusakan parah dan membutuhkan penanganan khusus, maka akan diturunkan utusan dari Baduy Dalam dengan membawa peralatan tertentu.

Sebelumnya, pada tahun 1985, Jaro Pemerintahan yang bernama Asrap pernah ditugaskan Puun untuk memeriksa hutan di Gunung Gang Panjang yang berada di wilayah Kabupaten Sukabumi yang sedang digali emasnya. Kemudian dia datang bersama orang Baduy Dalam dengan membawa air yang sudah diberikan do’a oleh Puun. Air itu pun kemudian dikucurkan pada bagian lobang galian tambang supaya emas yang dicari tidak bisa diketemukan. Dan pada tahun 1986, Jaro Asrap juga pernah ditugaskan Puun untuk memeriksa hutan di Gunung Honjek, Kabupaten Pandeglang yang akan dibuka untuk trek off road. Demikian pula pada kawasan itu, dituangkan air yang sudah diberikan do’a oleh Puun supaya hutannya tidak bisa ditembus.

Begitu agungnya orang Baduy, melaksanakan tugas pelestarian alam dan mencegah kerusakan hutan secara tulus ikhlas dan tanpa pamrih, tapi mengapa pemerintah malah abai dan tidak peduli sedikitpun pada mereka. Orang Baduy hanya berharap, pemerintah mau mengutuhkan Lueweung Pangahuban sebagai kawasan konservasi dan orang Baduy diberikan kebebasan hanya untuk memeriksa kawasan tersebut.

Demikian yang pernah disampaikan Bapak Kolot, orang Baduy Luar yang kedudukannya sama dengan Baduy Dalam, karena dia yang bertugas memberikan penerangan bila Puun mengalami hambatan dalam menjalankan tugasnya. Orang Baduy tidak mengharapkan privilege atau keistimewaan seperti yang dicurigai pemerintah dalam kasus menghadapi tuntutan orang-orang Sedulur Sikep atau Samin pada kasus penambangan gunung kapur untuk semen oleh swasta yang berada jauh di luar wilayahnya.

Kawasan tersebut sebenarnya tinggal dihubungkan saja dengan TN Halimun-Salak dan Ujung Kulon sebagai satu kesatuan ekosistem dan bentang alam. Kehidupan satwa liar seperti harimau pun butuh bentang alam seperti itu untuk melakukan perkawinan dengan sesama jenisnya dari tempat lain supaya tidak terjadi incest. Jadi apa yang diterapkan masyarakat adat Baduy sama dengan ilmu kehutanan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tinggal memberikan pengesahan dan legalitas saja. Orang Baduy tinggal menunjukkan gunung-gunung mana saja yang dimaksud dan berapa luasnya. Dengan demikian selesai sudah semua persoalan secara tepat dan benar. []

 

 

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed