oleh

Menteri Lutfi, Lin Che Wei, dan kasus Ekspor CPO

-OPINI-443 views

KEJAKSAAN Agung kini tak perlu lagi ragu untuk memeriksa mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng dan turunannya. Dengan status tak lagi sebagai menteri, tentu Kejaksaan Agung lebih leluasa meminta keterangan Lutfi dalam perkara rasuah ini. Demikian sebaliknya Lutfi, tentu kini lebih memiliki banyak waktu dibanding saat menjadi menteri.

Rabu, 15 Juni, lalu Presiden Joko Widodo memberhentikan Lutfi sebagai menteri perdagangan. Posisi mantan duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat itu digantikan Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Zulkifli Hasan. Selain Lutfi, reshuffle kabinet  itu  juga menimpa Menteri Agraria Sofyan Djalil. Presiden menunjuk mantan Panglima TNI, Hadi Tjahjanto, sebagai orang nomor satu di Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Pergantian kursi kabinet di tengah pemeriksaan kasus “korupsi ekspor CPO” ini menarik, terutama, tentu saja, karena yang terkena adalah Muhammad Lutfi. Kejaksaan sendiri, Mei lalu,  telah menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Wisnu Wardhana sebagai tersangka dalam kasus ini. Selain Wisnu, tersangka lain: Lin Che Wei (analis ekonomi), Master Parulian Tumanggor (Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia), Stanley MA (Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup), dan Picare Tagore Sitanggang (General Manager PT Musim Mas).  Wisnu dan Lin Che Wei diduga terlibat dalam pengeluaran surat izin ekspor CPO. Lin Che Wei atau Weibinanto Halimdjati dikabarkan selama ini menjadi anggota tim Asistensi pada Kementerian   Koordinator Bidang Perekonomian. Menurut Kejaksaan, Lin Che Wei   juga ikut rapat-rapat pada Kementerian Perdagangan.

Pada titik ini  muncul sejumlah pertanyaan perihal ditetapkannya Lin Che Wei sebagai tersangka. Pertama, jika ia dituduh mempengaruhi kebijakan  seorang direktur, apakah otomatis dengan demikian ia jadi tersangka? Bukankah seorang direktur memiliki wewenang dan semestinya, dengan posisinya itu, ia bisa mengenyampingkan masukan dari Lin Che Wei?  Dengan logika ini, maka jika kemudian benar para pengusaha sawit itu mendapat izin Persetujuan Ekspor (PE) CPO yang dianggap “ilegal,” maka sulit menyebut itu karena Lin Che Wei. Kedua, jika kejaksaan menyebut bahwa Lin Che Wei menerima uang dari para pengusaha sawit -dan itu benar-  maka pertanyaannya: apakah otomatis itu hasil kejahatan, suap misalnya. Ini mesti hati-hati karena sebagai konsultan tentu ia berhak menerima upah besar atas analisanya.

Kasus ini menarik perhatian publik karena bukan saja berkaitan dengan terjadinya kelangkaan minyak goreng beberapa waktu lalu,  tapi, terutama, “adanya Lin Che Wei,”  figur yang selama ini dikenal sebagai  “anak muda cerdas  yang memiliki penguasaan luas dalam soal-soal ekonomi” –hal yang membuat yang bersangkutan mendapat sejumlah penghargaan. Hal yang juga bisa jadi alasan Kementerian Koordinator Ekonomi merekrutnya sebagai anggota tim asistensi  -sebuah tim yang tentu hanya “diminta masukan” dan tak memiliki kewenangan mengambil putusan.

Kejaksaan harus hati-hati menelisik perkara ini. Publik tentu menunggu kejaksaan memeriksa Lutfi karena bagaimana pun, sebagai pucuk pimpinan Kementerian Perdagangan, ia mestinya ikut bertanggung jawab, ikut mengawasi bawahannya. Kita membenci korupsi. Kita muak dengan segala bentuk suap. Tapi, kita juga tak ingin mereka yang tak bersalah menjadi korban. Adagium hukum menyatakan, “Lebih baik membebaskan seribu orang bersalah daripada menghukum satu orang tak bersalah.” (domainhukum.com)

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed