Ferdy Sambo mendapat vonis hukuman mati dan banyak yang memuji vonis tersebut. Di media sosial, sepanjang persidangan kasusnya, banyak yang berharap –juga meminta- demikian hukuman yang harus dijatuhkan kepada mantan Kepala Divisi Propam Polri. Sebuah hukuman yang dinilai setimpal atas perbuatannya yang menyebabkan tewasnya Brigadir Yosua Hutabarat.
Hukuman mati merupakan jenis hukuman paling kontroversial dalam sistem hukum. Dua aliran besar berpendapat perihal hukuman ini –apa pun bentuk pelaksanaannya. Pertama yang menilai hukuman mati tetap diperlukan dan kedua, menentang dan menyatakan sudah tak layak lagi di muka bumi ini ada jenis hukuman mati.
Hukuman merupakan bentuk dari balasan terhadap seseorang atas tindak pidana –perbuatan kejahatan- yang dilakukannya. Tujuannya, secara ilmu hukum, beragam. Ada sebagai bentuk balas dendam; bertujuan agar tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan untuk mengubah perilakunya, yakni menjadi “manusia yang baik.”
Pada berbagai negara hukuman mati telah dihapus karena dianggap tidak sesuai hak asasi manusia (HAM). Indonesia selalu dikritik karena tetap memiliki hukuman mati dalam sistem hukumnya. Kritik itu selalu berulang jika Pemerintah menghadiri sidang-sidang HAM PBB. Kemajuan Indonesia dalam kaitan dengan kritik hukuman mati ini adalah “jalan tengah” yang dicantumkan dalam KUHP baru. Intinya, setelah 10 tahun menjalani masa pidana, seorang terpidana hukuman mati bisa beraling hukumannya ke jenis hukuman lain. Tentu ada syaratnya. Yang pasti “jalan tengah” ini mendapat banyak pujian.
Ferdy Sambo sangat terbuka mendapat jalan tengah itu. Kelak kita akan melihat bagaimana reaksi publik atas jalan tengah yang mungkin akan didapat Sambo. Betapa pun, hukuman mati, sesungguhnya tidak manusiawi. Sama dengan tindakan membunuh seseorang. Hanya untuk yang pertama tetap ada kesempatan untuk mengubah hidupnya. (domainhukum.com)
Komentar