Oleh: Zaenal Wafa
Awal dekade 80-an saat saya kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Jogja, saya mengetahui nama Syariefhans–yang ternyata bernama lengkap Syarief Hamid Shebubakar–sudah menjadi Pemimpin Umum majalah kebanggaan mahasiswa waktu itu yakni MUHIBBAH. Ia mengaku, mentor menggeluti bidang pers mahasiswa adalah Amir Effendi Siregar alm yang bersama Ashadi Siregar mendirikan Lembaga Pendidikan dan Penelitian Pers Yogyakarta (LP3Y). Sedangkan yang menjadi Pemimpin Redaksi majalah MUHIBBAH yg terkenal hingga ke luar komunitas UII ini, kalau tak salah adalah Mahfud MD. Boleh dibilang keberadaan MUHIBBAH pada jamannya harus diakui legend, keren dan sangat galak melawan rezim Orde Baru. Artikel opini, berita-berita sampai karikaturnya seringkali menyentak pembaca serta tak kalah dengan media-massa umum koran maupun majalah.
Pasca tradisi musyawarah pers mahasiswa di UII, posisi Pemimpin Umum MUHIBBAH berganti dipegang Mahfud MD dengan Pemimpin Redaksi AE Priyono alm. Di periode ini MUHIBBAH mengalami lagi pembredelan alias dilarang terbit oleh rezim penguasa. Menurut Hamid Basyaib yg kala itu sebagai staf redaksi paling muda, saat bredel MUHIBBAH awal 80-an itu penyebabnya tak lain gara-gara pemuatan empat tulisan yg sangat kritis terhadap pemerintah–1 tulisan AE Priyono, 1 tulisan Iman Masfardi dan 2 tulisan Hamid Basyaib.
Menyusul pelarangan terbit kedua buat MUHIBBAH tersebut, nama majalah mahasiswa tingkat universitas ini berganti nama menjadi HIMMAH yg bermakna sebuah tekad yg sangat kuat (taft). Mengapa ganti nama? Sebab, kalau tetap pakai nama MUHIBBAH maka rezim pemerintah tidak akan pernah memberikan Surat Izin Terbit (SIT) atau pun Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Info saja, era itu semua lembaga media massa wajib punya ijin tsb dan tak seperti pasca Era Reformasi hingga sekarang yang tak perlu izin, menjelma jadi industri bisnis, nyaris tanpa batas kontrol seperti media maya, medsos dan seterusnya.
Berdasarkan musyawarah komunitas pers mahasiswa pula, HIMMAH periode pertama dipimpin oleh A Fadhil Munawar yg kala itu kuliah dobel di FH UII dan Sastra Arab UGM yang kini memimpin Pondok Pesantren Darussalam yg besar di Ciamis. Sementara poisisi Pemred dipimpin oleh Hamid Basyaib dan saya memegang redaktur budaya. Periode-periode HIMMAH selanjutnya hingga dekade pertama 2000-an, saya mendapat info dari salah satu yuri Lomba Majalah Mahasiswa Tingkat Nasional bahwa HIMMAH selalu menjadi juara satu. Saya belum mendengar info valid bagaimana keberadaan atau prestasi majalah mahasiswa UII pada dekade akhir-akhir ini era yg sudah sangat berubah.
Beberapa tahun setelah lulus, saya bertemu dan ngobrol dengan Bang Syarief di ruang tamu kantor pengacara muda Ari Yusuf Amir di sayap gedung Hotel Grand Melia. Saat itu pada 2012 saya bersama beberapa alumni muda sebagai steering commitee tengah menyusun proposal Seminar Nasional “Merindukan Negarawan” oleh alumni. Ia bertanya saya angkatan tahun berapa di FH UII yg saya jawab angkatan 81 seangkatan Suparman Marzuki, dan Hamid Basyaib. Pada beberapa kesempatan selanjutnya, saya beberapa kali ketemu Bang Syarief termasuk di kediaman keponakan yang tak lain Ari Yusuf Amir dan biasanya ia akan, sedang atau sesudah bermain catur. Lawan catur dia bisa dengan Mas Ewin Moeslimin, Suparman Marzuki, Hamid Basyaib, Dhimas Gito, Mang Yanto Oce dan Dinda Ari Yusuf atau yang lain lagi.
Selama bergaul atau berinteraksi dengan Bang Syarief, tak bisa tidak bagi saya ia adalah sosok yg sangat rendah hati dan penuh perhatian. “Anda boleh mengkritik dan mendebat keras orang lain, tapi jangan sekali-kali sampai menghina dia,” ujar Bang Syarief suatu kali terngiang lagi. Mendengar ia kembali padaNya ba’da Subuh pagi tadi, bagai ada sesuatu yang menghentak batin saya dengan amat mengharukan. Selamat Jalan Bang Syarief dan berbahagialah…[]
Komentar