Sebagai ahli pidana dan dosen, semestinya Profesor Edward Omar Sharif Hiariej memberi contoh selayaknya jika seseorang menjadi tersangka. Jika ia pejabat seyogianya ia meletakkan jabatannya. Jika ia dosen, apalagi guru besar, selayaknya ia berhenti dulu dari pekerjannya itu.
Edward Omar Sharif Hiariej tidak melakukan itu. Sebaliknya ia tetap hadir di acara-acara guru besar dan tetap menikmati posisinya sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM, sesuatu yang mengundang cibiran publik.
Komisi Pemberantasan Korupsi pada Kamis 9 November lalu, menetapkan Edward sebagai tersangka dalam kasus suap berkaitan dengan penetapan status badan hukum PT Citra Lampia Mandiri. Edward diduga menerima aliran dana sekitar Rp 7 miliar melalui dua asisten pribadinya. Peristiwa lancung itu diduga terjadi sekitar April-Oktober 2022.
Kendati sebagai tersangka, KPK tidak menahan Edward. Kementerian Hukum dan HAM juga tidak “mengistirahatkan” Edward. Edward tetap menjalankan aktivitasnya sehari-hari, termasuk hadir dalam sebuah acara berkaitan dengan guru besar di kampusnya, UGM.
Edward bisa saja berdalih sebelum ada kekuatan hukum tetap yang menyatakan seseorang melakukan tindak pidana, maka seseorang tidak boleh dianggap bersalah. Namun semestinya secara etika ia memberi contoh, ia mundur dan meletakkan jabatannya atas nama “pertanggung jawaban” moral.
Sayang, Edward tak melakukan itu. Ia memilih sesuatu yang semestinya tidak dilakukan oleh seseorang yang menghormati hukum dan pejabat yang tahu diri. Ia tak memberi contoh baik untuk publik. Kita meminta KPK juga tidak hanya berhenti pada Edward. Lembaga ini harus menelisik siapa lagi yang terlibat dalam kongkalikong berkaitan dengan penetapan badan hukum yangujungnya mengubah kepemilikan saham itu. Dari sini akan terlihat siapa yang kecipratan duit suap tersebut. (domainhukum.com)
Komentar