Oleh: Lestantya R. Baskoro
Filsafat tidak membuat roti! Louis O. Kattsoof (1908-1979) membuka bab awal bukunya yang termasyur, Elements of Philosophy -yang menjadi bacaan wajib setiap mahasiswa filsafat- dengan sepotong kalimat itu. Ya, filsafat tidak membuat roti. Filsafat tidak mengajari hal-hal teknis. Ia memberi pemahaman secara komprehensif. “Filsafat bisa membantu misalnya menyiapkan tungku,” kata Kattsoff.
Filsafat berangkat dari sikap kritis -melemparkan pertanyaan dan terus mencari kebenaran. Metode filsafat adalah berpikir logis dan mempertanyakan hakikat apa pun agar manusia tidak tersesat dalam ketidaktahuan -apalagi kemasabodohan. Maka di sini nalar, rasionalitas, diperlukan dan digunakan dengan bijak. Filsafat tidak mencari kesalahan, ia meluruskan yang bengkok, mengembalikan yang tersesat, karena itu ia disebut “filsafat” -philosophia. Philos = cinta, sophia= kebijaksanaan.
Pada titik inilah pada persidangan sengketa pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi, kehadiran Romo Franz Magnis Suseno sebagai filsuf dan pakar etika sangat penting.
Pertanyaan terbesar umat manusia yang menjadi perdebatan dan pemikiran para filsuf adalah dari mana asal dunia ini. Pemikiran dan perenungan yang telah terjadi beratus tahun sebelum Masehi. Inilah generasi awal para filsuf semacam Thales, Anaximandros, Anaximenes, atau yang namanya hingga kini terus “menyala, ” Pythagoras, yang hidup pada abad ke-6 Sebelum Masehi (SM). Thales menyebut asal muasal alam adalah “air.” Argumentasinya, karena semua hal mengandung unsur air. Bisakan dibayangkan berapa panjang dan jauhnya usia “dalil Pythagoras” yang hingga sekarang terus dipakai itu jika dihitung dari masa hidup filsuf itu?
PERGESERAN pemikiran filsafat terjadi pada era Sokrates. Pada era ini inti pemikiran fisafat adalah tentang manusia -tidak lagi tentang alam. Manusia menjadi sentral pemikiran. Pada generasi Sokrates, yang menghasilkan murid Plato, dan Plato menghasilkan murid brilian Aristoteles, pemikiran, perenungan, juga perdebatan “naik” meliputi apa itu keadilan, kebenaran, etika, estetika, dimulai. Semua persoalan itu bersentral pada manusia- dan konsep tentang itu semua terus bergulir beratus tahun ke masa depan, hingga ke era filsuf-filsuf modern seperti: apa yang disebut keadilan? Pada perjalanan panjang filsafat itulah lahir beragam ilmu: astronomi, ekonomi, politik, hukum, kedokteran dll. Itu sebab, filsafat disebut “ibu segala ilmu.”
Para filsuf memiliki metode sendiri untuk memberikan pencerahan atau membuka kepicikan seseorang. Metode Sokrates adalah metode induktif, memperhatikan yang khusus kemudian mencari dan merumuskannya menjadi kebenaran umum. Metode yang juga dikenal sebagai “dialektika.” Sokrates berkeliling Athena, menemui kaum sofis yang membual-bual sembari memamerkan keduniawian mereka -kuda, gundik, beragam perhiasan yang justru menjadi ganjil saat menempel di tubuh mereka- dan melemparkan pertanyaan untuk mengajarkan mereka mencari inti kebenaran. “Apa itu manusia?” tanya Sokrates. “Mahluk berkaki dua,” ujar seseorang penuh kemenangan. Esoknya Sokrates datang mencangking ayam. “Inikah manusia,” ujarnya. Demikian terus menerus hingga ditemukan: apa hakikat manusia.
Metode Sokrates -dan beragam pemikirannya- belakangan dianggap membahayakan kaum muda. Ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Sejumlah muridnya malam-malam berniat membebaskannya. Sokrates menolak karena menurut dia negara adalah hukum dan hukum merupakan sumber kebenaran. “Barang siapa menentang hukum, itu sama dengan menghancurkan negara dan masyarakat,” kata Sokrates. Esoknya penguasa Yunani menghukum mati Sokrates dengan memerintahkannya minum racun. Setelah Sokrates meninggal, Plato menerbitkan buku berisi dialognya dengan Sokrates tentang nilai-nilai kebenaran, hukum, juga hak warga negara…
PARA filsuf berangkat dari keresahan untuk mencari dan mendapat jawaban dari keresahan mereka. Pada abad pertengahan ada Thomas Aquinas, seorang biarawan, yang terkenal dengan filsafat skolastik-nya. “Dengan akal orang dapat mengenal Allah setelah ia mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia dan dirinya sendiri,” kata Thomas. Thomas menyebut filsafat sebagai puncak kemampuan akal budi manusia. Dalam filsafat, menurut Thomas, argumen paling lemah adalah argumen kewibawaan.
Dari dunia Islam lahir para filosof termasyur seperti Al Farabi, Ibnu Al Ghazzali, dan Ibnu Sina (Avivena). Yang terakhir ini, pemikirannnya tentang dunia kedokteran, mengalir hingga Eropa. Bukunya, The Canon of Medicine (Al Qanun fi Tibb) menjadi buku kedokteran terpenting di dunia Islam dan Eropa hingga abad ke-17. Di Eropa kita mengenal para pemikir seperti Friedrich Hegel (1770-1831) yang ajarannya demikian digandrungi Karl Marx yang kemudian melahirkan apa yang dunia mengenalnya sebagai ”konsep komunisme.” Filsafat selalu memiliki kekuatan mengubah dunia.
FILSAFAT berangkat dari skeptisisme dan membongkar selubung apa pun agar menemukan “inti” atau “hakikat” dari persoalan yang dibicarakan. Ketika orang bicara tentang kesehatan maka pertanyaan utama adalah menemukan dulu “apa makna sehat.” Sehat dari kacamata dokter, masyarakat, juga Pemerintah bisa berbeda. Harus ada keteguhan agar “sehat” itu tidak dimanipulasi. Tugas filsafat mencegah terjadinya manipulasi itu.
Pada titik inilah pada persidangan sengketa pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi kehadiran Romo Franz Magnis Suseno sebagai filsuf dan pakar etika sangat penting. Seperti Mahkamah Agung, keputusan Mahkamah Konstitusi adalah terakhir: final, mengikat. Inilah puncak ditemukan dan ditentukannya kebenaran dan keadilan dari para akal budi para hakim -sebagai manusia- yang terbatas. Pada hukum hakikat dari ini semua adalah keadilan. Pada hukum klaim kebenaran harus bersih dari cara-cara kotor. Di sinilah etika sebagai “moral” seorang manusia harus dilihat. Filsafat-lah yang bertugas menjelaskan: beretika atau tidak dalam pencapaian klaim kebenaran itu.
Filsafat tidak membuat roti. Rocky Gerung memang tidak membuat roti……(domain hukumcom-lrb)
Komentar