Berikut catatan ICJR terkait RUU TPKS:
ICJR IJRS dan PUSKAPA sangat menyayangkan tidak ditetapkannya RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR pada rapat paripurna 16 Desember 2021. Kami menyerukan bahwa pembahasan RUU TPKS harus dimulai seketika ketika masa sidang selanjutnya dilakukan.
Setelah itu, Badan Musyawarah DPR harus segera menentukan apakah RUU TPKS akan dibahas dalam Rapat Komisi/ Rapat Gabungan Komisi/ Rapat Baleg atau Panitia khusus lintas komisi, untuk kemudian dibahas bersama Pemerintah.
Melihat kasus kekerasan seksual yang belakangan diberitakan, dengan berbagai permasalahannya, mulai dari sulitnya korban mendapat ruang aman, adanya ancaman kriminalisasi bagi korban, hingga korban dan keluarga korban sulit mendapatkan perlindungan dan pemulihan yang komprehensif, maka RUU TPKS semakin dibutuhkan.
ICJR, IJRS, dan PUSKAPA juga mendorong agar pembahasan RUU TPKS antara DPR dan Pemerintah dilakukan dengan komprehensif sehingga menghasilkan peraturan yang melindungi korban. Pembahasan harus dilakukan dengan semangat mengedepankan kepentingan korban kekerasan seksual dan menekankan perlindungan setiap orang menjadi korban kekerasan seksual.
Berdasarkan draf RUU TPKS versi Baleg pada 8 Desember 2021, ICJR, IJRS, dan PUSKAPA memberikan apresiasi adanya perkembangan substansi draf yang mengarah pada kemajuan, mulai dari: pengaturan ketentuan tindak pidana yang mengarah pada penghindaran duplikasi pengaturan yang sudah ada; masuknya ketentuan tindak pidana berkaitan dengan pelecehan seksual dalam ranah elektronik; hingga mengakomodir substansi yang sempat hilang mengenai sikap aparat penegak hukum dalam berinteraksi dengan korban kekerasan seksual.
Dari draf 8 Desember 2021, terdapat tiga catatan yang perlu direspons untuk menjamin penguatan perlindungan korban kekerasan seksual di Indonesia, yaitu: (1) pengaturan tindak pidana; (2) pengaturan perlindungan hak korban; dan (3) pengaturan hukum acara.
Pertama, terkait pengaturan tindak pidana kekerasan seksual. Pasal 1 angka 2 draf 8 Desember 2021, memberikan definisi kekerasan seksual mencakup definisi dari berbagai UU yang juga mengatur tentang kekerasan seksual. Hal ini memberikan jaminan korban untuk memperoleh hak yang sama dengan hak yang diatur dalam RUU TPKS terlepas dari ketentuan UU yang digunakan dalam kasus yang sedang berjalan.
Draft 8 Desember 2021 belum memuat rumusan yang menentukan rentang perbuatan kekerasan seksual yang telah diatur dalam UU lain tersebut. Oleh karena itu, RUU TPKS perlu membuat daftar perbuatan dalam UU lain tersebut yang dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Ketentuan ini perlu dirumuskan dalam pasal tindak pidana atau dalam ketentuan penutup. Selain itu, hal yang perlu mendapat catatan berkaitan dengan pengaturan pelecehan seksual dengan sarana elektronik. RUU TPKS perlu mencegah korban pelecehan seksual elektronik dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang larangan distribusi/transmisi/membuat dapat diakses muatan melanggar kesusilaan dan Pasal 4, 8, 9, 10 UU Pornografi. Ketentuan Peralihan RUU TPKS perlu mencegah korban dilaporkan kembali atas dugaan tindak pidana kesusilaan atau pornografi, termasuk kemungkinan untuk menghapus pasal yang berpotensi mengkriminalisasi korban.
Kedua, terkait dengan ketentuan perlindungan korban kekerasan seksual. ICJR, IJRS dan PUSKAPA mengenali empat tantangan dalam memenuhi hak korban , yaitu pada aspek: regulasi, struktur/fasilitas/layanan, penganggaran, dan sumber daya manusia. Dalam tataran normatif/regulasi, RUU TPKS perlu mengatur jenis-jenis hak secara komprehensif. Pengaturan tersebut harus menjangkau hak prosedural, hak layanan yang terdiri dari layanan kesehatan darurat (kontrasepsi, aborsi, visum gratis), pencegahan penyakit, rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi psikososial, rumah aman, dan hak pemulihan yang terdiri dari pendampingan komprehensif, pemulangan/reintegrasi, jaminan sosial, restitusi dan kompensasi.
ICJR, IJRS dan PUSKAPA mencermati dalam draf 8 Desember 2021, ketentuan mengenai pemulihan komprehensif korban masih minim. Pemulihan berkaitan dengan tempat tinggal sementara, mendapat identitas baru, tempat kediaman baru dan pemulihan sosial dan budaya sama sekali tidak dimuat dalam RUU TPKS.
Terkait dengan hak pemulihan, RUU TPKS juga harus membuka peluang pengaturan kompensasi. Negara sudah menganggarkan biaya untuk kastrasi kimia dan rehabilitasi dalam UU Perlindungan Anak. Namun, negara belum memberikan kompensasi khusus kepada korban kekerasan seksual. Pengaturan yang ada hanya mengatur kewajiban restitusi oleh pelaku dapat membuat pemulihan korban tidak berjalan dengan baik karena tidak mengikutsertakan upaya pemulihan yang berasal dari negara. . Peran negara dalam menyediakan kompensasi menjadi momentum tepat untuk membahas RUU Bantuan Korban yang dapat mengatur mekanisme penganggaran dan pengelolaan anggaran untuk pemulihan korban tindak pidana.
Ketiga, RUU TPKS harus memberikan terobosan hukum mengenai hukum acara. Upaya telah dilakukan dalam draft 8 Desember 2021, dengan mengakomodir banyak pembaruan mulai dari kemudahan pelaporan, sikap tindak aparat penegak hukum, hingga adanya pemeriksaan dengan mekanisme elektronik. Yang perlu dikuatkan dalam ketentuan hukum acara RUU TPKS adalah (i) jaminan penggunaan alat bukti hasil pemeriksaan forensik, baik DNA maupun non-DNA yang harus ditekankan dalam RUU, (ii) pengaturan tentang akomodasi yang layak terhadap saksi dan korban dengan disabilitas harus diatur secara jelas siapa yang menentukan, (iii) pengaturan mekanisme pemeriksaan dengan perekaman elektronik dan pertemuan pendahuluan yang tidak hanya dibatasi pada tahap penyidikan, dan harus menjamin ketentuan teknis acara untuk hak yang butuh implementasi khusus, misalnya hukum acara untuk hadirnya penetapan perintah perlindungan sementara.
Kami menyambut baik masuknya RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR yang kemudian akan dibahas bersama Pemerintah. Untuk itu ICJR, IJRS, dan PUSKAPA, merekomendasikan:
- DPR segera tetapkan RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR
- Badan Musyawarah (Bamus) segera menentukan penanggung jawab untuk membahas RUU TPKS di DPR untuk masa sidang berikutnya
- Presiden segera menunjuk penanggung jawab untuk membahas RUU TPKS mewakili pemerintah. Pemerintah pun perlu mengambil sikap dan mempublikasikannya terhadap RUU TPKS.
- Pembahasan RUU TPKS antara DPR dan Pemerintah harus selalu terbuka, substansial, dan mengakomodasi perbaikan yang diusulkan. (sumber ICJR)
Komentar