oleh

Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD

Usul Presiden Prabowo perihal pemilihan kepala daerah oleh DPRD harus dipertimbangkan dengan hati-hati. Kita memiliki pengalaman dengan pemilihan semacam itu dan juga memiliki pengalaman pemilihan secara langsung seperti yang kini kita lakukan. Tergesa-gesa menjatuhkan pilihan baru bisa berakibat rusaknya demokrasi dan segala hal berkaitan dengan pemilihan tersebut.

Salah satu alasan kenapa pilkada diubah dengan para wakil rakyat yang memillih kepala daerah adalah soal ongkos politik yang dinilai besar. Pilkada langsung selama ini memang membutuhkan ongkos besar. Tidak hanya panitia pemilihan yang harus mencetak jutaan kertas suara, juga para kandidat menggelontorkan uang untuk maju dan kegiatan kampanye. Transaksi uang dan politik berkelindan baik terang-terangan maupun tertutup.

Pilkada oleh DPRD ditutup seiring munculnya semangat reformasi untuk memperbaiki kualitas demokrasi dan pemimpin kita. Rakyat memilih langsung dan sejumlah ekses untuk ini pun muncul: siapa yang popular bisa menjadi kepala daerah. Partai-partai kemudian mengincar sejumlah selebritis untuk menjadi kepala daerah dengan segala konsekuensinya. Mereka yang tidak memiliki kapabilitas menjadi kepala daerah -seperti halnya   wakil rakyat- memiliki kans besar karena nama mereka popular.

Pilkada oleh DPRD memang akan lebih praktis: cepat. Namun, bukan berarti transaksional akan lenyap. Justru bisa saja lebih “gila” karena di sini berpotensi tercipta “aliansi” partai di seluruh pilkada di Indonesia. Dengan sistem partai yang ada sekarang -yang jumlahnya sangat banyak- maka transaksional uang dan politik akan terpusat di partai atau tepatnya: pada elite partai. Pion-pion di DPRD hanya menjalankan perintah.

Inti demokrasi adalah rakyat mendapat hak untuk menentukan siapa pemimpinnya. Celakanya selama ini hak yang “dititipkan” pada wakil rakyat tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Tidak ada rakyat yan menginginkan wakilnya korupsi atau memilih siapa pun yang memiliki kualitas tidak memadai. Artinya di sini adalah kualitas para elite dan anggota partai itulah yang lebih harus dibenahi. Apa pun sistemnya, jika mentalitas elite atau anggota partai bobrok, maka hasil pilkada tetap saja bobrok. (domainhukum.com)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed