Kasus mobil RI 36 yang membelah kemacetan jalan ibu kota dan pengawalnya menuding-nuding sebuah Alphard agar menyingkir, menunjukkan bentuk kepongahan kekuasaan. Peristiwa ini muncul di berbagai media sosial dan belakangan publik mengetahui mobil tersebut -mobil dengan nomor khusus lembaga negara- milik Raffi Ahmad, artis yang kini menjadi Utusan Khusus Presiden Bidang Generasi Muda dan Pekerja Seni.
Raffi Ahmad menyatakan saat itu dirinya tidak ada di mobil -dan kita bisa bayangkan bagaimana sirene pasukan pengawalan itu meraung-raung di jalanan- dan kita bertanya: apakah sebuah mobil kosong harus dikawal seperti itu?
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memiliki jumlah anggota kabinet 109 orang yang terdiri dari menteri, wakil menteri, kepala badan, dan lain-lain. Dapatkah kita bayangkan jika semuanya berlalu lalang di Jakarta, dan para pengawal bermotor meliuk-liuk di tengah jalanan yang macet agar mobil para petinggi itu bisa melaju mulus karena dikejar waktu untuk sebuah rapat penting?
Pada negara demokrasi, pejabat adalah abdi masyarakat yang bekerja untuk rakyat: melayani dan bukan dilayani. Pada negara demokrasi keistimewaan dan fasilitas yang diberikan negara -yang didapat dari pajak dan uang rakyat- adalah untuk melayani rakyat. Tidak untuk mengejar dan memamerkan keistimewaan (privilege ), membuat rakyat sejahtera dan bukan membuat menderita.
Pejabat dan petinggi negara yang tidak paham ini, ia tak layak disebut pejabat negara. Pejabat negara yang paham akan hal ini, ia akan bekerja keras dalam diam untuk rakyat, tampil dalam kesederhanaan, dan pergi ke kantor dengan waktu yang dipikirkan matang-matang, karena ia paham Jakarta adalah kota macet. (domainhukum.com)
Komentar