Oleh: Dr. KRT. MJ. Widijatmoko S.H, Sp.N
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memerintahkan untuk menjamin kepastian hukum, maka pemerintah wajib mengadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia, pendaftaran tanah tersebut meliputi :
- pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
- pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
- pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Pendaftaran tanah tersebut diadakan dengan memperhatikan keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial, ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri ATR/Kepala BPN. pendaftaran diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah, yang mengatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran tanah, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. Mengenai pendaftaran tanah ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP 24/1997), dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PMNA 3/1997), yang telah diubah dengan :
- Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah;
- Peraturan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
- Peraturan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
dan terkait juga dengan :
- Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PM ATR/BPN 6/2018);
- Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Sertipikat Elektronik (PM ATR/BPN 1/2021).
Dan selanjutnya yang terkait dengan pendaftaran tanah juga diatur dalam :
- Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Atas Tanah (PP 40/1996);
- Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia (PP 103/2015);
yang kemudian dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kedua peraturan pemerintah tersebut berdasarkan Pasal 103 PP 18/2021 dinyatakan tidak berlaku dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah (PP 18/2021).
Pendaftaran tanah (PP 24/1997 Pasal 1 angka 1 jo PP 18/2021 Pasal 1 angka 9) adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan (pemeliharan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian) data fisik (data fisik adalah keterangan mengenai letak batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya, Pasal 1 angka 6 PP 24/1997) dan data yuridis (data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya, Pasal 1 angka 7 PP 24/1997), dalam bentuk peta (Titik dasar teknik adalah titik yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu yang berfungsi sebagai titik kontrol atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas – Pasal 1 angka 13 PP 24/1997; Peta dasar pendaftaran adalah peta yang memuat titik-titik bidang dasar teknik dan unsur-unsur geografis, seperti sungai, jalan, bangunan dan batas fisik bidang-bidang tanah – Pasal 1 angka 14 PP 24/1997; Peta pendaftaran adalah peta yang menggambarkan bidang atau bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan tanah – Pasal 1 angka 15 PP 24/1997), dan daftar (Daftar tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat identitas bidang tanah dengan suatu sistem penomoran – Pasal 1 angka 16 PP 24/1997; Surat ukur adalah dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian – Pasal 1 angka 17 PP 24/1997; Daftar nama adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat keterangan mengenai penguasaan tanah dengan sesuatu hak atas tanah, atau hak pengelolaan dan mengenai pemilikan hak milik atas satuan rumah susun oleh orang perseorangan atau badan hukum tertentu – Pasal 1 angka 18 PP 24/1997; Buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran yang sudah ada haknya – Pasal 1 angka 19 PP 24/1997), mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun (Tanah adalah permukaan bumi baik berupa daratan maupun yang tertutup air, termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi, dalam batas tertentu yang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung maupun tidak langsung dengan penggunaan dan pemanfaatan permukaan bumi – Pasal 1 angka 1 PP 18/2021; Tanah Negara atau Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara adalah Tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah, bukan Tanah Wakaf, bukan Tanah Ulayat dan/atau bukan merupakan aset barang milik negara/ barang milik daerah – Pasal 1 angka 2 PP 18/2021; Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang Hak Pengelolaan – Pasal 1 angka 3 PP 18/2021; Hak Atas Tanah adalah hak yang diperoleh dari hubungan hukum antara pemegang hak dengan Tanah, termasuk ruang di atas Tanah, dan/atau ruang di bawah Tanah untuk menguasai, memiliki, menggunakan, dan memanfaatkan, serta memelihara Tanah, ruang di atas Tanah, dan/atau ruang di bawah Tanah – Pasal 1 angka 4 PP 18/2021; Ruang Atas Tanah adalah ruang yang berada di atas permukaan Tanah yang digunakan untuk kegiatan tertentu yang penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya terpisah dari penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan pada bidang Tanah – Pasal 1 angka 5 PP 18/2021; Ruang Bawah Tanah adalah ruang yang berada di bawah permukaan Tanah yang digunakan untuk kegiatan tertentu yang penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya terpisah dari penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan pada bidang Tanah – Pasal 1 angka 6 PP 18/2021; Satuan Rumah Susun adalah unit rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum – Pasal 1 angka 10 PP 18/2021), termasuk pemberian tanda bukti haknya bagi bidang tanah, ruang atas tanah, ruang bawah tanah yang sudah ada haknya dan hak atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya (Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan – Pasal 1 angka 10 PP 24/1997). Dalam pendaftaran tanah dilakukan “ajudikasi” yaitu kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.
Dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 terdiri atas :
- Pendaftaran tanah secara sistematik (Pasal 1 angka 10 PP 24/1997), atau dikenal juga dengan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) (Pasal 1 PM ATR/BPN 6/2018);
- pendaftaran tanah secara sporadik (Pasal 1 angka 11 PP 24/1997).
Pada salah satu kegiatan yang terdapat dalam pendaftaran tanah adalah pemberian hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun kepada pemilik tanah dan selanjutnya membukukan pemberian hak atas tanah tersebut berikut dengan data yuridis dan data fisiknya pada buku tanah dan surat ukur, yang pada akhirnya kemudian akan diterbitkan “alat bukti kepemilikan” hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun atas nama pemilik tanah.
Terkait dengan pemberian hak atas tanah sebagai perolehan hak atas tanah dan bangunan, berdasarkan Pasal 85 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (UU 8/2009) merupakan objek pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang berdasarkan Pasal 90 ayat (1) huruf i dan huruf j UU 8/2009 saat terhutangnya BPHTB adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, dan berdasarkan Pasal 90 ayat (2) UU 8/2009 sebagai pajak terhutang tersebut maka harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun tersebut, sehingga pembayaran BPHTB harus sudah dilakukan sebelum hak tersebut terdaftar sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pendaftaran tanah.
Kewajiban pembayaran BPHTB pada kegiatan pendaftaran tanah, khususnya pada kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat menjadi hambatan dalam kegiatan administrasi pendaftaran tanah dikarenakan pada masyarakat tertentu kemampuan ekonomi dan kondisi masyarakat ada kalanya tidak mampu untuk membayar BPHTB tersebut, akan tetapi berdasarkan Pasal 19 UUPA pemerintah wajib mengadakan dan menyelenggarakan pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan, dan pendaftaran tanah diselenggarakan dengan memperhatikan keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial, ekonomis serta kemungkinan penyelenggaraanya menurut pertimbangan Menteri ATR/Kepala BPN dan dibuat peraturan pemerintah yang mengatur biaya-biaya pendaftaran tanah, dengan ketentuan bahwa untuk rakyat tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. Keadaan tersebut menjadi salah satu kendala dalam penyelenggaraan PTSL, akan tetapi pada saat ini telah ditempuh dan diberikan jalan keluar dengan Pasal 33 PM ATR/BPN 6/2018 yaitu pemberian hak atas tanah, pembukuan, dan penerbitan sertipikat dalam kegiatan PTSL tetap dilakukan dan kewajiban pembayaran BPHTB tersebut dapat ditunda dengan dicatatkannya pada buku tanah di Kantor Pertanahan dan sertipikat yang diterbitkan, dan kewajiban pembayaran BPHTB harus dilaksanakan pada waktu akan dilakukan perbuatan hukum peralihan atau pembebanan hak setelah penerbitan sertipikat. Sehingga untuk memperlancar kegiatan PTSL menjadi pertanyaan apakah dimungkinkan adanya pembebasan pembayaran BPHTB dalam pemberian hak atas tanah pada kegiatan PTSL ? untuk itu perlu dilakukan analisa hukum terkait dengan ketentuan Pasal 19 ayat (4) UUPA dan jo Pasal 95 ayat (4) huruf a UU 28/2009 apabila pemerintah pusat hendak memberikan pembebasan BPHTB pada kegiatan PTSL.
Dari apa yang diuraikan di atas yang menjadi permasalahan dari analisa hukum ini adalah :
- Apakah dalam setiap pemberian hak atas tanah harus selalu membayar BPHTB ?
- Apakah pemerintah pusat (Kementerian ATR/BPN) dapat memberikan pembebasan BPHTB terhadap kegiatan PTSL ?
Pendaftaran Tanah merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang Tanah, Ruang Atas Tanah, Ruang Bawah Tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang Tanah, Ruang Atas Tanah, Ruang Bawah Tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas Satuan Rumah Susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya (Pasal 1 angka 9 PP 18/2021). Pendaftaran tanah terdiri atas :
- Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan (Pasal 1 angka 10 PP 24/1997) atau dikenal juga dengan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang selanjutnya disingkat PTSL adalah kegiatan Pendaftaran Tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi semua objek Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek Pendaftaran Tanah untuk keperluan pendaftarannya (Pasal 1 PM ATR/BPN 6/2018);
- pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal (Pasal 1 angka 11 PP 24/1997).
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang selanjutnya disingkat PTSL adalah kegiatan Pendaftaran Tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi semua objek Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek Pendaftaran Tanah untuk keperluan pendaftarannya (Pasal 1 angka 2 PM ATR/BPN 6/2018). PTSL meliputi seluruh objek pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia, sedangkan objek PTSL meliputi seluruh bidang tanah tanpa terkecuali, baik bidang tanah yang belum ada hak atas tanahnya maupun bidang tanah hak yang memiliki hak dalam rangka memperbaiki kualitas data pendaftaran tanah, dan objek PTSL juga meliputi bidang tanah yang sudah ada tanda batasnya maupun yang akan ditetapkan tanda batasnya dalam pelaksanaan kegiatan PTSL (Pasal 4 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) PM ATR/BPN 6/2018). Pelaksanaan kegiatan PTSL dilakukan dengan tahapan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (4) PM ATR/BPN 6/2018 :
- perencanaan;
- penetapan lokasi;
- persiapan;
- pembentukan dan penetapan panitia ajudikasi PTSL dan satuan tugas;
- penyuluhan;
- pengumpulan data fisik dan pengumpulan data yuridis;
- penelitian data yuridis untuk pembuktian hak;
- pengumuman data fisik dan data yuridis serta pengesahannya;
- penegasan konversi, pengakuan hak dan pemberian hak;
- pembukuan hak;
- penerbitan sertipikat hak atas tanah;
- pendokumentasian dan penyerahan hasil kegiatan; dan
- pelaporan.
Penyelenggaran PTSL tersebut dapat dilaksanakan melalui kegiatan PTSL, atau gabungan dari kegiatan PTSL dengan program dan/atau kegiatan lain, yaitu (Pasal 5 PM ATR/BPN 6/2018) :
- Program Sertipikasi Lintas Sektor;
- Program Sertipikasi massal swadaya masyarakat;
- program atau kegiatan sertipikasi massal redistribusi tanah objek landreform, konsolidasi tanah, dan transmigrasi; atau
- program atau kegiatan sertipikasi massal lainnya, atau gabungan dari beberapa/seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 40 PM ATR/BPN 6/2018, Sumber pembiayaan PTSL dapat berasal dari :
- Daftar Isian Program Anggaran (DIPA) Kementerian;
- Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi, Kabupaten/Kota;
- Corporate Social Responsibility (CSR), Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, badan hukum swasta;
- dana masyarakat melalui Sertipikat Massal Swadaya (SMS) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
- penerimaan lain yang sah berupa hibah (grant), pinjaman (loan) badan hukum swasta atau bentuk lainnya melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Pendapatan Negara Bukan Pajak.
Sumber pembiayaan PTSL dapat juga berasal dari kerjasama dengan pihak lain yang diperoleh dan digunakan serta dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan biaya dialokasikan juga untuk :
- pembayaran honorarium Panitia Ajudikasi PTSL, yang bukan merupakan anggota Satgas Fisik, Satgas Yuridis dan Satgas Administrasi; dan
- biaya mobilisasi/penugasan.
Dalam hal anggaran PTSL tidak atau belum disediakan, maka harus dialokasikan melalui revisi anggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyelesaian kegiatan PTSL terdiri atas 4 kluster yang meliputi (Pasal 25 PM ATR/BPN 6/2018) :
- Kluster 1, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya memenuhi syarat untuk diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah;
- Kluster 2, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya memenuhi syarat untuk diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanahnya namun terdapat perkara di Pengadilan dan/atau sengketa;
- Kluster 3, yaitu bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya tidak dapat dibukukan dan diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah karena subjek dan/atau objek haknya belum memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri ini; dan
- Kluster 4, yaitu bidang tanah yang objek dan subjeknya sudah terdaftar dan sudah bersertipikat Hak atas Tanah, baik yang belum dipetakan maupun yang sudah dipetakan namun tidak sesuai dengan kondisi lapangan atau terdapat perubahan data fisik, wajib dilakukan pemetaannya ke dalam Peta Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Kluster 4 ini merupakan kegiatan dalam rangka pembangunan sistem pemetaan bidang tanah dalam satu kesatuan wilayah administrasi desa/kelurahan secara lengkap.
Mengenai tahapan penegasan konversi, pengakuan hak, dan pemberian hak pada kegiatan PTSL Pasal 26 dan Pasal 27 PM ATR/BPN 6/2018 mengatur sebagai berikut :
Pasal 26
Dalam hal bidang tanah data fisik dan data yuridisnya memenuhi syarat untuk diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah (Kluster 1) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a, maka berdasarkan Berita Acara Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4), Ketua Panitia Ajudikasi PTSL menindaklanjuti dengan:
- menegaskan konversi menjadi Hak Milik atas nama pemegang hak yang terakhir, untuk bidang tanah yang alat bukti tertulisnya lengkap dan yang alat bukti tertulisnya tidak lengkap tetapi ada keterangan saksi maupun pernyataan yang bersangkutan, dan memberi catatan pada Risalah Penelitian Data Yuridis sebagai berikut :
“Berdasarkan data fisik dan data yuridis yang disahkan dengan Berita Acara Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis nomor … tanggal …, hak atas tanah ini ditegaskan konversinya menjadi Hak Milik dengan pemegang hak ……..….………….. tanpa/dengan catatan ada keberatan (tidak ke pengadilan/sedang diproses di pengadilan dengan/ tanpa sita jaminan) KETUA PANITIA AJUDIKASI PTSL ( ………………………)”
- menetapkan pengakuan/penegasan sebagai Hak Milik, untuk bidang tanah yang alat bukti kepemilikannya tidak ada tetapi telah dibuktikan dengan kenyataan penguasaan fisiknya selama 20 (dua puluh) tahun secara terus menerus termasuk pendahulu-pendahulunya, dan memberi catatan pada Risalah Penelitian Data Yuridis sebagai berikut :
“Berdasarkan data fisik dan data yuridis yang disahkan dengan Berita Acara Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis nomor … tanggal …, hak atas tanah ini diakui sebagai Hak Milik dengan pemegang hak ………………… tanpa/dengan catatan ada keberatan (tidak ke pengadilan/sedang diproses di pengadilan dengan/tanpa sita jaminan) KETUA PANITIA AJUDIKASI PTSL ( ………………………)”
- mengusulkan keputusan pemberian hak, untuk bidang tanah yang merupakan tanah Negara dengan mengusulkan secara kolektif kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan menggunakan Daftar Usulan Pemberian Hak Milik/Guna Bangunan/Pakai (Sistematik) (DI 310) dan dilampiri dengan Risalah Penelitian Data Yuridis, DI 201B dan DI 201C.
Pasal 27
(1) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, Kepala Kantor Pertanahan menetapkan Keputusan Pemberian Hak yang dilakukan secara kolektif dan memberikan catatan pada halaman terakhir Daftar Usulan Pemberian Hak Milik/Guna Bangunan/Pakai (Sistematik) (DI 310) sebagai berikut :
“Berdasarkan Pasal 66 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang … jo. Pasal … Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor … Tahun 2018 tentang … dan memperhatikan DI 310 Nomor … tanggal …, dengan ini saya selaku Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota …, memutuskan :
- memberikan Hak Milik/Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai dengan jangka waktu …….. tahun kepada sdr …….………………. dkk atas bidangbidang tanah yang mempunyai NIB sebagaimana yang tercantum pada DI 310 nomor …… tanggal …..………………….. nomor urut ………… s/d …………
- Hak Milik/Hak Guna Bangunan/Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada angka 1 berlaku sejak hak tersebut didaftar pada buku tanah.
- Masing-masing penerima hak diwajibkan membayar BPHTB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. KEPALA KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN/KOTA (…………………………. )”
(2) Pendaftaran hak atas bidang-bidang tanah Negara dilaksanakan berdasarkan keputusan pemberian hak oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana DI 310 yang di halaman terakhir memuat keputusan pemberian hak tersebut dan dilampiri dengan bukti pembayaran Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) atau Pajak Penghasilan (PPh).
Dan mengenai tahapan pembukuan, penerbitan sertipikat hak atas tanah, dan pendokumentasian dan penyerahan hasil kegiatan, serta pelaporan dalam kegiatan PTSL, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasa; 37, Pasal 38 dan Pasal 39 mengatur sebagai berikut :
Pasal 28
(1) Penegasan Konversi dan Pengakuan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dan huruf b, dan Penetapan Keputusan Pemberian Hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), maka dibukukan hak milik, hak guna bangunan, hak pakai dan/atau wakaf dalam buku tanah yang bersangkutan.
(2) Dalam pembukuan hak sebagaimana ayat (1) di atas, pembatasan-pembatasan yang bersangkutan dengan hak tersebut termasuk pembatasan dalam pemindahan hak, pembatasan dalam penggunaan tanah menyangkut garis sempadan pantai, sungai dan lain-lain, juga dicatat pembatasan penggunaan tanah hak dalam kawasan lindung.
(3) Penandatanganan Buku Tanah dilakukan oleh Ketua Panitia Ajudikasi atas nama Kepala Kantor Pertanahan.
(4) Bentuk, isi dan tata cara pengisian buku tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
(1) Dalam hal bidang tanah yang memenuhi syarat untuk diterbitkan sertipikat namun terdapat perkara di Pengadilan (Kluster 2) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b, maka dilakukan:
- pembukuan hak dengan mengosongkan nama pemegang haknya; dan
- penerbitan sertipikat Hak atas Tanah setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan amar putusannya menyatakan salah satu pihak sebagai pihak yang berhak.
(2) Dalam hal putusan pengadilan yang berkuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan setelah tahun anggaran kegiatan PTSL berakhir, maka Kepala Kantor Pertanahan yang menandatangani dan menerbitkan Sertipikat Hak atas Tanah.
(3) Penerbitan sertipikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan tanpa mengganti buku tanah yang telah ditandatangani Panitia Ajudikasi PTSL.
(4) Dalam hal bidang tanah yang memenuhi syarat untuk diterbitkan sertipikat namun terdapat sengketa (Kluster 2) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b merupakan tanah sengketa yang telah dilakukan mediasi namun belum terdapat penyelesaian;
(5) Tanah sengketa yang telah dilakukan mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan telah mendapat penyelesaian terhadap data fisik maupun data yuridis dapat dibukukan dan diterbitkan sertipikatnya (Kluster 1).
Pasal 30
(1) Dalam hal bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya tidak dapat dibukukan dan diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah (Kluster 3) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c, hasil kegiatan PTSL dicatat dalam daftar tanah dan daftar isian pendaftaran tanah lainnya.
(2) Bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya tidak dapat dibukukan dan diterbitkan sertipikat (Kluster 3) sebagaimana dimaksud ayat (1), dalam hal:
- subjek merupakan Warga Negara Asing, BUMN/BUMD/BHMN, Badan Hukum Swasta, subjek tidak diketahui, subjek tidak bersedia mengikuti kegiatan PTSL, subjek tidak bersedia membuat surat pernyataan terhutang BPHTB dan/atau PPh;
- objek PTSL merupakan tanah P3MB, Prk 5, Rumah Golongan III yang belum lunas sewa beli, Objek Nasionalisasi, Tanah Ulayat, Tanah Absente dan tanah kelebihan maksimum;
- objek PTSL merupakan tanah objek landreform, transmigrasi dan konsolidasi tanah yang tidak dapat diterbitkan sertipikat sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini;
- subjek tidak bersedia membuat surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah, bagi objek PTSL yang merupakan tanah bekas milik adat; dan/atau
- dokumen objek yang membuktikan kepemilikan atas tanah tidak lengkap.
(3) Bidang tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibukukan Buku Tanah dan diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanahnya kepada pihak yang berhak, setelah:
- dipenuhinya persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
- dimohon oleh pihak yang berhak dengan pembiayaan sendiri melalui mekanisme Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Penandatanganan penerbitan Sertipikat Hak atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Pasal 31
(1) Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan wakaf yang sudah didaftar dalam buku tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan memenuhi syarat untuk diberikan tanda bukti haknya, diterbitkan sertipikat hak atas tanah.
(2) Data yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembatasan-pembatasan termasuk pembatasan dalam pemindahan hak, pembatasan dalam penggunaan tanah menyangkut garis sempadan pantai atau pembatasan lainnya.
(3) Dokumen alat bukti hak lama yang menjadi dasar pembukuan dicoret silang dengan tinta dengan tidak menyebabkan tidak terbacanya tulisan/tanda yang ada atau diberi teraan berupa cap atau tulisan yang menyatakan bahwa dokumen itu sudah dipergunakan untuk pembukuan hak, sebelum disimpan sebagai warkah.
(4) Penandatanganan sertipikat hak atas tanah hasil pelaksanaan kegiatan PTSL dilaksanakan oleh Ketua Panitia Ajudikasi PTSL untuk dan atas nama Kepala Kantor Pertanahan.
(5) Sertipikat hak atas tanah diserahkan kepada pemegang hak atau kuasanya, dan Sertipikat wakaf diserahkan kepada nadzir.
Pasal 32
Lokasi PTSL yang di dalamnya terdapat Tanah Objek Landreform, Konsolidasi Tanah atau objek transmigrasi, maka dapat diterbitkan sertipikat hak atas tanah dengan ketentuan:
- Tanah Objek Landreform yang berdasarkan rencana tata ruang telah berubah menjadi tanah non pertanian;
- objek Konsolidasi Tanah telah diproses sesuai dengan tahapan menurut ketentuan yang berlaku akan tetapi belum diberikan hak kepada peserta Konsolidasi Tanah;
- objek transmigrasi telah diberikan Hak Pengelolaan akan tetapi belum diberikan Hak Milik atas Tanah kepada peserta transmigrasi atau lokasi objek yang sebelumnya menjadi lokasi transmigrasi akan tetapi oleh Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi telah dikualifikasi bukan lagi sebagai daerah transmigrasi.
Pasal 33
(1) Dalam hal penerima Sertipikat Hak atas Tanah tidak atau belum mampu membayar BPHTB dan/atau masih adanya tunggakan pembayaran PPh oleh pihak lain atas tanah yang bersangkutan maka tetap dapat diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah.
(2) Dalam hal peserta PTSL tidak atau belum mampu membayar BPHTB maka yang bersangkutan harus membuat surat penyataan BPHTB terhutang.
(3) Dalam hal bidang tanah berasal dari hasil jual beli di masa lampau dan pembeli sekarang tidak mempunyai bukti pembayaran PPh dari pihak penjual di masa lalu, maka yang bersangkutan harus membuat surat keterangan PPh terhutang.
(4) Materi muatan surat pernyataan BPHTB terhutang dan surat keterangan PPh terhutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dimuat dalam Keputusan Pemberian Hak atas Tanah dan selanjutnya dicatat dalam Buku Tanah dan Sertipikat sebagai BPHTB terhutang dari pemilik tanah yang bersangkutan atau PPh terhutang oleh penjual tanah atau yang bersangkutan.
(5) Penerbitan sertipikat kepada penerima hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan :
- penerima hak menyerahkan surat-surat bukti kepemilikan yang asli; dan
- penerima hak membuat Surat Pernyataan BPHTB Terhutang dan/atau Surat Keterangan PPh terhutang, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), yang menjadi warkah Hak atas Tanah yang bersangkutan.
(6) Kepala Kantor Pertanahan wajib menyampaikan daftar BPHTB terhutang dan/atau PPh terhutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) secara periodik dalam waktu 3 (tiga) bulan kepada Bupati/Walikota setempat untuk BPHTB, kepada Kantor Pajak Pratama setempat untuk PPh, yang memuat identitas peserta (NIK), letak tanah, luas tanah, tanggal dan nomor sertipikat serta Nilai Jual Objek Pajak/surat keterangan pajak.
(7) Daftar BPHTB dan PPh Terhutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) didasarkan pada aplikasi KKP.
(8) Peralihan hak atau perubahan atas Buku Tanah dan Sertipikat Hak atas Tanah hanya dapat dilakukan setelah yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa BPHTB terhutang dan/atau PPh terhutang tersebut sudah dilunasi oleh masing-masing wajib pajak.
(9) Surat Pernyataan BPHTB Terhutang, Surat Keterangan PPh terhutang dan format pengisian BPTHB/PPh Terhutang dibuat sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII, Lampiran IX dan Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 34
(1) Dalam hal tanah yang diajukan merupakan harta bersama yang belum dibagi/dipisahkan dan dimohon oleh salah satu pihak baik dalam masa perkawinan maupun perceraian maka tetap diterbitkan atas nama suami istri.
(2) Dalam hal tanah yang diajukan merupakan harta atau boedel waris yang belum terbagi, maka tetap diterbitkan atas nama seluruh ahli waris.
Pasal 35
(1) Dalam hal terdapat kesalahan administrasi dalam penerbitan Sertipikat Hak atas Tanah maka dilakukan perbaikan berdasarkan Berita Acara Perbaikan Kesalahan Administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Berita Acara Perbaikan Kesalahan Administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 36
(1) Panitia Ajudikasi PTSL melakukan pengumpulan, pengelompokan, pengolahan, dan penyimpanan data PTSL, yang meliputi:
- dokumen data yuridis yang terdiri dari identitas pemegang hak, alas hak, berita acara yang dibuat panitia, bukti pengumuman, Berita Acara Pengesahan data fisik dan data yuridis dan surat keputusan pemberian hak;
- dokumen data fisik: data pengukuran dan perhitungan hasil pengukuran, gambar ukur, peta bidang tanah, dan surat ukur;
- daftar isian pendaftaran tanah dan hak atas tanah;
- buku tanah;
- sertipikat Hak atas Tanah;
- bukti-bukti administrasi keuangan; dan g. data administrasi lainnya.
(2) Penyimpanan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk elektronik.
Pasal 37
(1) Ketua Panitia Ajudikasi PTSL menyerahkan hasil pelaksanaan kegiatan PTSL kepada Kepala Kantor Pertanahan pada akhir kegiatan PTSL dan disertai dengan data PTSL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
(2) Penyerahan hasil pelaksanaan kegiatan PTSL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk Berita Acara Serah Terima berkas dan warkah hasil kegiatan PTSL yang ditandatangani oleh Ketua Panitia Ajudikasi PTSL dan Kepala Kantor Pertanahan.
Pasal 38
(1) Hasil kegiatan PTSL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, disimpan, didokumentasikan dan diarsipkan oleh Kepala Kantor Pertanahan.
(2) Bentuk, cara penyimpanan, penyajian dan penghapusan dokumen PTSL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Hasil kegiatan PTSL disampaikan juga kepada Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta guna memperkuat basis data Kebijakan Satu Peta.
Pasal 39
(1) Pelaporan pelaksanaan kegiatan PTSL dilaksanakan pada saat:
- terjadi permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan PTSL; dan
- PTSL selesai dilaksanakan.
(2) Pelaporan pada saat terjadi permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan PTSL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Ketua Panitia Ajudikasi PTSL kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan tembusan Direktur Jenderal Hubungan Hukum Keagrariaan dan Kepala Kantor Wilayah BPN.
(3) Pelaporan pada saat PTSL selesai dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan secara berjenjang dan berkala dari Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN, dan Menteri.
(4) Laporan kemajuan pelaksanaan kegiatan PTSL selain dilaksanakan melalui Sistem Kendali Mutu Pelayanan Pertanahan (SKMPP), dan secara berkala kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Infrastruktur Keagrariaan dan Direktur Jenderal Hubungan Hukum Keagrariaan.
(5) Penanggung jawab pelaksanaan laporan, terdiri atas:
- Kepala Kantor Pertanahan, untuk tingkat Kabupaten/Kota; dan
- Kepala Kantor Wilayah BPN, untuk tingkat Provinsi.
(6) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
- Kepala Kantor Pertanahan, untuk Kantor Pertanahan; dan
- Kepala Kantor Wilayah BPN, untuk Kantor Wilayah BPN.
Pengaturan tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan diatur dalam Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi (UU 28/2009). Dimana dalam pasal 1 angka 41 memberikan definisi yang dimaksud dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 85 ayat (1) adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Dan pasal 85 ayat 42 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan. Selanjutnya pasal 85 ayat (2) menetapkan bahwa Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan meliputi:
- pemindahan hak karena :
1) jual beli;
2) tukar menukar;
3) hibah;
4) hibah wasiat;
5) waris;
6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) penunjukan pembeli dalam lelang;
9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10) penggabungan usaha;
11) peleburan usaha;
12) pemekaran usaha; atau
13) hadiah.
- pemberian hak baru karena :
1) kelanjutan pelepasan hak; atau
2) di luar pelepasan hak.
Sedangkan dalam pasal 1 angka 43 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan. Dan pasal 85 ayat (3) menetapkan bahwa Hak atas tanah adalah :
- hak milik;
- hak guna usaha;
- hak guna bangunan;
- hak pakai;
- hak milik atas satuan rumah susun; dan
- hak pengelolaan.
Disamping itu dalam pasal 85 ayat (4) UU 29/2009 menetapkan bahwa Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh :
- perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
- negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
- badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
- orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
- orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
- orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Pasal 86 ayat (1) dan ayat (2) menetapkan bahwa Subyek Pajak dan Wajib Pajak pada Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Sedangkan berdasarkan pasal 87 ayat (1) dan ayat (2) menetapkan bahwa Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak, yaitu dalam hal :
- jual beli adalah harga transaksi;
- tukar menukar adalah nilai pasar;
- hibah adalah nilai pasar;
- hibah wasiat adalah nilai pasar;
- waris adalah nilai pasar;
- pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
- pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
- peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
- pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
- pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
- penggabungan usaha adalah nilai pasar;
- peleburan usaha adalah nilai pasar;
- pemekaran usaha adalah nilai pasar;
- hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
- penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
Selanjunya pasal 86 ayat (3) menetapkan bahwa Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. Dan Pasal 85 ayat (4) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Pasal 86 ayat (5) menetapkan bahwa dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Akhirnya pasal 86 ayat (6) menetapkan bahwa Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 88 ayat (1) menetapkan bahwa Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan “paling tinggi” sebesar 5% (lima persen), dan ayat (2) menetapkan bahwa Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan “ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.
Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara yang diatur dalam pasal 89 (ayat (1), yaitu dengan mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (6). Selanjutnya pasal 89 ayat (2) menetapkan bahwa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Tanah dan/atau Bangunan berada.
Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan dalam pasal 90 ayat (1), untuk :
- jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
- tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
- hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
- hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
- waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan;
- pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
- pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
- putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pangadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
- pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
- pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
- penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
- peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
- pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
- hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; dan
- lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang.
Dan berdasarkan pasal 90 ayat (2), Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selanjutnya pasal 91, pasal 92 dan pasal 93 mengatur tentang kewajiban, pelaporan, dan sanksi terhadap Bea Perolehan Ha katas Tanah dan/atau Bangunan sebagai berikut
Pasal 91 ayat (1) : Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
Pasal 91 ayat (2) : Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
Pasal 91 ayat (3) : Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
Pasal 92 ayat (1) : Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Kepala Daerah paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
Pasal 92 ayat (2) : Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Pasal 93 ayat (1) : Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
Pasal 93 ayat (2) : Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
Pasal 93 ayat (3) : Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Kewajiban Pembayaran Dan Pembebasan Pembayaran BPHTB Pada Kegiatan Pendaftaran Tanah Secara Sistematik/PTSL Dalam Pemberian Hak Atas Tanah Baru.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 28/2009 bahwa yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, dan salah satu yang dimaksud dengan peroleh hak atas tanah adalah meliputi pemberian hak baru, baik karena kelanjutan pelepasan hak atau karena diluar pelepasan hak, dan pemberian hak baru tersebut adalah dalam hal pemberian hak atas tanah berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan. Pemberian hak tanah tersebut merupakan salah satu tahapan dalam pendaftaran tanah, baik pendaftaran tanah secara sistematik/pendaftaran tanah sistematik lengkap (PTSL) maupun pendaftaran tanah secara sporadik, yang dilakukan dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali maupun karena pendaftaran tanah kelanjutan pelepasan hak. Dengan demikian di dalam pendaftaran tanah pada tahapan pemberian hak atas tanah munculah kewajiban pembayaran BPHTB, dan berdasarkan Pasal 87 ayat (1) dan ayat (2) UU 28/2009 dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak (NPOP), dan NPOP untuk :
- pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah : nilai pasar;
- pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah : nilai pasar.
Dan apabila NPOP tersebut tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP PBB pada tahun terjadinya perolehan hak atas tanah, maka dasar pengenaan NPOP adalah NJOP PBB, dan dasar NPOP tidak kena pajak (NPOPTKP) ditetapkan paling rendah sebesar Rp.60.000.000,- setiap wajib pajak (Pasal 87 ayat (3) dan ayat (4) UU 28/2009). Dan saat terhutangnya pajak BPHTB dan saat harus dilunasinya pajak BPHTB dalam Pasal 90 ayat (1) dan ayat (2) UU 28/2009 untuk :
- pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah : sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; dan
- pemberian hak diluar pelepasan hak adalah : sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
dan penetapan BPHTB tersebut ditetapkan dalam peraturan daerah.
Sedangkan berdasarkan Pasal 85 ayat (4) UU 28/2009 ditetapkan bahwa objek pajak BPHTB yang tidak dikenakan kewajiban pembayaran BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh :
- perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
- negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
- badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
- orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
- orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
- orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Dengan demikian untuk pendaftaran tanah, dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali, baik yang dilakukan melalui pendaftaran tanah secara sistematik/PTSL maupun pendaftaran tanah secara sporadik, yang dilakukan karena atau ada kegiatan “konversi hak” atau karena “perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama” di dalam pendaftaran tanah tersebut, yang menimbulkan adanya pemberian hak baru atas tanah, baik sebagai kelanjutan pelepasan hak maupun di luar pelepasan hak, maka “tidak dikenakan/bebas kewajiban pembayaran” BPHTB. Sehingga apabila di dalam pendaftaran tanah secara sistematik/PTSL terdapat kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (4) UU 28/2009 tersebut, maka “demi hukum harus dibebaskan” dari kewajiban pembayaran BPHTB. Mengenai ketentuan hal ini, karena sudah ditetapkan dalam UU 28/2009 sebagai ketentuan wajib maka ketentuan tersebut juga harus ditetapkan dalam peraturan daerah yang mengatur tentang BPHTB.
Pemerintah Daerah juga diberi kewenangan untuk melakukan pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak BPHTB dan/atau sanksinya sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 95 ayat (4) huruf a UU 28/2009. Dengan demikian untuk kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik/PTSL dimungkinkan untuk diberikan pembebasan kewajiban pembayaran BPHTB oleh Pemerintah Daerah setempat dimana sedang diselenggarakan kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik/PTSL, maka kewenangan pembebasan terhadap kewajiban pembayaran BPHTB tersebut menjadi kewenangan Pemerintah Daerah, baik tingkat I maupun tingkat II. Kewenangan Pemerintah Daerah tersebut didasarkan pada UU 28/2009. Adapun pemberian pembebasan kewajiban pembayaran BPHTB oleh Pemerintah Daerah terdiri atas :
- Pembebasan kewajiban pembayaran BPHTB yang “demi hukum” harus diberikan karena objek pajak BPHTB yang diperoleh wajib pajak berdasarkan Pasal 85 ayat (4) UU 28/2009;
- Pembebasan kewajiban pembayaran BPHTB yang diberikan dan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU 28/2009;
Sehingga kewajiban pembayaran BPHTB di dalam tahapan pemberian hak atas tanah baru terdapat ketentuan “pengecualian” yang memberikan pembebasan kewajiban pembayaran BPHTB. Dengan demikian di dalam kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik/PTSL “dimungkinkan” diberikan pembebasan kewajiban pembayaran BPHTB, baik yang ditetapkan oleh pemerintah daerah maupun yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Kewenangan pemerintah pusat untuk memberikan keringanan atau pembebasan terhadap kewajiban pembayaran dalam pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik/PTSL, termasuk kewajiban pembayaran BPHTB, adalah didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 19 ayat (3) dan ayat (4) UUPA. Di dalam ketentuan tersebut secara tegas ditetapkan bahwa dalam pelaksanaan pendaftaran tanah yang akan diselenggarakan “harus memperhatikan” :
- keadaan negara dan masyarakat;
- keperluan lalu lintas sosial;
- keperluan ekonomis; dan
- kemungkinan penyelenggaraannya;
semuanya itu harus berdasarkan pertimbangan Menteri ATR/Kepala BPN, dan di dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah tersebut terhadap rakyat yang tidak mampu harus dibebaskan dari kewajiban pembayaran biaya-biaya pendaftaran tanah, termasuk pajak dan pungutan lain yang terkait dengan pendaftaran tanah. Pengaturan pembebasan kewajiban pembayaran tersebut harus ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan pada tingkat “peraturan pemerintah”, hal ini jelas tegas diatur dalam Pasal 19 ayat (4) UUPA.
- Kewenangan Pemerintah Pusat Sebagai Penyelenggara Pendaftaran Tanah Secara Sistematik/PTSL Memberikan Pembabasan Kewajiban Pembayaran Biaya PTSL Dan BPHTB Dalam Kegiatan PTSL.
Dengan berlakunya UU 28/2009 terhitung sejak tanggal 1 Januari 2010, maka pajak BPHTB termasuk sebagai pajak daerah, dan masing-masing pemerintah daerah, baik tingkat I dan tingkat II diberi kewenangan untuk mengatur penetapan BPHTB terhadap perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan “Peraturan Daerah”. Tentunya peraturan BPHTB di dalam Peraturan Daerah tetap berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam UU 28/2009. Pasal 95 ayat (2) dan ayat (3) UU 28/2009 menetapkan bahwa Peraturan Daerah yang mengatur tentang pajak daerah, termasuk BPHTB, tidak berlaku surut, dan didalam Peraturan Daerah tersebut paling sedikit mengatur ketentuan mengenai :
- nama, objek, dan Subjek Pajak;
- dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
- wilayah pemungutan;
- masa Pajak;
- penetapan;
- tata cara pembayaran dan penagihan;
- kedaluwarsa;
- sanksi administratif; dan
- tanggal mulai berlakunya.
Sebagaimana sudah diuraikan di atas, bahwa terhadap kewajiban pembayaran BPHTB pada kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik/PTSL telah diatur dalam Pasal 85 ayat (4) UU 28/2009 dan juga dimungkinkan dilakukan berdasarkan Pasal 19 ayat (3) dan ayat (4) UUPA. Dengan pertimbangan yang diberikan oleh Menteri ATR/Kepala BPN dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah secara sistematik/PTSL, pembebasan pembayaran biaya pendaftaran tanah secara sistematik/PTSL dapat diberikan kepada masyarakat, dan khusus terhadap masyarakat yang tidak mampu (bukan masyarakat miskin), pembebasan biaya pendaftaran tanah secara sistematik/PTSL wajib diberikan pada masyarakat yang tidak mampu. Di dalam pemberian pembebasan biaya pendaftaran tanah secara sistematik/PTSL oleh pemerintah pusat, tentunya juga dapat diberikan pembebasan terhadap kewajiban pembayaran BPHTB maupun pungutan-pungutan lain yang terkait dengan kegiatan dan penyelenggaraan pendaftaran tanah secara sistematik/PTSL.
Mengenai pembebasan biaya pendaftaran tanah secara sistematik/PTSL dan pembebasan kewajiban pembayaran BPHTB oleh pemerintah pusat dan/atau oleh Pemerintah Daerah perlu dilakukan koordinasi dan pengaturan lebih lanjut, karena apabila dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (4) UUPA maka pengaturannya harus dibuat dalam bentuk “Peraturan Pemerintah”, sendangkan apabila didasarkan pada ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU 28/2009 yang menjadi dasar kewenangan bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan pembebasan kewajiban pembayaran BPHTB, di luar kewajiban pembebasan pembayaran BPHTB yang ditetapkan dalam Pasal 85 ayat (4) UU 28/2009, dilakukan Pemerintahan Daerah dengan telah diatur dalam Peraturan Daerah, dan kemudian ditetapkan dalam Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota.
KESIMPULAN.
- Berdasarkan ketentuan Pasal 85 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 28/2019, objek BPHTB adalah “perolehan hak atas tanah atau bangunan”, termasuk pemberian hak atas tanah baru baik karena kelanjutan pelepasan hak, atau diluar pelepasan hak, sehingga pemberian hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun pada pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan melalui PTSL adalah termasuk objek pajak BPHTB, akan tetapi “demi hukum” dengan Pasal 85 ayat (4) huruf d, huruf e dan huruf f UU 28/2019 diberi pengecualian dan tidak termasuk dalam objek pajak BPHTB apabila perolehan tanah dan atau bangunan yang diperoleh :
- perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
- negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
- badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
- orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
- orang pribadi atau Badan karena wakaf; dan
- orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Dan berdasarkan Pasal 95 ayat (4) pemerintah daerah dengan peraturan daerah dapat juga mengatur ketentuan mengenai :
- pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya;
- tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau
- asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.
Sedangkan berdasarkan Pasal 19 ayat (4) PP 24/1997 pemerintah pusat menetapkan peraturan pemerintah yang mengatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran tanah, termasuk PTSL, dengan ketentuan bahwa terhadap rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari biaya tersebut, dan didalam penyelenggaraan pendaftaran tanah harus memperhatikan keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial, ekonomi, serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri ATR/Kepala BPN. Dengan demikian kewajiban pembayaran BPHTB dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali atau PTSL “dimungkinkan” dilakukan pembebasan kewajiban pembayaran BPHTB. Dengan dasar Pasal 19 ayat (4) UUPA, pemerintah pusat (Kementerian ATR/BPN) dapat menetapkan pembebasan seluruh biaya dalam kegiatan PTSL, termasuk kewajiban pembayaran BPHTB; dan Pemerintah Daerah berdasarkan Pasal 95 ayat (4) UU 28/2009 melalui Peraturan Daerah juga dapat memberikan dan mengatur ketentuan mengenai “pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan sanksi BPHTB”.
- BPHTB berdasarkan UU 28/2009 adalah termasuk dalam pajak daerah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, pengaturan tentang BPHTB sebagai pajak daerah berdasarkan Pasal 95 ayat (1) UU 28/2009 ditetapkan dengan “Peraturan Daerah”. Terhadap tarif BPHTB Pasal 88 ayat (1) memberikan batasan “paling tinggi” 5%, yang berarti tarif terhadap BPHTB tidak boleh melebih 5%, dengan demikian melalui Peraturan Daerah, Pemerintah Daerah diperbolehkan menetapkan tarif BPHTB “kurang dari” 5%, dan berdasarkan Pasal 95 ayat (4) huruf a UU 28/2009 di dalam Peraturan Daerah dapat juga mengatur ketentuan mengenai “pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan dalam hal tertentu atas pokok pajak dan atau sanksinya”. Sedangkan pendaftaran tanah sistematik lengkap atau PTSL adalah diselenggarakan oleh pemerintah pusat (Kementerian ATR/BPN) yang didasarkan pada kewajiban Pasal 19 UUPA dan peraturan pelaksanaannya untuk memberikan jaminan kepastian hukum, yang dalam penyelenggaraannya harus memperhatikan keadaan negara dan masyarakat keperluan sosial, ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri ATR/Kepala BPN, dan di dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah terhadap rakyat yang tidak mampu harus dibebaskan dari pembayaran biaya tersebut. Pembebasan biaya PTSL berarti termasuk pembebasan terhadap kewajiban pembayaran BPHTB. Dan untuk pembebasan tersebut pemerintah pusat (Kementerian ATR/Kepala BPN) dapat menetapkannya melalui suatu peraturan yang ditetapkan dalam Pasal 19 ayat (4) UUPA pada tingkat peraturan berupa “Peraturan Pemerintah”.
Demikian analisa hukum terhadap pembebasan BPHTB dalam kegiatan PTSL yang dapat kami berikan, dan tidak lupa apabila terdapat kekuarangan atau kesalahan, kami terbuka untuk kritik dan perbaikannya. []
Komentar