Presiden Prabowo Subianto tak perlu malu untuk mengevaluasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang memerlukan dana sangat besar itu. Kendati program itu mulia -salah satu senjata kampanyenya dalam pemilihan presiden yang membuatnya menan – di lapangan program itu memunculkan banyak problem.
Ini program raksasa yang memerlukan profesionalisme dalam pengelolaan, memerlukan kepercayaan publik, juga jaringan yang cepat untuk menyediakan rantai pasokan pangan -yang bergizi!- untuk 3 juta siswa. Tidak perduli apakah mereka dari kalangan masyarakat tingkat bawah, agak menengah, menengah, dan seterusnya. Pemerintah telah menghitung anggaran untuk itu. Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyebut hingga akhir tahun dibutuhkan dana Rp 420 triliun untuk program MBG ini. Ada pun dana yang ada sekarang, bakal habis hingga pertengahan tahun.
Pemerintah bisa melakukan uji coba dengan membuka peta: provinsi mana yang paling banyak kasus stunting atau daerah mana paling miskin –
Ini dana besar yang pada akhirnya membuat Pemerintah harus memotong banyak anggaran besar-besaran -dari berbagai bidang- untuk memenuhi program ini. Pemotongan ini pada akhirnya juga berimbas ke mana-mana. Kementerian Pertanian yang dipotong anggarannya, misalnya, tentu akan mengurangi lagi anggaran untuk program di bidangnya: yang menyasar pada petani. Anggaran Kementerian Desa yang dipotong 20 persen dari Rp 71 triliun untuk urusan perut ini akan berdampak pada pengurangan program pembangunan desa, seperti irigasi, perbaikan jalan dan lain-lain. Demikian seterusnya -hal yang pada akhirnta bisa mengacaukan birokrasi itu sendiri.
Ketidakpengalaman mengelola program makan gratis ini memiliki potensi besar kekisruhan di bawah: tidak hanya soal tidak ada standar menu untuk siswa, juga korupsi, atau monopoli dalam pemberian pasokan bahan pangan: dari beras, tahu, tempe, telur dan lain-lain. Pada akhirnya kita tak perlu juga kaget jika suatu ketika kemudian muncul berita perihal para pemasok atau penyedia makan gratis yang belum dibayar ini -dan itu akan dimulai dari mereka yang bermodal cekal seperti UMKM.
Ada banyak masalah yang harus segera diselesaikan sebelum semuanya meledak. Untuk itu Presiden Prabowo tak perlu takut kehilangan muka karena mengevaluasi kembali program ini. Salah satu yang bisa dievaluasi misalnya, siapa yang patut menerima MBG itu. Cerita seorang siswa yang tidak makan jatah MBG-nya karena menyimpannya untuk makan orang tuanya yang miskin adalah sebagian potret permasalahan dari program itu. Kita belum bicara dampak lain: sampah makanan atau sampah tempat makanan, waktu makan yang tentu memangkas jam sekolah dan sebagainya. Apakah ada evaluasinya untuk itu?
Jika program itu untuk meningkatkan gizi dan melawan stunting seperti yang dikatakan Presiden, maka sebenarnya sasarannya jelas: siswa dan keluarga miskin itulah yang layak dapat MBG. Pemerintah bisa melakukan uji coba dengan membuka peta: provinsi mana yang paling banyak kasus stunting atau daerah mana paling miskin -sebuah informasi yang jelas sudah tersedia di Biro Pusat Statistik atau Kementerian Kesehatan. Dari tempat itulah proyek uji coba MBG dimulai. (domainhukum.com)



















Komentar