oleh
-OPINI-212 views

– Oleh MJ. Widijatmoko

 

Didalam perkawinan dg perkawinan dg campuran harta perkawinan pasca berlakunya UU 1/1974 tgl 1 April 1975, tidak semua harta milik pasangan calon suami istri yg menikah dengan percampuran harta itu bercampur menjadi harta bersama (Gono gini) seperti pengaturan dalam KUHPerdata. Pasal 35 & pasal 36 UU 1/1974 dengan jelas dan  tegas telah mengatur klasifikasi harta dalam perkawinan yaitu :

  1. Harta Bawaan, yg terdiri dari :
  2. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan;
  3. Harta yang diperoleh dari warisan;
  4. Harta yang diperoleh dari hadiah;
  5. Harta Bersama (Gono Gini), yaitu harta yg diperoleh dalam/selama perkawinan.

Disamping itu, pasal 29 UU 1/1974 mengatur tentang ketentuan hukum “perjanjian kawin”, yg mana terhadap ketentuan tsb telah diubah dg putusan MK RI 69/2015, yaitu khususnya terhadap ketentuan pasal 29 ayat (1), ayat (3), & ayat (4) UU 1/1974, sehingga membawa akibat hukum terjadinya pengubahan aturan hukum terhadap perjanjian kawin, dimana salah satu perubahan tsb adalah : “perjanjian kawin yg dibuat dapat mengatur tentang harta dan/atau tentang non harta, dan juga diperbolehkannya pembuatan perjanjian kawin setelah dilangsungkan perkawinan, tetapi terhadap perjanjian kawin yg telah dibuat baik sebelum, pada saat, atau setelah perkawinan tsb dapat diubah atau dibatalkan, dg ketentuan pembuatan, perubahan atau pembatalan perjanjian kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga”. Dengan pembuatan perjanjian kawin pasca perkawinan berdasarkan putusan MK 69/2015 tersebut tentunya dapat mengubah bentuk perkawinan & mengubah kepemilikan benda2 dalam perkawinan.

Sekalipun dalam perkawinan dg percampuran harta, antara suami & istri dilarang untuk melakukan perbuatan hukum peralihan kemilikan benda diantara suami & istri, tetapi dg pembuatan perjanjian kawin dapat diperjanjikan, disepakati & diatur untuk terjadinya “peralihan kepemilikan benda2 dalam perkawinan, termasuk peralihan kepemilikan hak atas tanah & hak milik satuan rumah susun dari suami kepada istri maupun sebaliknya & dari harta bersama menjadi harta Bawaan suami atau istri serta sebaliknya”.

Menjadi Pertanyaan:

  1. Apakah dengan akta perjanjian kawin dapat digunakan “sebagai alat bukti terjadinya peralihan kepemilikan hak atas tanah/rumah susun” dalam hukum pertanahan & hukum pendaftaran tanah di Indonesia yg sederajat dengan akta wasiat, akta/surat keterangan ahliwaris/hak mewaris, akta jual beli, akta hibah, dllnya ?
  2. Apakah dalam hukum pendaftaran tanah di Indonesia, akta perjanjian kawin dapat menjadi “salah satu alat bukti untuk “pencatatan peralihan kepemilikan hak atas tanah/hak milik satuan rumah susun” dalam syatem pendaftaran tanah ??

 

Kondisi seperti diuraikan diatas tentunya menjadi konsekuensi  logis hukum akibat putusan MK RI 69/2015, yg berdampak pada dimungkinkannya terjadi peralihan benda/hak atas tanah/hak milik satuan rumah susun, & pembuatan alat bukti peralihan hak atas tanah/hak milik atas satuan rumah susun yg tidak dibuat oleh PPAT.

Bagaimana para Notaris, PPAT, Kementerian ATR/BPN dan  perangkatnya menyikapi akibat hukum yg timbulkan oleh putusan MK RI 69/2015 tersebut dalam hukum pertanahan & pendaftaran tanah di Indonesia, khususnya terhadap dimungkinnya terjadi peralihan kepemilikan hak atas tanah/hak milik satuan rumah susun serta pendaftar & pencatatan peralihan hak akibat dibuatnya perjanjian kawin pasca perkawinan. Hukum itu hidup & berkembang dalam masyarakat. Perubahan hukum tidak dapat dihindari sejalan dengan kemajuan ilmu dan pengetahuan masyarakat serta kemajuan teknologi. []

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed