oleh

Syarief Telah Mengenolkan Diri

-OPINI-647 views

Oleh:  Hamid Basyaib

Syarief Hamid Shebubakar telah pergi untuk selama-lamanya tadi pagi, pukul 7.27 di rumahnya di Cikeas. Semoga seluruh keluarga besarnya tabah menghadapi kehilangan besar yang mengejutkan ini. Ia adalah bungsu dari lima bersaudara; dilahirkan di Palembang pada 11 September 1954.

Saya pribadi sangat kehilangan. Saya kehilangan seorang lawan catur yang tangguh, yang tak pernah menyerah jika belum sungguh-sungguh kalah; dan tidak pula merasa menang jika permainan belum berakhir dan ia memang sungguh-sungguh memenangkan pertarungan itu. Sampai minggu lalu kami masih bertanding, seperti minggu-minggu sebelumnya.

Ketika mendengar ia jatuh sakit, pada Sabtu malam 13 Juni lalu, saya duga itu hanya berlangsung dua-tiga hari; sebab sepengetahuan saya fisiknya sangat baik, antara lain berkat rajinnya ia berolah raga jalan kaki. Saya sudah menyiapkan diri untuk pertandingan sebentar lagi, toh dalam beberapa hari kami akan bertemu lagi di meja catur.

Harapan saya meleset jauh. Jauh sekali. Syarief tak akan pernah lagi menggeser kuda atau bentengnya. Ia tak akan pernah lagi mengeluhkan posisinya yang tersudut parah — tapi ia tak pernah satu kali pun berbangga atau menyombong, meski tentu dengan bergurau, ketika posisinya sedang sangat kuat ketika berhadapan dengan siapapun.

Bagi orang-orang terdekatnya, salah satu yang paling menonjol dari jejak Syarief adalah perubahan sikap hidupnya yang disebutnya menjadi “mengenolkan diri.” Ia terus belajar merendahkan hati sampai titik terendah yang ia bisa raih.

Ini pertarungannya yang lain: bagaimana ia merasa harus mengubah diri dan penampilan dari seorang pengacara sukses yang tidak dikenal sebagai penyabar menjadi orang biasa, yang lebih sering mengupayakan harmoni dengan siapapun.

Tanpa menyebut-nyebut irfan (tasawuf), saya rasa tahap itulah yang sedang ia usahakan serius dalam kekhusyukannya menghayati dan mengamalkan agamanya.

Dalam proses intensif untuk terus “mengenolkan diri” itulah, artinya memandang dan menempatkan dirinya sebagai hamba Allah yang daif, tadi pagi ia pergi jauh, meninggalkan seorang isteri dan empat anak, keempat kakak kandungnya, dan begitu banyak kawan yang sangat terkejut.

Maka husnul khatimah adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kepergian Syarif. Dan seperti banyak kerabat dan sahabatnya, saya pun turut gembira bahwa ia berakhir dengan cara yang sama dengan saat ia bermula: cara terbaik sebagai hamba Allah yang insaf akan serba kelemahan dirinya sebagai manusia. []

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed