Oleh: Ambassador Freddy Numberi
Ketua Umum Forsemi Papua
- Pengantar
Khusus di Papua konflik etnis yang berkedok OPM ataupun KKB ini sudah berlangsung selama 58 tahun dan belum bisa dipadamkan sehingga membuat isu nasionalisme dan konflik etnik di Papua menjadi isu global. Eskalasi kekerasan dalam dinamika konflik yang ada di Papua terus direproduksi karena wilayah ini masih menyimpan begitu banyak masalah yang belum terpecahkan melalui solusi damai, adil, demokratis dan bermartabat. Pemerintah dalam mencari solusi konflik dan penanganannya harus mampu menghapuskan kekerasan di wilayah yang kaya akan sumber daya alam (emas, perak, tembaga dan kayu) tersebut.
- Rangkuman Khusus
Nasionalisme dan konflik etnik sejatinya merupakan fenomena yang timbul dari interaksi sosial. Nasionalisme sebagai paham yang cinta damai sebagai bangsa, sejatinya harus tetap ada demi mempertahankan identitas dan nilai-nilai moral bangsa yang telah menjadi ciri khas selama beratus-ratus tahun lamanya di Nusantara ini.
Namun, rasa cinta yang terlalu berlebihan juga bisa berakibat buruk bagi keberlangsungan hidup bangsa, karena akan cenderung menyepelekan suku/etnis lain, yang ujung-ujungnya rentan terhadap konflik. Oleh sebab itu, nasionalisme yang dipupuk haruslah pada porsi yang seimbang, dalam artian mencintai bangsa sendiri dan sekaligus juga menghargai perbedaan yang ada sesuai sasanti Bhinnekka Tunggal Ika.
Di tengah himpitan arus globalisasi dan maraknya kebebasan individu, semangat nasionalisme yang berfalsafah Pancasila seyogyanya harus lebih digencarkan lagi demi mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Konflik etnik di Papua seharusnya tidak perlu terjadi, bila pemerintah terus melakukakan pendekatan keamanan manusia dan menumbuh kembangkan sikap toleransi yang tinggi terhadap kelompok etnik lainnya.
Perbedaan-perbedaan yang ada harus digunakan untuk bisa melengkapi budaya nusantara yang ada, sehingga bangsa Indonesia dapat semakin diperkaya oleh khasanah budaya yang beragam di negeri tercinta. Konflik etnis di Papua yang “ingin merdeka” akan menjadi “hantu” di luar perang konvensional, manakalah penanganannya masih berbelit-belit dan tidak tuntas sampai keakar-akarnya termasuk oknum-oknum yang mendanai “hantu” ini.
Dunia internasional dalam hal ini Dewan Keamanan PBB (DK PBB) tampaknya selalu terlambat dalam merespons konflik-konflik yang sudah terjadi. Sebagai contoh antara lain kasus Rwanda, respons dunia internasional sangat terlambat dan DK PBB baru benar-benar serius ketika korban telah mencapai lebih dari 800.000 (delapan ratus ribu) orang sehingga intervensi dunia internasional menjadi kurang bermakna karena hal ini sangat terlambat. Negara-negara maju dan negara-negara lain lebih peduli untuk menyelamatkan warga negaranya keluar dari kawasan konflik dibandingkan bertindak cepat untuk mencegah konflik yang terjadi menyebar lebih luas. Akibatnya, ketika konflik sudah berlangsung sangat parah dan korban sudah sedemikian besar baru DK PBB masuk untuk menyelamatkan warga sipil yang tidak berdosa.
Hal yang sama juga terjadi dalam penanganan konflik di Bosnia. Konflik itu sudah berlangsung sangat lama, dan baru benar-benar ada intervensi DK PBB ketika korban sudah mencapai 8.000 (delapan ribu) orang. Sesuatu hal yang mestinya tidak boleh terjadi.
John Andrews dalam Tulisannya “The World in Conflict, Understanding the World’s trouble spots”(London,2015:hal.245) mengatakan:
“The low level conflict has led to human-right abuses by both sides, especially by Indonesian troops, leading by some accounts to 500.000 Papuans deaths over the past half century”.
Bahwa selama 50-an tahun ini, akibat kekerasaaan aparat keamanan telah meninggal 500.000 (lima ratus ribu) rakyat Indonesia dari etnis/suku Papua.
Pernyataan John Andrews dengan menganalisis konflik di Papua yang telah berlangsung 58 tahun ( sejak 1 Mei 1963) dan konflik etnis di Rwanda serta Bosnia, seharunya menjadi pelajaran serta dasar bagi kehati-hatian pemerintah Indonesia dalam hal pendekatan keamanan di Papua.
Untuk itu perlu diubah sesuai Pendekatan Keamanan Manunisa (human security) yang diamanatkan United Nations Genaral Assembly (UNGA) Resolution nomor 14/128, tanggal 4 Desember 1986. Indonesia sebagai negara anggota PBB memiliki tanggungjawab moral untuk melaksanakan resolusi tersebut seperti apa yang telah dilaksanakan oleh Presiden Jokowi dalam Paradigma Baru Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Mudah-mudahan Paradigma Baru Presiden Jokowi tersebut merupakan jalan keluar yang tepat dalam mengatasi konfilk etnis di tanah Papua yang telah menelan korban 500.000 (lima ratus ribu) rakyat Indonesia dari etnis/suku Papua sesuai pernyataan John Adrews tersebut.
Hal ini belum terlambat manakalah semua pihak dinegeri tercinta Indonesia ini secara bersama-sama mendukung Presiden Jokowi dalam meraih Papua Tanah Damai yang aman, adil, demokratis dan menghormati HAM dalam melaksanakan Pembangunan di Papua secara konsisten sesuai Paradigma Baru dan UU OTSUS Perubahan Kedua yang masih dalam proses.
- Penutup
Sri Sultan Hamengkubuwono X, pada perayaan 50 tahun (1 Mei 2013) Refleksi Papua Dalam Indonesia, memberi amanat kepada peserta yang hadir dengan judul: “Menuju Bumi Cendrawasih Damai Berkelanjutan”.
Sri Sultan menggaris bawahi hal-hal sebagai berikut:
- Pemerintah hendaknya secara simultan menyelesaikan masalah politik, ekonomi kerakyatan dan menghentikan gerakan bersenjata di Papua untuk mengantisipasi opini politik di luar negeri;
- Lingkaran konflik dan kekerasan harus secepatnya diputus;
- Perlu dibangun suasana damai dan saling percaya sebagai basis untuk menuju sebuah dialog damai yang tulus, jujur dan terbuka.
(sumber: Papua Review, Oktober-Desember 2013, hal:31)
Hal ini senada dengan Presiden Jokowi, bahwa ada kerinduan untuk menciptakan Papua tanah damai dan tidak ada konflik lagi di Tanah Papua. Konflik di Tanah Papua ini sudah berlangsung 58 (lima puluh delapan) tahun lamanya. Sudah banyak korban anak bangsa Indonesia yang berjatuhan, namun konflik etnis ini bagaikan bara yang tak kunjung padam.
Saran penulis kepada Yang Mulia Presiden Ir. H Joko Widodo, sebagai berikut:
- Label teroris yang diberikan kepada KKB/OPM segera dibasmi sampai ke akar-akarnya termasuk oknum-oknum yang mendanai KKB/OPM tersebut.
- Otonomi yang diberikan kepada Tanah Papua dalam bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri bagi Provinsi-Provinsi yang ada di Tanah Papua dengan Status Otonomi Khusus harus benar-benar dilaksanakan secara konsisten. Otonomi Khusus ini memuat 11 (sebelas) pasal kekhususan dari UU Otsus 21/2001 yang telah disempurnakan dalam UU Otsus Perubahan Kedua tersebut.
- Kasus-kasus korupsi di Tanah Papua yang sudah ada data dan faktanya di BPK, Kejaksaaan Agung dan Kepolisisa RI agar segera diproses, sehingga dapat memulihkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap Pemerintah Pusat.
- Dalam operasi yang dilaksanakan di Tanah Papua harus mengedepankan POLRI dan di backup oleh TNI bila eskalasinya meningkat. Hal ini untuk menghindari pelanggaran HAM yang disoroti oleh Komisioner Tinggi Dewan HAM PBB Michele Bachelet dalam siaran pers tanggal 4 September 2019. Termasuk juga dampak ikutan yang mungkin terjadi (salah tangkap, salah tembak, salah interogasi, dll) yang masuk dalam rumpun pelanggaran HAM
- Pendekatan Keamanan di Papua perlu diubah sesuai Pendekatan Keamanan Manusia (human security) yang diamanatkan United Nations General Assembly (UNGA) Resolution nomor 14/128, tanggal 4 Desember 1986.
- Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur untuk di Papua dikembalikan pemilihannya oleh DPRP sesuai Pasal 7 UU Otsus nomor 21 Tahun 2001. Hal ini untuk menghindari pemilihan calon yang tidak tepat, mengingat Gubernur adalah kepanjangan tangan Presiden RI di wilayahnya, yaitu tanah Papua. Untuk Gubernur dan Wakil Gubernur di tanah Papua harus memenuhi kriteria:
- Seseorang yang nasionalismenya terukur tidak mendua dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
- Integritas pribadi yang baik dalam hal kejujuran (tidak korupsi) dan komitmen untuk melaksanakan good and clean governance.
- Memiliki intelektual dan kemampuan menalar diatas rata-rata.
- Memiliki kualitas leadership yang baik dalam hal koordinasi maupun pelayanan terhadap masyarakat Papua.
- Tidak etnosentris maupun kolusi dan nepotisme untuk kepentingan etnis/suku dalam kelompoknya sendiri.
- Bangun komunikasi dengan para tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh generasi muda maupun milenial termasuk mereka yang berseberangan dengan Indonesia baik dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini penting dalam rangka mencari solusi damai yang permanen bagi Papua dalam bentuk dialog yang setara, bermartabat, tulus, terbuka dan jujur sesuai dengan apa yang dikatakan maupun diharapkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Mikhail Gorbachev, berkata :
“Peace is not unity in similarity but unity in diversity, in the comparison and conciliation of differences. And, ideally, peace means the absence of violence.” (The Road We Traveled, The Challenges We face, Gorbachev Foundation, Moscow 2006:hal.10). []
Jakarta, 27 Mei 2021
Komentar