PUBLIK yang menonton debat calon presiden melalui layar televisi -atau juga streaming- bisa melihat bagaimana para calon presiden itu: bertutur, berargumentasi, ide-idenya, serta wawasan kebangsaan yang ia miliki.
Debat ini bisa berakibat setidaknya dua hal: menebalkan pilihan seseorang atas capresnya, atau, meninggalkan pilihan capresnya dan memilih capres yang membuatnya terpukau di layar kaca itu. Pilihan dijatuhkan dan mungkin itulah dampak dari debat di TV. Karena itulah tim pemenang para capres yang merasa capresnya kedodoran atau “kalah” dalam debat akan secepat kilat memoles atau mengeluarkan berbagai argumen yang intinya agar publik tidak terpengaruh atas debat itu.
Karena itu sulit rasanya menggeser hasil survei yang sudah menunjuk siapa capres yang bakal juara.
Tapi berapa yang menonton debat? Apakah debat itu akan membuat suara seperti yang telah disebutkan survei -jika survei itu kita percaya- berubah.
Mungkin tidak. Lebih banyak publik yang tidak menonton debat atau tak peduli debat. Yang peduli adalah kelas menengah atau mereka yang mempunyai akses dan waktu dan keinginan menonton debat itu sendiri.
Karena itu sulit rasanya menggeser hasil survei yang sudah menunjuk siapa capres yang bakal juara. Jika pun itu harus dilakukan karena capres itu tidak layak menjadi presiden, maka gerakannya tidak bisa bergantung hasil debat. Gerakannya mesti masif, melalui berbagai platform, dan tokoh-tokoh publik yang dikenal dan dipuja anak muda -suara pemilih terbanyak itu. Tanpa itu, percuma. (domainhukumcom)
Komentar