MAJELIS Kehormatan Mahkamah Konstitusi seharusnya memberi sanksi pemecatan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman. Sanksi kepada Anwar berupa pemberhentian sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi terbilang ringan. Hukuman itu tidak hanya membuat orang tak menaruh hormat pada lembaga hukum itu juga menimbulkan pertanyaan: ada apa dengan Jimly Asshiddiqie, ketua Majelis Kehormatan tersebut.
Anwar diberhentikan dari jabatannya karena terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik atas uji materi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
Melalui putusan itu terbuka jalan lebar Gibran Rakabuming Raka, wali kota Solo, putra Presiden Joko Widodo yang juga keponakan Anwar, menjadi calon wakil presiden dari Partai Gerindra. Sejak awal publik telah mengingatkan bahwa posisi Anwar sebagai Ketua Mahkamah sangat berpotensi menciptakan konflik kepentingan.
Selain mencopot dari kursi Ketua Mahkamah Konstitusi, Majelis, pada Sidang Selasa, 7 November 2023, juga menghukum Anwar dengan melarang yang bersangkutan terlibat peneriksaan perkara sengketa pemilu, pemilihan anggota dewan, hingga pemilihan kepala daerah. Artinya, dengan hukuman ini Anwar tetap menjadi hakim konstitusi hingga masa akhir jabatannya.
Tindakan Anwar memberi putusan yang menguntungkan Gibran jelas mencoreng Mahkamah Konstitusi. Bukan kali in sebenarnya Mahkamah Konstitusi mendapat sorotan karena ulah ketuanya. Pada 2014 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Akil Mochtar -Ketua Mahkamah Konstitusi kala itu- hukuman seumur hidup karena terbukti menerima suap dalam sengketa pilkada. Hukuman terberat saat itu untuk terdakwa kasus korupsi.
Kasus Anwar memang berbeda dengan Akil. Namun esensinya sama: penyalahgunaan wewenang. Untuk kasus Anwar ia bahkan memiliki dampak panjang terhadap kehidupan bernegara ini. Jika tindakannya melanggar kode etik, maka itu bermakna pencalonan Gibran dilahirkan dari sesuatu putusan yang melanggar kelaziman, menabrak aturan, sesuatu yang bisa menjadi persoalan bagi Gibran sendiri.
Ganjaran pelanggaran berat kode etik itu semestinya pemecatan. Anwar telah melakukan perbuatan tercela. Pasal 15 UU No. 8/2011 tentang Perubahan UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi menegaskan syarat hakim konstitusi adalah memiliki integritas dan kepribadian yang tak tercela. Pasal 27A menyatakan, hakim konstitusi bisa diberhentikan jika melanggar kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi. Kita menyesalkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang “hanya” mencopot Anwar dari kursi ketua mahkamah konstitusi. (domainhukum).
Komentar