USUL Presiden Joko Widodo menjabat tiga priode dengan mengamanden UUD merupakan usul berbahaya. Apa pun alasannya usul semacam ini harus segera ditolak. Usul itu jelas-jelas mengkhianati semangat reformasi.
Pemilu Presiden relatif masih jauh, 2024. Namun, sekelompok orang telah memunculkan wacana “presiden tiga priode.” Artinya masa jabatan seorang presiden maksimal akan tidak lagi dua priode atau 10 tahun seperti diamanatkan UUD. Kelompok ini menyebut, Jokowi diperlukan menjabat presiden sekali lagi, lima tahun lagi, agar rencana pembangunan yang ia canangkan terselesaikan.
Kita memiliki sejarah kekuasaan presiden yang berdampak buruk, yakni masa jabatan presiden yang “tak terbatas.” Rezim Orde Baru membawa Soeharto menjadi presiden selama 32 tahun yang menimbulkan KKN –korupsi, kolusi, nepotisme- di mana-mana. Kekuasaan korup ini yang mengakibatkan Soeharto ditumbangkan oleh mahasiswa pada 1998 dengan menduduki Gedung DPR/MPR.
MPR yang baru kemudian mengamandemen UU yang antara lain membatasi seorang presiden hanya bisa menjabat dua prioden -selain menelurkan TAP MPR tentang pemberantasan KKN.
Kita tak ingin kekuasaan ala Orde Baru berulang. Dua priode waktu yang cukup bagi presiden untuk melaksanakan janji-janjinya kepada rakyat. Jika seorang presiden berkuasa terlalu lama, justru berbahaya. Dengan posisinya ia bisa menciptakan apa saja demi keuntungan pribadi dan kelompoknya. Dengan jaringan kekuasaan, seorang presiden dapat mengarahkan atau bahkan melakukan hal-hal yang jauh dari sikap demokratis dan aturan hukum.
Wacana presiden tiga periode sesungguhnya sama sekali tak ada manfaatnya. Ia justru berbahaya bagi demokrasi. Rakyat harus menolak keinginan segelintir petualangan politik yang mencoba-coba mengubah priode presiden yang, sesungguhnya, hanya demi keuntungan mereka. (domainhukum)
Komentar