Para komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi lebih baik “melempar handuk”, menyerah, dan mengembalikan mandat yang mereka pegang. Langkah seperti ini justru akan menyelamatkan lembaga ini daripada semakin tak lagi mendapat kepercayaan publik dan hanya menuai cemoohan.
Tak ada dalam sejarah KPK, sejak lembaga ini berdiri pada 2002, satu persatu anggotanya terjerat kasus yang justru seharusnya tugas para komisioner ini membasminya: korupsi, menerima gratifikasi, atau menyalahgunakan kekuasaan. Jika pada masa lalu para pimpinan lembaga ini menjadi pemberitaan ramai karena keberanian mereka melawan kekuasaan yang korup -seperti kasus cicak vs buaya yang pada akhirnya ikut menjungkalkan posisi Kabareskrim Polri waktu itu- kini mereka ramai diberitakan lantaran terjerat kasus korupsi, gratifikasi, dan menyalahgunaan jabatan mereka. Benar-benar komisioner paling konyol.
Publik tak perlu lagi mengharapkan lembaga ini punya nyali dan dipercaya dengan isi para komisioner konyol semacam ini.
Ketua KPK Firli Bahuri, misalnya, tersangkut kasus pemerasan, ditetapkan tersangka oleh kepolisian, dan kini entah di mana setelah diberhentikan Presiden. Kepolisian semestinya bisa segera “menyelesaikan” kasus Firli untuk diadili. Hilangnya Firli otomatis membuat komisi antirasuah itu bak pesawat terbang tanpa pilot. Sebelumnya, komisioner lain, Lili Pintauli Siregar memilih mengundurkan diri sebelum diperiksa Dewan Pengawas karena diduga menerima gratifikasi berwujud akomodasi dan tiket MotoGP 2022 di Mandalika dari sebuah BUMN. Mundurnya Lili sebelum diperiksa justru menguatkan indikasi adanya gratifikasi tersebut.
Kini komisioner ketiga yang segera berurusan dengan Dewan Pengawas adalah Nurul Ghufron. Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember tersebut diduga menyalahgunakan kekuasaannya, meminta pejabat pada Kementerian Pertanian, memindahkan seorang karyawannya seperti diminta Ghufron. Perilaku Ghufron yang bak makelar itu jelas tidak dibenarkan, memalukan, dan sangat terlarang bagi sebuah lembaga yang menempatkan integritas sebagai nilai tertinggi anggotanya. Ghufron, yang merasa tidak bersalah, melakukan perlawanan dengan “menggigit” komisioner lainnya, Alexander Mawarta, yang ditudingnya ikut terlibat kasus ini. Benar-benar lembaga dengan isi komisioner konyol.
KPK sudah tak memiliki gigi lagi. Publik tak perlu lagi mengharapkan lembaga ini punya nyali dan dipercaya dengan isi para komisioner konyol semacam ini. Undang-Undang KPK memberi peluang pemberhentian anggota KPK dengan cara “mengundurkan diri.” Ini langkah terbaik bagi anggota KPK tersisa sebelum justru para koruptor atau mereka yang anti KPK menggunakan momen sekarang ini untuk “menebang” KPK dan “menenggelamkannya” ke lembaga lain. (domainhukum.com)
Komentar