Kasus pembunuhan Vina yang kembali diungkap setelah muncu film “Vina,” mendapat tanggapan banyak pihak. Kasus ini membongkar sejumlah kejanggalan pengusutan kasus tersebut. ICJR memberi pendapat atas kasus Vina ini. Berikut pernyataan lembaga yang bergerak dalam penegakan hukum tersebut.
Polda Jawa Barat menangkap Pegi Setiawan alias Perong sebagai tersangka kasus pembunuhan Rizky Rudiana alias Eky dan Revina Dewi Arsita atau Vina di Cirebon, Jawa Barat. Pegi merupakan DPO kasus Vina, bersama delapan orang lainnya yang telah divonis penjara pada tahun 2017. Polisi juga melakukan penggeledahan terhadap rumah milik keluarga Pegi.
Minggu, 26 Mei 2024, Polisi menjelaskan alasan penangkapan Pegi membutuhkan waktu 8 tahun, dikarenakan narapidana lain tidak berani mengungkap sosok Pegi. Saat konferensi pers Pegi sempat mengelak disebut pelaku pembunuhan, yang kemudian dijawab oleh pihak Kepolisian dengan “Hak tersangka nanti di sidang pengadilan,”.
Pegi Setiawan alias Perong diduga melakukan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap Eky dan Vina yang melanggar Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 81 UU No. 35 Tahun 2014 sebagaimana diubah dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana mati, seumur hidup, atau paling lama 20 tahun penjara.
ICJR dan Revisi menaruh perhatian terhadap pemenuhan hak tersangka Pegi pada kasus ini. Penyidik kepolisian Jawa Barat harus memastikan bahwa setiap orang yang menjalani proses peradilan pidana terpenuhi hak-haknya sepanjang proses pemeriksaan, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, hingga putusan pengadilan, sesuai amanat KUHAP bukan hanya di sidang pengadilan saja seperti yang disampaikan Kombes Pol Jules Abraham Abast selaku Kabid Humas Polda Jawa Barat.
Salah satu hak penting yang wajib dipenuhi oleh penyidik terhadap Tersangka Pegi adalah ia tidak boleh dipaksa bersaksi melawan dirinya sendiri dan mengaku bersalah (self incrimination), tersangka juga memiliki hak atas asas praduga tidak bersalah. Dalam KUHAP, asas praduga tidak bersalah tertuang dalam Penjelasan Umum Butir Ketiga yang menyebutkan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan begitu, dalam kasus ini, Pegi sebagai tersangka wajib dijamin haknya untuk bersaksi atau memberikan keterangan sejak pemeriksaan di tingkat penyidikan.
Terkait tersangka yang secara terang-terangan membantah tuduhan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap korban Eky dan Vina, penyidik dan publik perlu mengantisipasi pernyataan tersangka tersebut sebagai potensi kasus salah tangkap, mengingat kasusnya sudah terjadi sejak tahun 2016 (delapan tahun lalu) dan ditambah lagi tersangka secara eksplisit membantah tuduhan tersebut. Selain salah tangkap, publik juga perlu antisipasi adanya tindakan kekerasan dan penyiksaan dalam perolehan pengakuan tersangka Pegi.
Mengenai potensi terjadinya penyiksaan, beberapa pasal di dalam KUHAP sebenarnya sudah mengarah pada aturan bebas dari penyiksaan, antara lain melalui pernyataan bahwa tersangka atau terdakwa berhak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim (Pasal 52 KUHAP), keterangan tersangka kepada penyidik harus diberikan tanpa tekanan dari siapapun atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 KUHAP). Pun tercermin secara tidak langsung melalui aturan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP) serta keterangan terdakwa hanya dapat dipergunakan bagi dirinya sendiri (Pasal 189 Ayat (3) KUHAP). Pasal-pasal itu menegaskan bahwa keterangan tersangka bersumber pada kehendak bebas sehingga harus bebas dari kekerasan atau penyiksaan.
Tidak hanya itu, sejumlah ketentuan di dalam KUHP juga dapat digunakan terhadap penegak hukum yang melakukan penyiksaan terhadap tersangka pada proses penyidikan. Pasal 422 KUHP secara tegas memberikan ancaman pidana penjara terhadap seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan. Pasal-pasal terkait penganiayaan juga dapat dikenakan terhadap penegak hukum yang melakukan penyiksaan kepada tersangka.
Di samping itu, ke depan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP Baru juga sudah mengatur tentang tindak pidana penyiksaan dengan mengadopsi sejumlah konvensi internasional, antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia). Sehingga Polisi dan aparat penegak hukum lainnya harus sangat berhati-hati dalam melakukan pengambilan informasi dari tersangka ataupun terdakwa.
Berdasarkan hal-hal di atas, ICJR dan Revisi menyerukan:
Pertama, Penyidik Polda Jawa Barat wajib memastikan pemenuhan hak tersangka secara efektif sejak proses penyidikan.
Kedua, aparat penegak hukum dan publik perlu mengantisipasi dugaan salah tangkap mengingat waktu tindak pidana terjadi sudah lama dan ditambah lagi tersangka secara eksplisit membantah tuduhan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap korban Eky dan Vina.
Ketiga, Aparat penegak hukum dan publik perlu mengantisipasi adanya tindakan kekerasan dan penyiksaan dalam memperoleh pengakuan tersangka pada kasus pembunuhan Eky dan Vina. []
Komentar