PERLINDUNGAN HUKUM NOTARIS DAN TANTANGANNYA PENERBITAN COVERNOTE DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA (Analisis Putusan Mahkamah Agung RI No.5710K/Pidsus/2023)
Oleh: Dr. H.Ikhsan Lubis, SH,SpN,M Kn
(Ketua Pengwil Sumut Ikatan Notaris Indonesia/Akademisi Hukum Kenotariatan
Artikel ini membahas pentingnya Peninjauan Kembali (PK) sebagai instrumen untuk mencapai keadilan substantif dalam sistem peradilan Indonesia, dengan merujuk pada Putusan Mahkamah Agung No. 5710 K/Pid-Sus/2023 terkait jabatan notaris dan penerbitan covernote. Meskipun covernote bukan akta autentik yang memiliki akibat hukum yang setara, penerbitannya dapat berisiko menjerat notaris dalam tindak pidana jika dianggap mengarah pada kerugian negara. Novum sebagai bukti baru yang dapat mengubah substansi keputusan dan berperan penting, terutama dalam mengoreksi kesalahan prosedural atau substansial yang terjadi dalam perkara tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). PK, sebagai mekanisme hukum, harus memastikan penerapan prinsip due process of law dan in dubio pro reo, yang menekankan perlindungan hak asasi individu dan keraguan terhadap kesalahan terdakwa. Di samping itu, penerapan asas ultimum remedium mengharuskan bahwa pemidanaan hanya diterapkan setelah semua alternatif penyelesaian lain, termasuk jalur perdata, telah dijalani. Ketidaksetaraan perlakuan hukum yang terjadi, di mana pihak yang lebih bertanggung jawab atas kerugian negara tidak diproses, mencerminkan pelanggaran terhadap prinsip equality before the law. Oleh karena itu, PK harus menjadi sarana untuk mengevaluasi keputusan hukum dengan memperhatikan prinsip proportionality, fairness, dan non-discrimination, serta memastikan bahwa keputusan yang diambil mencerminkan keadilan yang merata. Sebagai rekomendasi, perlu dilakukan evaluasi lebih mendalam oleh Mahkamah Agung terkait penerapan prinsip ne bis in idem dan res judicata, agar tidak terjadi ketidakseimbangan antara penerapan hukum pidana dan hak-hak individu yang telah diselesaikan melalui jalur perdata, guna meningkatkan kredibilitas dan integritas sistem peradilan Indonesia.
LATAR BELAKANG
Penerbitan covernote oleh notaris, meskipun bukan akta autentik, memainkan peran yang sangat penting dalam memberikan kepastian hukum sementara terhadap status suatu dokumen yang masih dalam proses. Sebagai pejabat umum yang menjalankan fungsi kenotariatan, notaris tidak hanya dihadapkan pada kewajiban administratif, tetapi juga berperan sebagai penjaga kepastian hukum dalam sistem hukum Indonesia (Untono, 2022). Sebagai pejabat publik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), notaris memperoleh kewenangan atribusi dari undang-undang untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, yang meliputi pembuatan akta autentik, pemberian keterangan, dan penerbitan covernote. Kewenangan atribusi ini memberikan dasar hukum yang jelas bagi notaris dalam menjalankan tugasnya serta menetapkan batasan-batasan yang mengarahkan tindakan mereka dalam kapasitas sebagai pejabat publik.(Amin, 2024)
Sebagai bagian dari sistem hukum, notaris juga dilindungi oleh hukum dalam menjalankan tugas jabatannya. Perlindungan hukum ini bertujuan untuk memastikan bahwa notaris dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban profesionalnya tanpa takut dihadapkan pada sanksi hukum yang tidak adil atau tanpa dasar (Pratono, 2022). Hal ini sejalan dengan prinsip legal certainty atau kepastian hukum yang menjadi salah satu pilar dalam negara hukum yang demokratis. Namun, penerbitan covernote, meskipun bukan merupakan akta autentik, tetap memiliki risiko hukum tersendiri. Jika covernote yang diterbitkan oleh notaris mengandung informasi yang tidak benar atau menyesatkan, notaris bisa dikenakan sanksi pidana, seperti yang tercermin dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia No. 5710K/Pid-Sus/2023. Putusan ini memberikan preseden penting bagi profesi notaris dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai sejauh mana perlindungan hukum yang ada bagi notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, serta bagaimana sistem hukum Indonesia seharusnya mengatur kewenangan dan tanggung jawab notaris dalam penerbitan dokumen-dokumen sementara seperti covernote.
Selain itu, dalam konteks fungsi dan posisi notaris dalam sistem hukum, jabatan notaris bukan hanya sekedar jabatan administratif, tetapi juga merupakan officium nobile (jabatan mulia) dan officium trust (jabatan kepercayaan). Sebagai officium nobile, notaris memegang kedudukan yang terhormat dalam masyarakat karena peranannya dalam menjamin kepastian hukum dan memberikan keadilan kepada pihak-pihak yang menggunakan jasanya. Sebagai officium trust, notaris memperoleh kepercayaan penuh dari masyarakat dan negara untuk melaksanakan tugasnya dengan integritas dan profesionalisme (Raden Ajeng Herning Nurarifah, 2024). Kepercayaan ini tidak hanya didasarkan pada keahlian teknis dalam pembuatan dokumen, tetapi juga pada kemampuannya untuk menjaga kebenaran dan keakuratan informasi yang tercantum dalam setiap dokumen yang diterbitkan, termasuk covernote. Oleh karena itu, ketika notaris bertindak dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik, setiap tindakannya harus selalu dilandasi oleh prinsip kehati-hatian dan integritas yang tinggi guna mempertahankan kepercayaan publik terhadap profesi tersebut.
Namun, jika terdapat kesalahan dalam penerbitan covernote, hal ini berpotensi mencemarkan integritas jabatan notaris itu sendiri, dan dapat merusak kepercayaan yang sudah diberikan oleh masyarakat dan negara. Untuk itu, penting untuk memahami dengan lebih mendalam bagaimana sistem hukum Indonesia memberikan perlindungan hukum yang cukup bagi notaris dalam menjalankan kewenangannya, serta bagaimana memastikan bahwa keputusan hukum, terutama yang berhubungan dengan sanksi pidana, mencerminkan prinsip justice yang adil dan tidak semata-mata menghukum kelalaian administratif tanpa mempertimbangkan konteks dan karakteristik jabatan mulia ini. Putusan MA No. 5710K/Pid-Sus/2023 memberikan contoh konkret tentang bagaimana penerbitan covernote yang tidak akurat dapat berujung pada sanksi pidana, sekaligus membuka ruang untuk merenungkan sejauh mana kewenangan notaris harus dilindungi dan diatur dengan lebih hati-hati dalam rangka menjaga keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan profesi notaris.
Dari latar belakang di atas, beberapa pertanyaan mendasar perlu dikaji lebih lanjut untuk memahami dampak putusan Mahkamah Agung No. 5710K/Pid-Sus/2023 terhadap jabatan notaris dan kewenangannya. Pertama, bagaimana penerbitan covernote, yang bukan akta autentik, dapat dipertanggungjawabkan dalam ranah hukum Indonesia, dan sejauh mana sistem hukum sudah memberikan kepastian mengenai kewenangan notaris dalam penerbitan dokumen sementara seperti covernote? Apakah sanksi pidana terhadap notaris dalam hal penerbitan covernote yang mengandung informasi yang tidak benar mencerminkan prinsip legal certainty dan justice? Kedua, bagaimana kedudukan notaris sebagai pejabat umum yang mendapat kewenangan atribusi dan memiliki predikat officium nobile dan officium trust harus dilindungi dalam hal proses hukum yang menimpa mereka, khususnya dalam penerbitan dokumen sementara seperti covernote? Ketiga, sejauh mana prosedur hukum yang ada sudah cukup adil dalam menangani kesalahan yang dilakukan oleh notaris, dan bagaimana seharusnya prinsip due process of law diterapkan untuk memastikan bahwa setiap keputusan hukum terhadap notaris mempertimbangkan tidak hanya kesalahan administratif, tetapi juga konteks jabatan mulia yang melekat pada notaris? Keempat, apakah regulasi yang ada sudah cukup efektif dalam melindungi notaris dari penyalahgunaan atau kesalahan yang tidak disengaja, dan apa saja langkah-langkah perbaikan yang perlu dilakukan dalam pengawasan dan penegakan hukum untuk menjaga integritas profesi notaris?
Dengan merumuskan masalah-masalah ini, artikel ini bertujuan untuk memberikan kontribusi signifikan dalam memahami hubungan antara kewenangan, perlindungan hukum, dan tanggung jawab profesi notaris, serta untuk menganalisis implikasi dari keputusan hukum terhadap jabatan notaris dalam sistem hukum Indonesia yang lebih luas.
Kewajiban dan Hak Ingkar Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Jabatan Notaris
Dalam sistem hukum Indonesia, jabatan notaris memainkan peran yang sangat strategis dan krusial sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan atribusi oleh undang-undang (Salim, 2021). Sebagai penjaga kepastian hukum dan integritas dokumen, jabatan notaris harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai, terutama ketika berbicara tentang kewajiban dan hak ingkar, yang sering kali berhadapan dengan dilema etis dan profesional dalam menjalankan tugasnya.
Kewajiban Ingkar Notaris: Kewajiban untuk Menjaga Kerahasiaan
Kewajiban ingkar (duty of refusal) merupakan kewajiban yang melekat pada setiap notaris untuk menolak mengungkapkan atau memberikan informasi mengenai dokumen yang mereka buat apabila permintaan tersebut dapat merusak prinsip kerahasiaan dan integritas jabatan notaris. Dalam bahasa hukum asing, kewajiban ingkar ini sering disebut sebagai obligation of confidentiality atau secrecy duty. Jabatan notaris, sebagai pejabat publik, diharuskan untuk menjaga segala informasi yang diperoleh dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan akta atau dokumen yang disusunnya (Ardianta dkk., 2023). Hal ini merujuk pada Pasal 16 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), yang menegaskan bahwa notaris berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik. Kewajiban ingkar ini tidak hanya berfungsi sebagai pelindung bagi individu yang terlibat dalam transaksi hukum, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap jabatan notaris sebagai jabatan terhormat (officium nobile).
Kewajiban ini memiliki dasar filosofi yang kuat, yaitu untuk menciptakan kepercayaan publik terhadap jabatan notaris. Dalam prinsip legal certainty, keberadaan kewajiban ingkar bertujuan untuk menjamin bahwa setiap dokumen yang dihasilkan oleh notaris akan tetap berada dalam kerangka hukum yang sah dan terlindungi dari potensi penyalahgunaan. Kewajiban untuk menolak mengungkapkan informasi tersebut bukan hanya berbicara tentang perlindungan terhadap pihak ketiga, tetapi juga tentang menjaga kemurnian informasi yang tercantum dalam dokumen notaris, yang harus dapat dipertanggungjawabkan dan dijaga integritasnya.
Hak Ingkar Notaris: Perlindungan terhadap Profesionalisme
Di sisi lain, hak ingkar (right of refusal) memberikan wewenang kepada notaris untuk menolak memberikan kesaksian atau informasi terkait dokumen yang telah disusunnya. Dalam hal ini, hak ingkar berfungsi untuk melindungi jabatan notaris dari potensi tekanan eksternal yang dapat merusak independensinya (Widhasani & Latumeten, 2022a). Hak ini berakar pada prinsip officium trust, yaitu jabatan yang bersifat kepercayaan, yang mengharuskan notaris menjaga hubungan yang profesional dan independen dengan semua pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dokumen.
Pasal 1909 Burgerlijk Wetboek (BW) memberikan landasan hukum mengenai hak ingkar ini, yang menyatakan bahwa notaris berhak untuk menolak memberikan kesaksian mengenai isi akta yang telah dibuatnya, kecuali jika ada kewajiban hukum yang memaksa pembukaan informasi tersebut (Widhasani & Latumeten, 2022b). Hak ingkar ini memberi notaris kebebasan untuk menolak permintaan pihak luar yang dapat merusak kepentingan pihak yang terlibat dalam dokumen tersebut atau yang dapat mempengaruhi proses hukum secara tidak sah.
Secara filosofis, hak ingkar mencerminkan perlindungan terhadap profesionalisme dan independensi jabatan notaris. Prinsip veritas, atau kebenaran yang mendasari setiap dokumen yang disusun oleh notaris, harus dijaga dalam setiap aspek pekerjaan mereka (Yudan Fajar Mahendra, 2024). Hak ingkar menjadi sarana untuk memastikan bahwa notaris dapat menjalankan tugasnya tanpa terpengaruh oleh tekanan eksternal yang tidak relevan dengan kepentingan hukum yang harus dijaga.
Perbedaan Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkar
Meskipun keduanya berkaitan dengan tanggung jawab notaris untuk melindungi informasi dan menjaga independensinya, kewajiban ingkar dan hak ingkar memiliki perbedaan mendasar dalam konteks implementasinya (Marjon, 2016).
- Kewajiban Ingkar (Duty of Refusal)
- Fungsi utama: Kewajiban ingkar mengharuskan notaris untuk menolak mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia.
- Basis hukum: Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN.
- Tujuan: Perlindungan terhadap privasi dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi.
- Hak Ingkar (Right of Refusal)
- Fungsi utama: Memberikan hak kepada notaris untuk menolak memberikan kesaksian atau informasi terkait dokumen yang telah disusunnya.
- Basis hukum: Pasal 1909 Burgerlijk Wetboek.
- Tujuan: Melindungi jabatan notaris dari potensi penyalahgunaan dan memastikan independensinya.
Menjaga Keseimbangan antara Kewajiban dan Hak Ingkar
Perbedaan mendasar antara kewajiban ingkar dan hak ingkar terletak pada sifat dan fungsi keduanya. Kewajiban ingkar bersifat aktif dan mengikat, sedangkan hak ingkar memberi notaris kebebasan dalam melaksanakan kewenangannya. Keduanya saling melengkapi dalam menjaga integritas, profesionalisme, dan independensi jabatan notaris (Qonitah Annur Aziza dkk., 2020). Dalam hal ini, keseimbangan antara keduanya adalah kunci untuk memastikan bahwa notaris dapat menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan menjaga kredibilitas sistem hukum Indonesia.
Perlindungan Hukum Jabatan Notaris sebagai Pilar Kepastian Hukum
Kewajiban dan hak ingkar menjadi dua aspek fundamental dalam menjaga integritas jabatan notaris. Keduanya memiliki dasar hukum yang jelas, yang diatur dalam UUJN dan Burgerlijk Wetboek, dan diimplementasikan untuk menciptakan legal certainty dan justice yang tidak hanya melindungi kepentingan pihak-pihak terkait, tetapi juga menjaga reputasi dan kepercayaan publik terhadap jabatan notaris (Widhasani & Latumeten, 2022). Dalam perspektif aksioogi hukum, prinsip veritas, officium nobile, dan officium trust menjadikan jabatan notaris sebagai jabatan yang penuh tanggung jawab dan kehormatan, yang harus dilaksanakan dengan penuh integritas, menjaga kerahasiaan, dan menolak segala bentuk tekanan yang merusak independensinya.
ASPEK HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DAN PERAN BUKTI BARU (NOVUM) DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 5710K/PIDSUS/2023
Peninjauan Kembali (revisional) merupakan mekanisme yang sangat penting dalam upaya memastikan tercapainya justice substantif keadilan yang tidak hanya berbicara mengenai prosedur dan formalitas hukum, tetapi juga mengutamakan keadilan material berdasarkan fakta yang sebenarnya (R. Sembiring, 2024). Salah satu elemen yang menarik perhatian dalam kasus Putusan Mahkamah Agung RI No. 5710K/Pidsus/2023, yang melibatkan jabatan notaris dan dokumen Covernote, adalah pertanyaan terkait dengan keabsahan bukti yang digunakan untuk mendasarkan keputusan tersebut. Salah satu topik penting yang perlu dicermati adalah penggunaan bukti baru (novum), yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai dasar untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Pemahaman mengenai kriteria novum yang sah, serta relevansinya terhadap perkara yang sedang ditangani, sangat penting untuk menentukan apakah Peninjauan Kembali (PK) ini memiliki dasar yang cukup kuat dalam menghasilkan perubahan substantif dalam putusan yang telah dijatuhkan.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 5710 K/Pid-Sus/2023 tanggal 23 November 2023 yang amarnya sebagai berikut:
MENGADILI
- Menyatakan Terdakwa ELVIERA, S.H., M.Kn., terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi secara bersama-sama”;
- Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan pidana denda sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;
- Menetapkan lamanya masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
- Menetapkan barang bukti berupa:
- Barang bukti nomor urut 1 sampai dengan nomor urut 360 selengkapnya sebagaimana dalam Tuntutan Pidana Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Medan tanggal 2 Desember 2022;
Dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain atas nama Mujianto;
- Barang bukti nomor urut 1 sampai dengan nomor urut 360 selengkapnya sebagaimana dalam Tuntutan Pidana Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Medan tanggal 2 Desember 2022;
- Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
Amar Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 9/PID.SUS-TPK/2023/PT.Mdn Tanggal 09 Maret 2023 adalah sebagai berikut:
MENGADILI
– Menerima permintaan banding dari Penuntut Umum;
– Mengubah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan 42/Pid.Sus-TPK/2022/PN Mdn tanggal 23 Desember 2022 yang dimintakan banding, mengenai pidana yang dijatuhkan. Sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
- Menyatakan Terdakwa ELVIERA, S.H., M.Kn., tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Primair Kesatu, Dakwaan Primair Kedua, dan Dakwaan Subsidair Pertama;
- Membebaskan Terdakwa dari dakwaan tersebut;
- Menyatakan Terdakwa ELVIERA, S.H., M.Kn., terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi secara bersama-sama” sebagaimana dalam dakwaan Subsidair Kedua;
- Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
- Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
- Menetapkan barang bukti berupa:
- Barang bukti nomor urut 1 sampai dengan nomor urut 360 selengkapnya sebagaimana dalam Tuntutan Pidana Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Medan tanggal 2 Desember 2022;
Dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain atas nama Mujianto;
- Barang bukti nomor urut 1 sampai dengan nomor urut 360 selengkapnya sebagaimana dalam Tuntutan Pidana Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Medan tanggal 2 Desember 2022;
- Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa dalam dua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sejumlah Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
Amar Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 42/Pid-Sus-TPK/2022/PN. Mdn Tanggal 22 Desember 2022 adalah sebagai berikut:
MENGADILI
- Menyatakan Terdakwa ELVIERA, S.H., M.Kn., tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Primair Kesatu, Dakwaan Primair Kedua, dan Dakwaan Subsidair Pertama;
- Membebaskan Terdakwa dari dakwaan tersebut;
- Menyatakan Terdakwa ELVIERA, S.H., M.Kn., terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi secara bersama-sama” sebagaimana dalam Dakwaan Subsidair Kedua;
- Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
- Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
- Menetapkan barang bukti berupa:
- Barang bukti nomor urut 1 sampai dengan nomor urut 360 selengkapnya sebagaimana dalam Tuntutan Pidana Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Medan tanggal 2 Desember 2022;
Dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain atas nama Mujianto; - Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp5.000,00 (lima ribu rupiah).
- Barang bukti nomor urut 1 sampai dengan nomor urut 360 selengkapnya sebagaimana dalam Tuntutan Pidana Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Medan tanggal 2 Desember 2022;
Definisi dan Kriteria Bukti Baru (Novum)
Novum dapat diartikan sebagai bukti yang tidak diketahui sebelumnya meskipun telah dilakukan upaya maksimal dalam pemeriksaan perkara pada tingkat pengadilan yang lebih rendah. Pasal 263 ayat (2) KUHAP memberikan definisi bahwa bukti baru adalah bukti yang ditemukan setelah putusan dijatuhkan yang berpotensi mengubah keputusan yang telah ada (Ilyas, 2024a). Kriteria penting yang harus dipenuhi oleh bukti baru ini adalah relevansi dan signifikansi terhadap pokok perkara. Bukti tersebut haruslah dapat mempengaruhi atau setidaknya memberikan gambaran baru yang substansial mengenai kasus tersebut.
Covernote yang dalam praktik notariat sering dianggap sebagai dokumen administratif yang tidak memiliki akibat hukum yang sama dengan akta notaris, menjadi titik fokus utama. Jika bukti baru yang ditemukan mengungkapkan bahwa dokumen tersebut tidak memiliki relevansi hukum yang cukup untuk membentuk dasar pertanggungjawaban, maka novum yang diajukan dapat berpotensi untuk mengubah perspektif dalam perkara ini (A. H. Sembiring, 2022). Oleh karena itu, bukti baru yang relevan, seperti keterangan dari ahli (expert testimony) atau dokumen yang menunjukkan bahwa Covernote tidak memiliki akibat hukum yang setara dengan akta notaris, dapat memperkuat argumen dalam proses Peninjauan Kembali (judicial review).
Aspek Hukum Substantif dan Prosedural dalam Penggunaan Bukti Baru
Dari sudut pandang hukum substantif, novum yang diajukan dalam proses Peninjauan Kembali harus mampu membuktikan bahwa informasi baru atau perbuatan yang dilakukan oleh jabatan notaris tidak mengarah pada kesalahan yang bersifat material atau tidak merugikan pihak terkait (Ilyas, 2024a). Dalam hal ini, Covernote dianggap sebagai dokumen administratif yang hanya memiliki nilai formalitas dalam suatu transaksi, yang tidak dapat disamakan dengan kekuatan hukum akta notaris yang memiliki akibat hukum yang lebih jauh. Oleh karena itu, jika bukti baru dapat membuktikan bahwa Covernote tidak mempengaruhi substansi transaksi atau hasil keputusan yang dijatuhkan, hal ini bisa menjadi dasar yang kuat dalam Peninjauan Kembali. In dubio pro reo, suatu prinsip yang mengharuskan pengadilan untuk mendahulukan keraguan atas kesalahan terdakwa dapat dijadikan dasar untuk menilai apakah suatu kesalahan prosedural yang melibatkan jabatan notaris dapat dianggap sebagai kesalahan yang tidak merugikan pihak manapun.
Dari sisi hukum prosedural, yang menjadi sorotan adalah apakah prosedur yang diterapkan oleh Majelis Kehormatan Notaris (MKN) dan dalam proses penyidikan sudah berjalan sesuai dengan prinsip due process of law. Jika ditemukan bahwa proses yang dilalui dalam penetapan status hukum Covernote tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka hal ini dapat dianggap sebagai kekeliruan prosedural yang berpotensi merugikan pihak yang terlibat. Dalam konteks ini, hak atas pembelaan (right to defense) dan hak atas peradilan yang adil (fair trial) harus ditegakkan, sebagai salah satu pilar utama dalam peradilan pidana yang adil. Kekeliruan dalam prosedur, baik dalam proses persetujuan oleh MKN maupun dalam prosedur penyidikan, dapat menjadi alasan untuk mengajukan PK, guna memperbaiki putusan yang berdasarkan pada prosedur yang cacat.
Keabsahan Covernote dan Tanggung Jawab Jabatan Notaris
Dalam kaitannya dengan keabsahan Covernote, penting untuk membedakan peran dan tanggung jawab jabatan notaris dalam konteks hukum Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) mengatur bahwa Covernote adalah dokumen administratif yang tidak dapat diperlakukan dengan akibat hukum yang setara dengan akta notaris (Farizy dkk., 2023). Dalam hal ini, jika bukti baru menunjukkan bahwa Covernote tidak memiliki kekuatan hukum yang sama dengan akta notaris yang sah, maka hal tersebut dapat menjadi novum yang kuat dalam proses Peninjauan Kembali. Sebagaimana ditegaskan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung, bahwa jabatan notaris berfungsi sebagai saksi autentik dalam pembuatan akta, namun Covernote sebagai dokumen sementara dalam transaksi kenotariatan tidak seharusnya diberi kekuatan pembuktian yang sama dengan akta notaris yang memiliki kekuatan pembuktian yang lebih kuat.
Dalam hal tanggung jawab jabatan notaris, tidak setiap kesalahan yang terjadi dalam pembuatan dokumen administratif seperti Covernote dapat langsung disimpulkan sebagai kelalaian yang merugikan. Errare humanum est—kesalahan adalah bagian dari sifat manusiawi—dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menilai apakah suatu kelalaian administratif yang dilakukan oleh jabatan notaris dapat dianggap sebagai kesalahan yang mengarah pada tindak pidana atau tidak. Kewajiban notaris yang bersifat fidusia (dengan kepercayaan) mengharuskan notaris untuk bertindak dengan penuh hati-hati, namun tidak setiap kekeliruan administratif seharusnya mengarah pada tanggung jawab pidana jika tidak menyebabkan kerugian yang cukup besar (Putri dkk., 2023). Oleh karena itu, novum yang menunjukkan bahwa kesalahan dalam pembuatan Covernote adalah kelalaian administratif yang tidak memiliki dampak hukum yang signifikan dapat menjadi dasar untuk merevisi putusan yang telah dijatuhkan.
Prosedur Persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (MKN)
Prosedur persetujuan yang dijalankan oleh Majelis Kehormatan Notaris (MKN) menjadi elemen penting dalam penilaian terhadap apakah jabatan notaris telah bertindak sesuai dengan standar profesinya. Legalitas dan etika profesi notaris harus dijaga agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam pembuatan dokumen (Hery Kurniawan Zaenal, 2022). Dalam hal ini, jika bukti baru menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam prosedur persetujuan oleh MKN atau jika proses tersebut tidak dilakukan dengan benar, maka hal tersebut dapat dianggap sebagai dasar yang sah untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Sebagaimana dijelaskan dalam yurisprudensi Mahkamah Agung, proses persetujuan MKN yang cacat dapat menyebabkan kerugian yang material, yang kemudian dapat mempengaruhi penilaian terhadap jabatan notaris dalam suatu perkara.
Ketidaksesuaian dalam Proses Penyidikan
Selain itu, proses penyidikan terhadap jabatan notaris juga harus dilakukan secara transparan dan sesuai dengan prinsip-prinsip rule of law dan due process. Apabila bukti baru mengungkapkan adanya manipulasi informasi atau adanya penyalahgunaan wewenang dalam penyidikan, maka hal tersebut dapat memperkuat argumen untuk Peninjauan Kembali (Asshiddiqie, 2021). Jika ada bukti baru yang menunjukkan bahwa hasil penyidikan tidak mencerminkan fakta yang sebenarnya, atau ada penyimpangan yang mempengaruhi keputusan terhadap jabatan notaris, maka hal tersebut dapat menjadi dasar untuk memohon Peninjauan Kembali.
Fakta Baru yang Dapat Mengubah Putusan
Dalam hal ini, fakta baru yang muncul, baik dalam bentuk dokumen administratif yang sebelumnya tidak disertakan dalam proses persidangan, atau kesaksian ahli yang baru ditemukan, dapat berperan penting dalam memperbaiki putusan. Sebagai contoh, kesaksian ahli kenotariatan yang menyatakan bahwa Covernote tidak memiliki akibat hukum yang sama dengan akta notaris dapat menjadi novum yang dapat menggugurkan putusan yang sudah ada (Rudy, 2021). Demikian pula, jika ada rekaman penyidikan atau keterangan dari pihak lain yang mengungkapkan penyimpangan dalam proses penyidikan, hal ini juga bisa menjadi dasar yang sah untuk melakukan Peninjauan Kembali.
Prosedur Pengajuan Peninjauan Kembali
Prosedur Pengajuan Peninjauan Kembali yang diatur dalam Pasal 263 KUHAP harus memperhatikan setiap bukti baru yang ditemukan pasca putusan. Mahkamah Agung akan menilai apakah bukti baru tersebut memenuhi kriteria novum dan apakah bukti tersebut cukup kuat untuk membenarkan pembatalan atau perubahan putusan (Ilyas, 2024). Proses evaluasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung menjadi sangat krusial dalam menentukan apakah PK tersebut berpotensi mengubah hasil putusan.
Pentingnya aspek hukum substantif dan prosedural dalam penggunaan bukti baru (novum) dalam Peninjauan Kembali, khususnya dalam konteks putusan Mahkamah Agung No. 5710K/Pidsus/2023, adalah esensial untuk memastikan keadilan yang hakiki bagi semua pihak. Dengan mengedepankan novum yang relevan dan signifikan, serta memastikan bahwa prosedur yang berlaku sudah dijalankan dengan benar, mekanisme Peninjauan Kembali dapat menjadi alat yang efektif untuk mencapai keadilan substantif, meskipun prosedur hukum yang telah dijalankan sebelumnya tidak sempurna. Setiap novum yang ditemukan dan relevan dapat memberikan landasan yang kuat untuk perubahan keputusan yang lebih adil, demi tercapainya iustitia dalam sistem peradilan Indonesia.
TINJAUAN PERSPEKTIF HUKUM PADA PROSES KEADILAN SUBSTANTIF
Dalam sistem peradilan Indonesia, mekanisme Peninjauan Kembali (Judicial Review) memainkan peran yang sangat vital untuk menjamin bahwa setiap keputusan hukum yang dijatuhkan benar-benar mencerminkan keadilan substantif dan keadilan prosedural. Prinsip ini menjadi semakin relevan dalam kasus yang melibatkan jabatan notaris, di mana ketidakpastian hukum terkait prosedur dan substansi perkara dapat berpengaruh pada keabsahan putusan (Penasthika, 2024). Putusan Mahkamah Agung RI No. 5710 K/Pid-Sus/2023 yang melibatkan jabatan notaris dalam kaitannya dengan pembuatan covernote, membuka ruang bagi penggunaan novum sebagai bukti baru yang relevan untuk diajukan dalam proses Peninjauan Kembali (Review of Judgment). Dalam artikel ini, penulis akan menganalisis secara mendalam penerapan novum dalam konteks hukum Indonesia, merujuk pada yurisprudensi Mahkamah Agung, dasar hukum yang berlaku, serta doktrin hukum asing yang relevan untuk memperkuat argumen tersebut.
Konsep Novum dalam Peninjauan Kembali
Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) dalam sistem hukum Indonesia diatur oleh Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa PK hanya dapat diajukan apabila terdapat novum atau bukti baru yang tidak diketahui pada saat sidang pertama dan berpotensi mengubah putusan yang telah dijatuhkan (Kadafi, 2023). Konsep novum ini, yang dalam teori hukum sering disebut sebagai new evidence, menjadi instrumen penting untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil oleh pengadilan benar-benar mendasar pada fakta yang akurat, dan tidak ada unsur kesalahan atau kekeliruan substansial.
Berdasarkan prinsip res judicata, yakni hukum yang mengatur bahwa keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat diubah kembali, kecuali dalam keadaan tertentu—maka novum berfungsi untuk mengatasi ketidakadilan yang timbul akibat keputusan yang terpengaruh oleh informasi atau bukti yang belum terungkap pada saat persidangan awal (Gellhorn, 2019). Dalam perkara Putusan Mahkamah Agung RI No. 5710 K/Pid-Sus/2023, terdapat potensi novum yang sangat relevan, berupa keterangan baru dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN), opini ahli, dokumen administratif, dan kesaksian pihak ketiga yang terlibat dalam transaksi terkait covernote.
Keterangan Baru dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN) sebagai Novum
Salah satu jenis bukti baru yang relevan dan dapat memperkuat pengajuan PK adalah keterangan dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN), yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Menurut Pasal 66 UUJN, setiap tindakan yang dilakukan oleh jabatan notaris yang menyangkut akta notaris memerlukan persetujuan terlebih dahulu dari MKN (Harianto, 2024). Namun, dalam hal ini, covernote, yang bukan merupakan bagian dari akta notaris, tidak memerlukan persetujuan tersebut. Oleh karena itu, jika ditemukan bukti bahwa covernote digunakan dalam penyidikan tanpa adanya persetujuan sah dari MKN, hal ini dapat menjadi novum yang menggugurkan kesalahan prosedural dalam proses hukum terhadap jabatan notaris.
Prinsip doctrine of ultra vires (di luar wewenang) dalam hukum Indonesia mengatur bahwa suatu tindakan yang dilakukan tanpa persetujuan atau otoritas yang sah tidak dapat dijadikan dasar hukum yang sah. Jika dalam perkara ini, proses penyidikan terhadap covernote dilakukan tanpa mengikuti prosedur yang sah sesuai dengan ketentuan UUJN, maka hal ini dapat membuktikan adanya ketidaksahannya tindakan penyidik, yang berujung pada nullification atau pembatalan putusan yang telah dijatuhkan.
Opini Ahli Kenotariatan: Analisis Substansial terhadap Kesalahan Administratif
Novum lain yang dapat diajukan dalam perkara ini adalah opini dari ahli kenotariatan yang menjelaskan bahwa kesalahan dalam pembuatan covernote bukan merupakan kesalahan material yang dapat berakibat pada kerugian hukum yang signifikan (Wijaya, 2019). Dalam konteks ini, testimoni ahli terutama dari pakar hukum notaris seperti Dr. Habib Adjie dapat mengungkapkan bahwa kesalahan administratif dalam penyusunan covernote tidak cukup untuk mendatangkan sanksi pidana terhadap jabatan notaris, jika tidak ada dolus directus (niat jahat) atau culpa lata (kelalaian berat) yang terbukti (Adjie, Habib, 2023). Menurut teori hukum, apabila kesalahan tersebut tidak merugikan pihak terkait atau merusak keabsahan dari akta notaris yang sah, maka tidak ada alasan untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Pandangan doktrin de minimis non curat lex, yang berarti hukum tidak akan mencampuri urusan yang sangat kecil atau sepele yang tidak memiliki dampak signifikan terhadap proses hukum, sangat relevan di sini. Sehingga, jika kesalahan dalam covernote hanya merupakan masalah teknis yang tidak berdampak pada substantive rights (hak substantif) pihak-pihak yang terlibat, maka dapat dipertimbangkan bahwa tidak ada dasar hukum yang kuat untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Dokumen atau Rekaman Administratif Baru yang Ditemukan
Selain opini ahli, novum lainnya yang relevan dalam kasus ini adalah dokumen administratif baru yang ditemukan, misalnya melalui audit internal dari kantor notaris yang menunjukkan bahwa covernote disusun berdasarkan informasi yang disampaikan oleh pihak ketiga tanpa niat untuk menipu atau melanggar hukum. Jika ditemukan bukti yang memperjelas bahwa kesalahan dalam pembuatan covernote bukanlah hasil dari kelalaian atau tindakan tidak sah dari jabatan notaris, tetapi merupakan kesalahan administratif semata, maka hal ini berpotensi untuk mengubah dasar hukum dalam perkara ini. Prinsip ne bis in idem (tidak dapat dihukum dua kali untuk kesalahan yang sama) juga harus menjadi pertimbangan penting dalam hal ini. Jika kesalahan dalam covernote tidak terbukti merugikan atau membahayakan pihak-pihak terkait, maka tidak ada alasan hukum untuk menerapkan sanksi pidana yang lebih berat terhadap jabatan notaris.
Kesaksian Baru dari Pihak Ketiga yang Terlibat
Kesaksian baru dari pihak ketiga yang terlibat dalam transaksi yang didampingi oleh covernote juga menjadi novum yang relevan. Jika pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut memberikan kesaksian yang menyatakan bahwa mereka tidak merasa dirugikan oleh kesalahan dalam covernote, maka hal ini akan menjadi bukti yang menunjukkan bahwa meskipun ada kekeliruan administratif, tidak ada dampak hukum yang merugikan mereka. Dalam hal ini, prinsip mitigation of sentence (pembaharuan hukuman) dapat diterapkan, yang memungkinkan pengadilan untuk merespons kesalahan administratif yang tidak berakibat pada kerugian materiil dengan memberikan sanksi yang lebih ringan atau bahkan pembatalan terhadap hukuman tersebut. Mitigation dapat digunakan untuk menilai apakah sanksi pidana terhadap jabatan notaris dapat dikurangi atau dibatalkan, mengingat adanya kesalahan teknis yang tidak berdampak pada keabsahan transaksi hukum yang dilakukan.
Perlindungan terhadap Jabatan Notaris: Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkar
Salah satu prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan dalam perkara ini adalah perlindungan hukum terhadap jabatan notaris sebagai pejabat publik yang diberi wewenang untuk membuat akta autentik. Berdasarkan Pasal 66 UUJN, jabatan notaris memiliki kewajiban untuk menolak memberikan keterangan tentang akta yang dibuatnya kecuali dengan persetujuan dari MKN atau perintah pengadilan (Qonitah Annur Aziza dkk., 2020). Konsep right to silence atau hak untuk tidak menjawab, dalam bahasa Latin: “nemo tenetur seipsum accusare” yang dapat dimaknai jabatan notaris tidak boleh dipaksa untuk mengungkapkan informasi terkait akta yang dibuatnya tanpa kewenangan yang sah. Penyimpangan dalam prosedur hukum, seperti tidak adanya persetujuan dari MKN dalam pemeriksaan covernote, dapat menjadi indikasi bahwa hak jabatan notaris telah dilanggar. Oleh karena itu, Peninjauan Kembali terhadap putusan yang dijatuhkan harus dilakukan untuk memastikan bahwa hak-hak jabatan notaris dilindungi sesuai dengan prinsip due process of law.
Implikasi dari Pengajuan Peninjauan Kembali
Jika Mahkamah Agung menerima pengajuan Peninjauan Kembali dan memutuskan untuk membatalkan atau mengubah putusan yang telah ada, maka hal ini bukan hanya memperbaiki kesalahan prosedural atau substantif dalam perkara ini, tetapi juga memperkuat integritas profesi notaris yang harus dijaga martabatnya. Dalam konteks ini, novum yang berupa keterangan dari MKN, opini ahli, dokumen administratif, atau kesaksian pihak ketiga harus memenuhi kriteria hukum yang ketat, sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP, yakni bukti baru yang relevan dan material untuk mengubah substansi dari putusan yang sudah ada. Peninjauan Kembali merupakan mekanisme yang sangat penting untuk memastikan keadilan substantif dan keadilan prosedural dalam sistem peradilan Indonesia, terutama dalam perkara yang melibatkan jabatan notaris (Rahman dkk., 2022). Dengan mempertimbangkan bukti-bukti baru atau novum yang relevan, baik berupa keterangan MKN, opini ahli, dokumen administratif, maupun kesaksian pihak ketiga, maka Peninjauan Kembali dalam kasus ini berpotensi untuk merubah atau meringankan hukuman yang dijatuhkan. Oleh karena itu, penerapan prinsip due process of law, res judicata, dan ne bis in idem harus dijaga agar setiap keputusan hukum yang diambil benar-benar mencerminkan keadilan substantif yang tidak hanya adil secara formal, tetapi juga dalam substansinya.
ANALISIS PERSPEKTIF HUKUM DAN KEADILAN SUBSTANTIF PADA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 5710 K/PID-SUS/2023
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5710 K/Pid-Sus/2023 yang menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara dan denda sebesar Rp400.000.000,00 terhadap Elviera, seorang jabatan notaris, atas tuduhan korupsi dalam transaksi perbankan mengundang berbagai pertanyaan kritis mengenai keadilan substantif dalam sistem hukum Indonesia. Kasus ini menyentuh aspek-aspek penting yang berkaitan dengan penerapan prinsip justice, due process of law, dan proportionality dalam pengambilan keputusan hukum yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai keadilan. Artikel ini bertujuan untuk memberikan tinjauan kritis terhadap penerapan prinsip-prinsip hukum tersebut, serta mengeksplorasi potensi celah hukum yang dapat memengaruhi hasil akhirnya.
Ultra Petita dan Ketidaksesuaian dalam Penerapan Hukum Pidana
Salah satu masalah fundamental dalam putusan Mahkamah Agung ini adalah penerapan ultra petita, yang dalam hukum pidana merujuk pada pemberian hukuman yang melebihi tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Prinsip ini bertentangan dengan asas nullum crimen sine lege (tidak ada kejahatan tanpa hukum) dan due process of law (proses hukum yang adil), yang menjadi pedoman utama dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Dalam hal ini, penerapan hukuman yang lebih berat dari yang diminta oleh JPU merujuk pada pelanggaran terhadap principle of legality yang mendasari semua tindakan hukum, termasuk dalam hal pemberian sanksi pidana.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kasasi hanya dapat diajukan atas dasar kekeliruan dalam penerapan hukum atau fakta hukum yang tidak diperhitungkan dengan tepat oleh pengadilan tingkat pertama. Dalam konteks ini, Mahkamah Agung berpotensi terjebak dalam abuse of power jika keputusannya tidak konsisten dengan dasar tuntutan yang diajukan oleh JPU. Oleh karena itu, penerapan ultra petita dalam perkara ini sangat problematis, karena tidak hanya menyalahi prinsip proportionality (kesetaraan antara kejahatan dan hukuman), tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum yang merugikan bagi pihak terdakwa. Yurisprudensi Mahkamah Agung seperti dalam Putusan No. 1529 K/Pid.Sus/2015 dan No. 2760 K/Pid/2017 menegaskan bahwa pengadilan kasasi tidak boleh melampaui batas tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam menetapkan hukuman.
Novum dalam Proses Peninjauan Kembali: Pemahaman Substantif terhadap Fakta Baru
Dalam hal ini, novum sebagai bukti baru yang dapat memengaruhi perubahan putusan berperan sangat penting dalam upaya Peninjauan Kembali (PK) terhadap keputusan Mahkamah Agung. Dalam konteks hukum pidana, novum diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP, yang memungkinkan adanya perubahan putusan apabila ditemukan bukti baru yang secara substansial mengubah hasil perkara. Dalam kasus ini, novum yang relevan adalah fakta bahwa Elviera, dalam kapasitasnya sebagai seorang jabatan notaris, hanya menjalankan fungsi administratif dalam pembuatan covernote untuk transaksi perbankan dan tidak terlibat dalam keputusan pencairan dana kredit yang akhirnya menjadi bagian dari tindak pidana korupsi.
Tantangan dalam perkara ini adalah bagaimana mengkaji apakah novum tersebut dapat membuktikan bahwa Elviera tidak memiliki tanggung jawab pidana atas kerugian negara yang ditimbulkan, jika masalah tersebut telah diselesaikan melalui jalur perdata tanpa adanya kerugian publik. Konsep ultima ratio dalam hukum pidana, yang mengharuskan penerapan sanksi pidana hanya sebagai jalan terakhir setelah upaya penyelesaian perdata gagal, seharusnya diterapkan dalam perkara ini. Dalam hal ini, apabila perkara telah diselesaikan dalam ranah perdata dan tidak ada bukti kerugian negara, maka penjatuhan hukuman pidana terhadap seorang jabatan notaris yang hanya menjalankan tugas administratif menjadi tidak sejalan dengan prinsip subsidiarity dalam hukum pidana yang menekankan pemilihan jenis sanksi yang paling ringan dan sesuai.
Aspek Kemanusiaan dalam Penjatuhan Sanksi: Pertimbangan Sosial dan Kesehatan Terdakwa
Selain dari perspektif legalitas, dalam penerapan hukum pidana, sangat penting untuk mempertimbangkan aspek kemanusiaan yang tercermin dalam Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang memberikan ruang bagi pengadilan untuk mempertimbangkan faktor pribadi terdakwa, seperti kondisi kesehatan dan sosial. Terdakwa dalam perkara ini, Elviera, seorang ibu dengan anak-anak yang masih bersekolah serta kondisi kesehatan yang memerlukan perawatan rutin, menghadirkan dimensi kemanusiaan yang sangat relevan dalam proses penjatuhan hukuman. Humanitarian law (hukum kemanusiaan) mengharuskan adanya keseimbangan antara sanksi pidana dengan dampaknya terhadap kehidupan sosial dan kesehatan terdakwa.
Proportionality dan fairness adalah prinsip yang seharusnya diterapkan dalam memutuskan tingkat hukuman yang sebanding dengan akibat dari perbuatan yang dilakukan, serta dengan mempertimbangkan kehidupan pribadi dan keluarga terdakwa (Hafrida & Usman, 2024). Keberpihakan terhadap kondisi pribadi terdakwa adalah bagian dari perlindungan hak-hak individu yang tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang mengatur bahwa hak atas kehidupan dan kesehatan tidak boleh diabaikan dalam pemberian sanksi pidana. Dengan demikian, penerapan hukuman yang berat tanpa mempertimbangkan kondisi terdakwa bisa dianggap tidak adil dan mengabaikan prinsip equality before the law, yang tercantum dalam Pasal 27 UUD 1945.
Diskriminasi dalam Pemidanaan: Ketidakmerataan Penegakan Hukum
Aspek diskriminasi dalam penerapan hukum pidana dalam perkara ini perlu mendapatkan perhatian serius. Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung dan prinsip equality before the law, penerapan hukum harus merata tanpa ada diskriminasi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam perkara yang serupa (Handayani, 2022). Dalam kasus ini, meskipun Elviera dijatuhi hukuman pidana yang berat, sejumlah tersangka lainnya yang terlibat dalam transaksi yang sama tidak dikenai tindakan hukum yang setara. Hal ini membuka pertanyaan mengenai integritas sistem peradilan yang seharusnya menjamin kesetaraan dalam perlakuan terhadap semua individu, tanpa melihat jabatan atau status sosial mereka.
Non-discrimination principle (prinsip non-diskriminasi) menegaskan bahwa dalam setiap proses hukum, tidak boleh ada diskriminasi yang tidak dapat dibenarkan dalam bentuk apapun, apalagi dalam perkara yang memiliki substansi yang sama. Ketidakterlibatannya pihak-pihak lain yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam kerugian negara memunculkan kekhawatiran mengenai transparansi dan objektivitas proses hukum yang diterapkan dalam kasus ini. Oleh karena itu, ketidakmerataan dalam penerapan hukum dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem hukum nasional dan menimbulkan ketidakadilan struktural.
Menegakkan Keadilan dalam Peninjauan Kembali
Berdasarkan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa putusan Mahkamah Agung No. 5710 K/Pid-Sus/2023 perlu dievaluasi secara lebih mendalam, dengan mempertimbangkan novum yang diajukan dalam Peninjauan Kembali (PK). Fakta bahwa masalah tersebut telah diselesaikan melalui jalur perdata dan tidak ada kerugian negara yang terbukti, memberikan dasar hukum yang kuat untuk membatalkan atau mengurangi hukuman terhadap terdakwa. Selain itu, penerapan prinsip ultima ratio yang menekankan penggunaan sanksi pidana hanya sebagai langkah terakhir harus menjadi perhatian utama dalam menegakkan keadilan substantif.
Lebih lanjut, penting untuk mengedepankan proportionality dalam penjatuhan hukuman dan mempertimbangkan faktor kemanusiaan yang relevan dalam konteks kehidupan pribadi terdakwa. Oleh karena itu, Peninjauan Kembali ini menjadi sarana yang penting untuk mengoreksi ketidaksesuaian dalam penerapan hukum dan memastikan bahwa putusan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan keadilan substantif, bukan hanya keadilan prosedural semata. Penting bagi sistem peradilan Indonesia untuk tetap berpijak pada prinsip-prinsip due process of law, equality before the law, serta human rights dalam setiap proses hukum yang melibatkan individu, terutama dalam kasus yang melibatkan profesi yang terikat oleh etika dan norma hukum yang ketat, seperti jabatan notaris. Peninjauan Kembali terhadap putusan ini harus menjadi momentum untuk memperbaiki dan memastikan bahwa setiap keputusan hukum yang diambil sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan yang mendalam dan merata.
Evaluasi Aspek Aksiologi dan Penerapan Prinsip Hukum dalam Penjatuhan Pidana
Kasus yang dihadirkan dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5710 K/Pid-Sus/2023, yang melibatkan seorang notaris bernama Elviera, memunculkan diskursus tajam mengenai penerapan prinsip keadilan dalam hukum pidana di Indonesia, terutama terkait dengan tindakan korupsi yang melibatkan aspek administratif. Kasus ini mengungkapkan ketegangan antara penerapan hukum yang kaku dan mekanistik dengan upaya untuk mencapai keadilan substantif (substantive justice). Dalam kerangka ini, artikel ini berusaha menggali lebih dalam nilai-nilai moral yang mendasari hukum pidana Indonesia (aksiologi hukum), serta mengkritisi penerapan prinsip-prinsip dasar dalam penjatuhan pidana, dengan tujuan untuk memberikan kontribusi terhadap pemahaman dan reformasi hukum yang lebih substantif di Indonesia.
Salah satu isu krusial dalam perkara ini adalah penerapan prinsip ultra petita, yang berhubungan dengan kewenangan Mahkamah Agung sebagai Judex Juris dalam menentukan berat atau ringan pidana dalam tingkat kasasi. Berdasarkan Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kasasi hanya dapat dilakukan untuk menilai kesalahan penerapan hukum atau pemeriksaan fakta di tingkat pengadilan pertama dan banding. Mahkamah Agung seharusnya tidak terlibat dalam penentuan berat ringannya pidana, yang menjadi kewenangan hakim pada tingkat pertama atau banding (Judex Facti). Dengan demikian, keputusan Mahkamah Agung yang menilai berat ringannya pidana dalam tingkat kasasi merupakan sebuah error in judicando yang dapat merusak prinsip due process of law, yang merupakan pilar fundamental dalam peradilan yang adil. Hal ini sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No. 682 K/Pid/2012 dan No. 1809 K/Pid.Sus/2014 yang secara konsisten menegaskan kewenangan hakim di tingkat pengadilan pertama dan banding dalam menilai berat ringannya pidana.
Selain itu, penerapan asas ultimum remedium atau asas ultima ratio dalam kasus ini menjadi sorotan. Prinsip ini menyatakan bahwa hukum pidana harus menjadi langkah terakhir setelah alternatif penyelesaian yang lebih ringan telah ditempuh. Dalam konteks ini, Elviera, yang hanya berperan administratif dalam penyusunan akta perjanjian kredit, tidak terlibat langsung dalam kerugian negara yang timbul dari penyalahgunaan kredit tersebut. Sebagian besar permasalahan telah diselesaikan melalui jalur perdata, sebagaimana tercermin dalam Putusan Perdata Nomor 145/Pdt.G/2021/PN Lbp. Oleh karena itu, penjatuhan pidana terhadap Elviera, meskipun ada penyelesaian perdata yang sudah memadai, melanggar asas ultimum remedium yang mengharuskan penerapan pidana hanya jika semua jalur penyelesaian lain telah habis.
Prinsip proportionality atau proporsionalitas juga sangat relevan dalam diskursus ini. Sebagaimana ditegaskan oleh H.L.A. Hart, sanksi pidana harus proporsional dengan tingkat kesalahan dan peran individu dalam tindak pidana yang dilakukan (Gunaryo, 2011). Dalam hal ini, sanksi pidana yang dijatuhkan kepada Elviera yang hanya berperan administratif jelas tidak proporsional dengan tingkat peranannya dalam perbuatan pidana yang dituduhkan, sebuah pelanggaran terhadap prinsip fairness dan reasonableness dalam hukum pidana. Tanpa adanya mens rea (niat jahat) atau actus reus (perbuatan melawan hukum) yang signifikan, tidak ada alasan untuk menuntut Elviera dengan pidana yang berat, apalagi sampai merugikan hak-hak asasinya.
Ketidaksetaraan perlakuan hukum yang terjadi dalam kasus ini, terutama perbedaan perlakuan antara Elviera dan tersangka lain dari PT. BTN, juga menimbulkan pertanyaan serius tentang penerapan prinsip equality before the law. Dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, diatur bahwa setiap orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum, namun dalam perkara ini, terdapat ketidaksetaraan mencolok, di mana Elviera dijatuhi hukuman lebih berat dibandingkan dengan pihak-pihak yang lebih bertanggung jawab terhadap kerugian negara, termasuk lembaga keuangan seperti PT. BTN. Fenomena ini mencerminkan adanya praktik diskriminasi dalam penegakan hukum yang bertentangan dengan prinsip non-discrimination yang tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Ketidaksetaraan dalam perlakuan hukum ini tidak hanya merusak kredibilitas sistem peradilan, tetapi juga menurunkan legitimasi negara di mata publik. Robert Nozick, dalam bukunya Anarchy, State, and Utopia, mengingatkan bahwa ketidakadilan dalam penegakan hukum berisiko merusak legitimasi negara, yang seharusnya menjadi penjaga keadilan dan hak asasi warganya tanpa membedakan status atau jabatan.
Selanjutnya, penerapan prinsip novum (bukti baru) dalam pengajuan Peninjauan Kembali (PK) juga relevan dalam konteks ini. Berdasarkan Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, novum dapat digunakan untuk mengajukan PK jika ada bukti baru yang belum diketahui saat putusan sebelumnya dijatuhkan. Dalam kasus ini, Putusan Perdata Nomor 145/Pdt.G/2021/PN Lbp yang menyatakan bahwa tidak ada kerugian negara akibat tindakan Elviera, seharusnya menjadi novum yang relevan. Oleh karena itu, berdasarkan jurisprudence constante, Mahkamah Agung seharusnya mempertimbangkan novum ini dalam rangka mengkoreksi putusan pidana yang tidak proporsional terhadap peran Elviera.
Prinsip nullum crimen sine lege juga patut diperhatikan dalam kasus ini. Prinsip ini menegaskan bahwa tidak ada tindak pidana tanpa adanya undang-undang yang jelas yang mengaturnya. Dalam hal ini, tidak ada ketentuan hukum yang secara eksplisit mengatur bahwa seorang jabatan notaris dapat dikenakan pidana korupsi hanya karena berperan dalam pembuatan akta perjanjian kredit, apalagi tanpa bukti adanya keuntungan pribadi atau kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindakan administratifnya. Penerapan sanksi pidana yang tidak didasarkan pada aturan hukum yang jelas berpotensi menciptakan legal uncertainty, yang merusak kredibilitas sistem hukum itu sendiri dan membuka ruang bagi judicial overreach.
Terakhir, reformasi hukum menjadi langkah penting untuk mengatasi inkonsistensi dalam penerapan prinsip-prinsip dasar hukum pidana Indonesia. Kasus ini menggambarkan betapa perlunya sistem peradilan yang lebih responsif terhadap keadilan substantif dan prinsip due process of law. Pemidanaan harus didasarkan pada lex lata (hukum yang berlaku) yang jelas dan terukur, serta lex ferenda (hukum yang diinginkan) yang lebih mengutamakan keadilan, kesetaraan, dan hak asasi manusia. Reformasi ini harus mengarah pada keseimbangan antara penerapan hukum yang ketat dan pengedepanan nilai-nilai keadilan yang lebih substantif, sehingga sistem peradilan pidana Indonesia tidak hanya menciptakan legal certainty, tetapi juga menjamin keadilan yang seimbang dan merata bagi semua pihak yang terlibat.
Dengan demikian, penjatuhan pidana yang tidak proporsional dalam kasus Elviera ini membuka ruang bagi evaluasi mendalam terhadap praktik penegakan hukum di Indonesia, yang harus lebih menekankan pada proportionality, due process of law, dan equality before the law sebagai dasar untuk memperbaiki kualitas hukum pidana di masa depan.
Tinjauan Kritis Terhadap Ketidakadilan Pemidanaan dalam Kasus Korupsi Perjanjian Kredit
Pemidanaan yang adil dalam sistem hukum pidana Indonesia tidak hanya berlandaskan pada penerapan hukum yang tegas dan mekanistik, tetapi juga harus memperhatikan prinsip substantive justice, yaitu keadilan yang lebih mengedepankan nilai-nilai moral dan sosial dalam masyarakat. Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 5710 K/Pid-Sus/2023 yang melibatkan notaris Elviera dalam kasus korupsi perjanjian kredit senilai Rp 39,5 miliar memperlihatkan ketidakadilan yang serius dalam penerapan hukum pidana. Meskipun Elviera hanya berperan sebagai pejabat administratif yang membuat akta perjanjian kredit, ia dijatuhi hukuman yang lebih berat daripada pelaku utama, Canakya Suman, yang secara langsung terlibat dalam penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara. Ketidakadilan ini menunjukkan adanya pelanggaran terhadap prinsip sentencing parity dan proportionality, yang mengharuskan pemidanaan dilakukan berdasarkan peran dan kontribusi masing-masing individu dalam tindak pidana tersebut, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan berbagai teori kriminologi yang menekankan keadilan setara.
Prinsip mens rea dan actus reus dalam hukum pidana seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pemidanaan. Dalam hal ini, Elviera tidak memiliki mens rea (niat jahat) dalam melakukan tindak pidana tersebut, karena ia hanya bertindak sesuai dengan prosedur administratif yang berlaku. Penjatuhan hukuman terhadap Elviera tanpa bukti adanya niat atau kesadaran hukum yang melanggar, jelas bertentangan dengan prinsip due process of law dan legal positivism, yang menuntut adanya bukti yang sah atas keterlibatan langsung seseorang dalam tindak pidana. Tanpa adanya mens rea, perbuatan Elviera tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Oleh karena itu, pemidanaan terhadapnya tidak hanya tidak proporsional, tetapi juga berpotensi melanggar asas nullum crimen sine lege dan lex certa, yang mengharuskan setiap tindak pidana didasarkan pada undang-undang yang jelas dan terukur.
Selain itu, ketidakadilan dalam kasus ini semakin diperburuk oleh penerapan prinsip non-discrimination yang mengharuskan perlakuan yang setara bagi semua individu di hadapan hukum. Penjatuhan hukuman yang lebih berat kepada Elviera, yang hanya bertindak dalam kapasitas administratif tanpa keuntungan pribadi, dibandingkan dengan Canakya Suman, yang secara langsung terlibat dalam kerugian negara, menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam proses pemidanaan. Lebih jauh lagi, ketidakwajaran ini juga mencerminkan ketidakadilan struktural yang terjadi, di mana lembaga keuangan seperti Bank BTN yang turut bertanggung jawab dalam pencairan kredit bermasalah, tidak mendapatkan sanksi yang setimpal. Hal ini mengindikasikan perlunya reformasi hukum yang menempatkan tanggung jawab kolektif dalam kasus korupsi, termasuk di tingkat lembaga keuangan yang terlibat dalam transaksi ilegal.
Prinsip proportionality of punishment dalam sistem peradilan pidana Indonesia juga tercermin dalam hukum internasional, seperti yang dijamin dalam European Court of Human Rights (ECHR), yang menekankan pentingnya kesesuaian antara hukuman dan tingkat keparahan perbuatan yang dilakukan. Dalam hal ini, hukuman yang dijatuhkan terhadap Elviera yang hanya bertindak administratif, jelas tidak proporsional dengan tingkat keparahan tindak pidana yang dilakukan oleh Canakya Suman. Oleh karena itu, keputusan Mahkamah Agung yang memberatkan Elviera seharusnya menjadi bahan refleksi bagi sistem peradilan Indonesia untuk mengutamakan prinsip sentencing parity, yang mengharuskan hukuman yang setimpal dengan kontribusi dan peran masing-masing individu dalam tindak pidana.
Akhirnya, untuk mencapai substantive justice, perlu dilakukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan tersebut. Fakta baru (novum) yang muncul, berupa putusan perdata yang menyatakan bahwa tidak ada kerugian negara akibat penerbitan covernote kredit, seharusnya menjadi dasar untuk melakukan koreksi terhadap putusan Mahkamah Agung. Peninjauan Kembali ini penting untuk mengoreksi ketidakadilan dan inkonsistensi dalam pemidanaan, serta untuk memastikan bahwa setiap individu yang terlibat dalam suatu perkara pidana diperlakukan dengan adil dan proporsional sesuai dengan peran mereka. Pemidanaan yang lebih adil dan sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku akan memperbaiki sistem peradilan pidana Indonesia, memberikan perlindungan yang lebih baik bagi jabatan notaris, dan memastikan bahwa setiap keputusan hukum mencerminkan keadilan substantif yang lebih mendalam.
Perlindungan Jabatan Notaris dalam Konteks Putusan Mahkamah Agung Nomor 5710 K/Pid-Sus/2023: Sebuah Pembahasan Aksiologi dan Perspektif Yuridis
Jabatan notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan tugas administratif dalam pembuatan akta autentik memiliki kedudukan penting dalam sistem hukum Indonesia. Sebagai entitas yang menjamin kepastian hukum, jabatan notaris tidak hanya diatur oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga oleh prinsip-prinsip moralitas yang menegaskan independensi, imparsialitas, dan kewajiban untuk memastikan kepentingan publik terlindungi. Putusan Mahkamah Agung Nomor 5710 K/Pid-Sus/2023 yang menghukum notaris Elviera atas keterlibatannya dalam kasus korupsi penerbitan covernote kredit, memunculkan pertanyaan mendalam terkait aplikasi hukum pidana yang dapat memberatkan jabatan notaris. Penerapan hukum dalam kasus ini seharusnya mempertimbangkan posisi notaris yang secara normatif hanya menjalankan kewajiban administratif tanpa adanya niat jahat (mens rea) atau keuntungan pribadi yang substansial, sehingga penting untuk meninjau kembali kebijakan hukum yang berpotensi menyinggung prinsip keadilan substantif (substantive justice).
Prinsip hukum yang mengatur tugas jabatan notaris, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), mengedepankan kewajiban notaris untuk menjalankan tugasnya secara independen dan tanpa berpihak. Oleh karena itu, jabatan notaris beroperasi dalam kerangka etika yang menuntut notaris untuk mematuhi kode etik profesi dan menolak untuk membuat akta yang bertentangan dengan hukum atau moralitas publik. Dalam konteks putusan Mahkamah Agung, penting untuk mempertanyakan apakah tindakan penerbitan covernote oleh Elviera benar-benar memenuhi syarat sebagai tindak pidana, atau apakah ini lebih merupakan pelanggaran administratif. Ketidakjelasan ini mengharuskan penerapan prinsip lex certa (hukum yang jelas) yang diatur dalam nullum crimen sine lege, sehingga hukum pidana seharusnya tidak dapat diterapkan pada suatu perbuatan yang tidak jelas batasan dan konsekuensinya, kecuali terdapat bukti yang kuat tentang adanya kerugian negara atau tindakan yang merugikan pihak lain.
Mengacu pada prinsip due process of law yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, serta international human rights law yang mengatur hak atas pengadilan yang adil, kasus ini menuntut kajian mendalam terkait kesalahan prosedural dan penerapan hukum yang mungkin terjadi. Dalam hal ini, penting untuk menilai apakah penerapan hukum telah mengutamakan proportionality atau sentencing parity dalam memberikan hukuman. Fakta baru atau novum yang mungkin terungkap dalam proses Peninjauan Kembali (PK), seperti pernyataan dari Majelis Kehormatan Notaris yang menyatakan bahwa tindakan notaris merupakan kewajiban administratif dan tidak ada kerugian negara, harus dijadikan bahan pertimbangan dalam koreksi keputusan. Peninjauan Kembali (PK) yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, memberikan ruang bagi Mahkamah Agung untuk memperbaiki keputusan yang berpotensi tidak mencerminkan keadilan substantif dan menegakkan prinsip error in judicando, yang mengarah pada kesalahan dalam penilaian terhadap fakta dan bukti yang ada.
Diskursus mengenai keadilan dalam kasus ini tidak hanya terletak pada aspek penerapan hukum pidana, tetapi juga mencakup prinsip ultimum remedium, yaitu bahwa sanksi pidana harus menjadi langkah terakhir setelah upaya lain yang lebih ringan gagal memberikan efek jera. Lex specialis dalam hal ini adalah aturan yang mengatur jabatan notaris, yang memberikan wewenang kepada otoritas profesi untuk menjatuhkan sanksi administratif terlebih dahulu. Oleh karena itu, penjatuhan hukuman pidana terhadap notaris Elviera, yang hanya bertindak dalam kapasitas administratif tanpa niat jahat atau keuntungan pribadi, seharusnya menjadi pertimbangan serius. Tindakan administratif, seperti pencabutan izin jabatan atau sanksi disipliner, lebih tepat diterapkan dalam kasus semacam ini, seperti yang tercermin dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1884 K/Pid/2018 yang mengutamakan langkah administratif sebelum pemidanaan.
Penting bagi sistem hukum Indonesia untuk terus memperbaharui dan memperkuat reformasi hukum pidana yang lebih humanis, dengan menekankan prinsip restorative justice dan rehabilitative justice. Sistem peradilan pidana harus berfokus pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, serta menghindari pemidanaan yang tidak proporsional atau tidak sesuai dengan peran dan kontribusi pelaku dalam tindak pidana. Peninjauan Kembali (PK) dan penerapan prinsip proportionality of punishment harus memastikan bahwa hukum yang ditegakkan tidak hanya berdasarkan formalisme, tetapi juga memperhatikan esensi keadilan yang substansial. Dengan demikian, harapan untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan transparan akan terwujud, serta memberikan perlindungan yang optimal bagi jabatan notaris sebagai bagian dari struktur hukum Indonesia.
Simpulan
Pemidanaan terhadap jabatan notaris Elviera dalam kasus perjanjian kredit yang melibatkan penyalahgunaan dana negara menunjukkan adanya ketidakadilan yang signifikan dalam penerapan prinsip proportionality dan sentencing parity dalam hukum pidana Indonesia. Substantive justice menuntut agar hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang selalu disesuaikan dengan peran dan kontribusinya dalam tindak pidana tersebut, bukan sekadar berdasarkan kedudukan sosial atau status hukum. Dalam hal ini, jabatan notaris yang hanya berfungsi sebagai pihak administratif yang menyusun akta perjanjian kredit tidak seharusnya dikenakan hukuman yang lebih berat daripada pelaku utama yang memiliki niat jahat (mens rea) dan secara langsung terlibat dalam penyelewengan. Sebagaimana ditegaskan oleh Franz von Liszt dalam teori retributive justice, keadilan pidana haruslah berlandaskan pada culpability dan bukti nyata yang menunjukkan niat dan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, penerapan prinsip nullum crimen sine lege dan due process of law, yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, harus ditegakkan dengan tegas dalam setiap proses penegakan hukum untuk menghindari ketidaksetaraan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam penjatuhan hukuman.
Rekomendasi yang dapat diajukan berdasarkan analisis ini adalah perlunya evaluasi kembali terhadap mekanisme pemidanaan bagi jabatan notaris dalam kasus-kasus serupa di masa depan. Legal certainty dan lex certa harus menjadi pedoman utama dalam menerapkan sanksi pidana, dengan menitikberatkan pada bukti yang kuat dan relevansi peran individu dalam tindak pidana yang terjadi. Dalam konteks ini, mekanisme Peninjauan Kembali (PK) dapat menjadi alat yang efektif untuk memperbaiki keputusan yang tidak adil, dengan mempertimbangkan novum berupa fakta baru yang relevan, seperti keputusan perdata yang membuktikan tidak adanya kerugian negara akibat tindakan notaris. Oleh karena itu, penting bagi Mahkamah Agung untuk lebih mempertimbangkan prinsip sentencing parity yang telah digariskan dalam beberapa putusan, guna menciptakan keadilan yang seimbang, baik bagi pelaku maupun korban. Hal ini sekaligus menekankan pentingnya penerapan restorative justice, di mana tujuan utama hukum pidana bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk memulihkan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat.
Secara filosofis, pendekatan axiological terhadap hukum pidana menuntut agar setiap keputusan hukum dapat mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial yang universal, tanpa memandang status atau kedudukan pihak yang terlibat. Dalam hal ini, teori utilitarianism yang diajukan oleh John Stuart Mill, yang mengutamakan manfaat maksimal bagi masyarakat, juga relevan untuk diterapkan dalam proses peradilan. Sistem peradilan pidana di Indonesia seharusnya tidak hanya mengedepankan hukuman sebagai bentuk pembalasan, tetapi lebih kepada pemulihan kerugian negara dan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu, untuk mencapai keadilan substantif, hukum harus mampu memberikan sanksi yang proporsional, adil, dan manusiawi, sesuai dengan peran serta kontribusi setiap individu dalam suatu tindak pidana. Dengan demikian, diharapkan reformasi dalam praktik peradilan pidana di Indonesia dapat mewujudkan keadilan yang lebih inklusif dan tidak diskriminatif, serta memperkuat integritas sistem hukum nasional. []
DAFTAR PUSTAKA
Adjie, Habib, H. (2023). Memahami dan Menerapkan: Covernote, Legalisasi, Waarmerking. PT. Refika Aditama.
Amin, Y. (2024). Tanggung Jawab Notaris dalam Mengeluarkan Covernote dalam Dunia Perbankan. Jurnal Hukum Indonesia, 3(1), 10–19. https://doi.org/10.58344/jhi.v3i1.671
Ardianta, I. G. M., Munandar, A., & Djumardin, D. (2023). Analisis Yuridis Hak Ingkar Notaris Terhadap Kerahasiaan Isi Minuta Akta Notaris Berdasarkan Uujnp Dan Kode Etik Notaris. Jurnal Risalah Kenotariatan, 4(2). https://doi.org/10.29303/risalahkenotariatan.v4i2.150
Asshiddiqie, J. (2021). Peradilan Etik dan Etika Konstitusi: Perspektif Baru tentang Rule of Law and Rule Of Ethics. Sinar Grafika.
Farizy, B. S., Prasetyo, G. I. A., & Lesmana, I. (2023). Bunga Rampi (Semua Serba-serbi Notaris). Lovrinz.
Gellhorn, E. (2019). Hukum dan Proses Administrasi. Nuansa Cendikia.
Gunaryo, A. (2011). Beberapa Catatan Tentang Konsep Hukum H.l.a. Hart Dalam Buku the Concept of Law. Jurnal Hukum Progresif, 3(1), 69. https://doi.org/10.14710/hp.3.1.69
Hafrida, & Usman. (2024). Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Sistem Peradilan Pidana. Deepublish.
Handayani, D. (2022). Prinsip Pembuktian Dalam Perkara Perdata. Edu Publisher.
Harianto, D. (2024). Diskresi Majelis Kehormatan Notaris Terkait Perlindungan Profesi Notaris Dalam Perspektif Hukum Administrasi. CENDEKIA: Jurnal Ilmu Pengetahuan, 4(3), 286–296. https://doi.org/10.51878/cendekia.v4i3.3116
Hery Kurniawan Zaenal. (2022). Hakikat Persetujuan Majelis Kehormatan Notaris Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Pada Notaris Dalam Proses Peradilan. Jurnal Hukum, Politik Dan Ilmu Sosial, 1(2), 85–94. https://doi.org/10.55606/jhpis.v1i2.867
Ilyas, A. (2024a). Hukum Acara Pidana: Dari Penyelidikan hingga Eksekusi Putusan. PT. Raja Grafindo Persada.
Ilyas, A. (2024b). Peninjauan Kembali dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada.
Kadafi, B. (2023). Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan. PT. Gramedia.
Marjon, D. (2016). Aplikasi Kode Etik Hak Ingkar Notaris Sebagai Saksi Dalam Perkara Perdata Dan Pidana. Jurnal Notariil, 1(1), 88–108. https://doi.org/10.22225/jn.1.1.109.88-108
Penasthika, P. P. (2024). Menguak Tabir Pilihan Hukum: Dalam Kontrak Komersial Internasional di Indonesia. Kencana.
Pratono, A. (2022). Notaris Dalam Suatu Peran Serta Perlindungan Hukumnya. Jurnal Kertha Semaya, 10(11), 2480–2493. https://doi.org/10.24843/KS.2022.v10.i11.p04
Putri, D. S., Sukma, E. H., Amalia, F., Septiani, P. P., Estafania, S., & Siswatjanthy, F. (2023). Fungsi Notaris Pada Jaminan Fidusia Online Dikaitkan Dengan Prespektif Hukum Di Indonesia. Jurnal Kajian Hukum dan Pendidikan Kewarganegaraan, 3(2), 4–11.
Qonitah Annur Aziza, Aprilia Trisanti, & Kiki Aristyanti. (2020). Penormaan dan Pelaksanaan Kewajiban Ingkar Notaris. Perspektif Hukum, 113–138. https://doi.org/10.30649/ph.v20i2.23
Raden Ajeng Herning Nurarifah, L. H. (2024). Perlindungan Hukum Dari Negara Terhadap Notaris Yang Diakui Sebagai Officium Nobile. Zenodo. https://doi.org/10.5281/ZENODO.11067821
Rahman, M. A. M., Anggraeni, E. P., & Novena, E. A. (2022). Peran Majelis Kehormatan Notaris Dalam Memeriksa Kasus Penyalahgunaan Jabatan Sebagai Notaris. Bureaucracy Journal : Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance, 2(3), 1149–1160. https://doi.org/10.53363/bureau.v2i3.114
Rudy, D. G. (2021). Keabsahan Alat Bukti Surat Dalam Hukum Acara Perdata Melalui Persidangan Secara Elektronik. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha, 9(1), 164–174. https://doi.org/10.23887/jpku.v9i1.31440
Salim. (2021). Peraturan Jabatan Notaris. Sinar Grafika.
Sembiring, A. H. (2022). Analisis Pertanggungjawaban Terhadap Hukum Covernote Notaris (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 181/Pdt/2019/PT.mks). Jurnal Perspektif Hukum, 3(2), 110–122. https://doi.org/10.35447/jph.v3i2.609
Sembiring, R. (2024). Kedudukan Covernote yang Dibuat oleh Notaris. Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora Dan Politik, 4(5), 1213–1221. https://doi.org/10.38035/jihhp.v4i5.2199
Untono, A. D. (2022). Kekuatan Hukum Covernote Oleh Notaris Sebagai Syarat Pencairan Kredit Bank. Jurnal Education and Development, 11(1), 1–5. https://doi.org/10.37081/ed.v11i1.4209
Widhasani, I. A. M., & Latumeten, P. E. (2022a). Penggunaan Hak Ingkar Notaris Terkait Dengan Kewajiban Melaksanakan Rahasia Jabatan. Justicia Sains: Jurnal Ilmu Hukum, 6(2), 302–319. https://doi.org/10.24967/jcs.v6i2.1525
Widhasani, I. A. M., & Latumeten, P. E. (2022b). Penggunaan Hak Ingkar Notaris Terkait Dengan Kewajiban Melaksanakan Rahasia Jabatan. Justicia Sains: Jurnal Ilmu Hukum, 6(2), 302–319. https://doi.org/10.24967/jcs.v6i2.1525
Widhasani, I. A. M., & Latumeten, P. E. (2022c). Penggunaan Hak Ingkar Notaris Terkait Dengan Kewajiban Melaksanakan Rahasia Jabatan. Justicia Sains: Jurnal Ilmu Hukum, 6(2), 302–319. https://doi.org/10.24967/jcs.v6i2.1525
Wijaya, I. G. A. (2019). Kekuatan Hukum Covernote Notaris sebagai Produk Hukum Notaris. Acta Comitas, 4(1), 90. https://doi.org/10.24843/AC.2019.v04.i01.p08
Yudan Fajar Mahendra. (2024). Hak Ingkar Sebagai Alasan Pembenar Dihadapan Persidangan Pidana Bentuk Perlindungan Hukum Jabatan Notaris. Mandub : Jurnal Politik, Sosial, Hukum dan Humaniora, 2(2), 88–111. https://doi.org/10.59059/mandub.v2i2.1163
Komentar