oleh

PRIVATISASI BUMN PASCA UU BARU

-OPINI-802 views

PRIVATISASI BUMN PASCA UU BARU (Peluang Dan Tantangan Tata Kelola Profesional)
Oleh Dr. H. Ikhsan Lubis, SH, SpN, MKn (Ketua Pengwil Sumur Ikatan Notaris Indonesia dan Akademisi di Bidang Hukum Kenotariatan dan Andi Hakim Lubis (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara)

 

Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah salah satu strategi reformasi ekonomi yang telah lama diupayakan oleh pemerintah Indonesia. Langkah ini sering dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi perusahaan negara yang selama bertahun-tahun terjebak dalam masalah kinerja, birokrasi yang kaku, dan intervensi politik. Privatisasi bukanlah sekadar agenda ekonomi, tetapi juga merupakan isu politik dan sosial yang melibatkan banyak kepentingan. Selain itu, dalam beberapa dekade terakhir ini pemerintah Indonesia telah mencoba menerapkan berbagai model privatisasi untuk memperbaiki tata kelola BUMN. Sebagian berhasil membawa perubahan positif, seperti peningkatan efisiensi dan daya saing, namun tidak sedikit yang memicu kontroversi, terutama terkait dengan potensi hilangnya kendali negara atas sektor-sektor strategis. Pengesahan UU BUMN terbaru pada awal tahun 2025 menjadi tonggak penting dalam upaya pembaruan regulasi terkait pengelolaan BUMN. Salah satu poin penting dari UU ini adalah pengaturan secara fundamental tentang mekanisme privatisasi. Langkah ini bertujuan untuk memberikan kerangka hukum yang lebih jelas, transparan, dan akuntabel dalam upaya privatisasi.

Perubahan UU BUMN baru juga membawa sejumlah pembaruan yang bertujuan untuk meningkatkan tata kelola perusahaan. Mulai dari penguatan prinsip Good Corporate Governance (GCG), pemisahan fungsi regulator dan operator, hingga pengaturan yang lebih mendetail tentang pembentukan anak perusahaan. Regulasi ini diharapkan mampu menciptakan fondasi yang kokoh bagi BUMN untuk bertransformasi menjadi entitas bisnis yang lebih profesional. Meskipun potensi manfaat dari UU ini cukup besar, privatisasi BUMN tetap menyisakan berbagai pertanyaan penting. Apakah regulasi baru ini mampu mengatasi tantangan lama seperti politisasi dalam manajemen BUMN? Bagaimana implementasi GCG dapat memastikan bahwa privatisasi dilakukan secara transparan dan akuntabel? Dan yang paling penting, bagaimana memastikan bahwa privatisasi tidak mengorbankan kepentingan masyarakat luas?

Pendahuluan
Salah satu peluang utama dari privatisasi yang diatur dalam UU ini adalah peningkatan efisiensi BUMN. Dengan melibatkan swasta, BUMN diharapkan mampu memperoleh modal baru, meningkatkan profesionalisme, dan memanfaatkan teknologi terkini untuk bersaing di pasar domestik maupun internasional. Privatisasi juga membuka peluang bagi BUMN untuk lebih fokus pada sektor-sektor strategis. Namun, peluang ini tidak terlepas dari tantangan besar. Salah satu tantangan utama adalah risiko terjadinya monopoli oleh pihak swasta, terutama jika privatisasi dilakukan tanpa pengawasan yang memadai. Dalam konteks ini, pemerintah harus memastikan bahwa mekanisme privatisasi dirancang untuk menciptakan persaingan yang sehat dan adil.

Selain itu, UU BUMN baru juga harus mampu menjawab masalah klasik seperti politisasi dalam manajemen BUMN. Selama ini, pengangkatan manajemen BUMN sering kali dipengaruhi oleh kepentingan politik, yang berpotensi mengurangi profesionalisme dan akuntabilitas. Dengan penguatan prinsip GCG, diharapkan praktik ini dapat diminimalkan. Tantangan lainnya adalah memastikan bahwa privatisasi tidak berdampak negatif pada masyarakat. Dalam banyak kasus, privatisasi sektor publik cenderung memicu kenaikan harga layanan dasar seperti listrik, air, dan transportasi, yang dapat membebani masyarakat. Oleh karena itu, perlindungan terhadap kepentingan konsumen harus menjadi prioritas utama.
Privatisasi juga harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan. BUMN memiliki peran penting dalam mendukung usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Jika privatisasi tidak dikelola dengan baik, ada risiko bahwa hubungan antara BUMN dan UMKM akan terganggu, sehingga berdampak negatif pada perekonomian lokal.

Dari perspektif internasional, privatisasi BUMN di Indonesia dapat mengambil pelajaran dari praktik terbaik di negara lain. Negara-negara seperti Singapura dan Malaysia telah berhasil memprivatisasi perusahaan negara dengan tetap menjaga kepentingan strategis. Belajar dari pengalaman mereka, Indonesia dapat merancang strategi privatisasi yang lebih adaptif dan berkelanjutan.
Selain itu, penting bagi pemerintah untuk memperkuat mekanisme pengawasan dalam proses privatisasi. Dalam UU BUMN terbaru, pengaturan mengenai satuan pengawasan internal dan komite audit menjadi langkah positif yang perlu didukung dengan implementasi yang tegas. Tanpa pengawasan yang efektif, risiko penyimpangan dalam proses privatisasi akan tetap tinggi. Privatisasi juga menuntut adanya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Proses yang transparan dan partisipatif dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap kebijakan ini. Dengan keterlibatan masyarakat, pemerintah dapat memastikan bahwa privatisasi dilakukan untuk kepentingan publik, bukan hanya untuk keuntungan segelintir pihak.

Keberhasilan privatisasi sangat bergantung pada sinergi antara pemerintah, manajemen BUMN, dan investor swasta. Pemerintah harus mampu menciptakan kerangka kebijakan yang mendukung, sementara investor swasta harus berkomitmen pada prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Hanya dengan sinergi ini, privatisasi dapat memberikan manfaat optimal bagi semua pihak. Melalui artikel ini, pembahasan akan difokuskan pada peluang yang dapat dimanfaatkan dari privatisasi pasca UU BUMN terbaru, tantangan dalam menjaga tata kelola profesional, pentingnya prinsip GCG, serta rekomendasi strategis untuk memastikan privatisasi berjalan sesuai harapan. Dengan pendekatan yang tepat, privatisasi tidak hanya menjadi alat untuk meningkatkan kinerja BUMN, tetapi juga mendorong pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Latar Belakang Perubahan Regulasi melalui UU BUMN Terbaru

Regulasi BUMN di Indonesia telah lama menjadi sorotan, baik dari segi efektivitas pengelolaan maupun dampaknya terhadap perekonomian. Perubahan regulasi melalui UU BUMN terbaru hadir sebagai respons atas berbagai tantangan yang selama ini dihadapi oleh perusahaan negara. Pemerintah menyadari bahwa struktur hukum yang ada sebelumnya belum mampu menjawab kebutuhan pengelolaan BUMN yang lebih profesional. Kehadiran UU baru ini diharapkan membawa reformasi yang lebih menyeluruh, terutama dalam menguatkan tata kelola dan akuntabilitas. Langkah ini juga sejalan dengan komitmen pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi dan daya saing BUMN.

Indonesia memiliki lebih dari 100 BUMN yang tersebar di berbagai sektor strategis, mulai dari energi, infrastruktur, hingga telekomunikasi. Jumlah ini mencerminkan betapa besar peran BUMN dalam mendukung pembangunan nasional dan melayani kebutuhan masyarakat. Sayangnya, banyak BUMN yang belum dikelola secara optimal karena kendala birokrasi dan politisasi manajemen (Nachrawi, 2021). UU BUMN terbaru dirancang untuk merombak paradigma pengelolaan ini, dengan tujuan menciptakan perusahaan negara yang lebih kompetitif. Perubahan ini tidak hanya penting bagi kinerja BUMN, tetapi juga bagi stabilitas ekonomi nasional.

Salah satu elemen penting dalam UU BUMN terbaru adalah penyesuaian definisi BUMN itu sendiri. Regulasi ini memberikan kejelasan tentang status hukum BUMN sebagai badan usaha yang tidak hanya menjalankan fungsi sosial, tetapi juga dituntut untuk menghasilkan keuntungan. Penyesuaian ini bertujuan untuk menghapus kerancuan yang selama ini menjadi hambatan dalam pengelolaan perusahaan negara. Dengan definisi yang lebih jelas, BUMN diharapkan dapat berfungsi sebagai entitas bisnis yang berorientasi pada hasil tanpa melupakan tanggung jawab publik. Langkah ini juga diharapkan memberikan kepastian hukum bagi investor yang ingin bermitra dengan BUMN.

Pemisahan fungsi regulator dan operator menjadi salah satu poin krusial dalam UU BUMN terbaru. Pemerintah ingin memastikan bahwa tidak ada lagi tumpang tindih antara peran pengawasan dan pengelolaan dalam struktur BUMN. Selama ini, fungsi regulator yang melekat pada beberapa BUMN kerap menciptakan konflik kepentingan yang merugikan pasar (Alaman, 2018). Dengan pemisahan ini, BUMN dapat lebih fokus pada operasional bisnis tanpa dibebani tugas pengaturan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Hal ini juga bertujuan untuk menciptakan level playing field yang lebih adil di antara pelaku usaha.

Pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) menjadi salah satu inovasi menarik dalam UU BUMN terbaru. Lembaga ini dirancang untuk mengelola investasi strategis yang melibatkan BUMN, sekaligus menjadi mitra bagi sektor swasta. BPI Danantara diharapkan dapat membantu BUMN dalam memperluas akses pendanaan tanpa terlalu bergantung pada APBN. Selain itu, keberadaan badan ini juga diharapkan mampu memperkuat peran BUMN dalam mengembangkan proyek-proyek strategis nasional. Inisiatif ini menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam menciptakan ekosistem investasi yang lebih sehat.

Regulasi terbaru juga mengatur secara lebih mendetail tentang pembentukan anak perusahaan BUMN. Selama ini, banyak anak perusahaan yang didirikan tanpa perencanaan strategis yang jelas, sehingga justru menjadi beban bagi induk BUMN (Solihin & Annahi, 2021). Dengan pengaturan yang lebih ketat, setiap anak perusahaan harus memiliki alasan bisnis yang kuat dan kontribusi yang jelas terhadap kinerja BUMN. Langkah ini bertujuan untuk menghindari pemborosan sumber daya dan memastikan efisiensi dalam pengelolaan aset negara. Kejelasan regulasi ini juga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap BUMN.

Penguatan prinsip Good Corporate Governance (GCG) menjadi salah satu agenda utama dalam UU BUMN terbaru. Pemerintah menyadari bahwa tata kelola yang baik adalah kunci untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas BUMN. Regulasi baru ini memberikan perhatian khusus pada pembentukan komite audit, satuan pengawasan internal, dan mekanisme pengambilan keputusan yang lebih transparan. Dengan penguatan ini, BUMN diharapkan dapat mengurangi risiko penyimpangan dan meningkatkan kepercayaan publik. Hal ini juga penting untuk memastikan bahwa BUMN mampu bersaing di pasar global.

Business Judgement Rule diperkenalkan dalam UU ini sebagai perlindungan hukum bagi manajemen BUMN. Prinsip ini memberikan ruang bagi manajemen untuk mengambil keputusan strategis tanpa takut terhadap risiko kriminalisasi selama keputusan tersebut diambil dengan itikad baik. Langkah ini penting untuk menciptakan keberanian dalam pengambilan keputusan, yang sering kali menjadi kelemahan manajemen BUMN. Dengan adanya Business Judgement Rule, BUMN dapat lebih fokus pada inovasi dan pengembangan bisnis. Regulasi ini juga diharapkan dapat menarik talenta terbaik untuk bergabung di manajemen BUMN.
Privatisasi BUMN diatur secara lebih fundamental dalam UU terbaru ini untuk memberikan kepastian hukum. Langkah ini diambil sebagai bagian dari strategi pemerintah untuk mengurangi beban keuangan negara sekaligus meningkatkan efisiensi. Privatisasi tidak lagi hanya dianggap sebagai penjualan aset, tetapi juga sebagai upaya memperkuat struktur permodalan dan daya saing perusahaan. Regulasi ini juga bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan publik dan profitabilitas. Dalam pelaksanaannya, privatisasi diharapkan dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

Penegasan tentang pengelolaan aset BUMN juga menjadi bagian penting dalam UU ini. Banyak kasus menunjukkan bahwa aset BUMN tidak dimanfaatkan secara maksimal karena kurangnya regulasi yang jelas. UU baru ini mengatur tentang optimalisasi penggunaan aset agar dapat memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar. Selain itu, pengelolaan aset yang lebih baik juga diharapkan dapat meningkatkan nilai perusahaan. Dengan aturan ini, BUMN dapat lebih fokus pada pengelolaan bisnis inti tanpa terganggu oleh masalah aset yang tidak produktif. Regulasi terbaru memberikan perhatian khusus pada pengelolaan sumber daya manusia (SDM) di BUMN. Penyandang disabilitas dan perempuan kini diberikan peluang yang lebih besar untuk menduduki posisi strategis, termasuk di jajaran direksi dan dewan komisaris. Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menciptakan BUMN yang inklusif dan berorientasi pada keberagaman. Selain itu, penguatan SDM diharapkan dapat mendorong inovasi dan meningkatkan daya saing perusahaan negara. Hal ini juga menjadi bagian dari upaya membangun citra positif BUMN di mata publik.

Pembinaan terhadap UMKM juga menjadi salah satu mandat penting dalam UU ini. BUMN diwajibkan untuk bekerja sama dengan UMKM melalui pelatihan, pembiayaan, dan pemberdayaan. Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa BUMN tetap berperan sebagai motor penggerak ekonomi rakyat. Dengan adanya kerja sama ini, UMKM dapat lebih mudah mengakses pasar dan mendapatkan dukungan dari perusahaan besar. Kebijakan ini juga diharapkan dapat menciptakan dampak sosial yang positif di berbagai daerah.
Pemerintah juga menegaskan pentingnya transparansi dalam pengelolaan keuangan BUMN melalui UU ini. Setiap keputusan strategis yang berdampak besar pada keuangan perusahaan harus melalui mekanisme evaluasi yang ketat. Transparansi ini bertujuan untuk menghindari potensi korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang selama ini kerap menjadi masalah di BUMN (Pusat Data dan Analisa Tempo, 2019). Dengan pengawasan yang lebih baik, BUMN diharapkan dapat menjadi contoh tata kelola yang baik bagi sektor lainnya. Langkah ini juga penting untuk meningkatkan kepercayaan investor dan mitra bisnis.

Regulasi terbaru memberikan perhatian pada pembentukan ekosistem bisnis yang lebih kompetitif untuk BUMN. Pemerintah ingin memastikan bahwa keberadaan BUMN tidak merusak persaingan usaha di sektor yang sama. Dengan aturan ini, BUMN diharapkan dapat menjadi pelaku usaha yang mendukung pertumbuhan sektor swasta, bukan menjadi pesaing yang mendominasi pasar. Hal ini sejalan dengan semangat menciptakan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. UU BUMN terbaru menjadi tonggak penting dalam perjalanan reformasi perusahaan negara di Indonesia. Regulasi ini dirancang untuk menjawab berbagai masalah klasik sekaligus mempersiapkan BUMN menghadapi tantangan di masa depan. Pemerintah berharap UU ini dapat menjadi pendorong transformasi BUMN menjadi entitas bisnis yang modern dan kompetitif. Selain itu, regulasi ini juga diharapkan mampu menciptakan dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat luas. Dengan implementasi yang tepat, UU BUMN baru ini memiliki potensi untuk membawa perubahan besar dalam tata kelola perusahaan negara.
Privatisasi Sebagai Peluang Peningkatan Kinerja BUMN

Privatisasi telah lama menjadi instrumen strategis dalam peningkatan efisiensi dan daya saing Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dalam konteks hukum perusahaan, konsep verzelfstandiging atau pemisahan fungsi operasional dari kendali negara dianggap relevan untuk menciptakan manajemen yang lebih profesional. Indonesia memiliki peluang besar untuk mengadaptasi model ini guna memperbaiki kinerja BUMN yang sering terhambat oleh birokrasi. Transformasi melalui privatisasi ini memberikan ruang bagi masuknya modal swasta yang dapat mendukung inovasi. Dengan demikian, privatisasi bukan hanya tentang pelepasan aset, tetapi juga soal membangun ekosistem bisnis yang lebih sehat. BUMN di Indonesia memainkan peran besar dalam mendukung pembangunan ekonomi. Konsep staatsbedrijf yang diterapkan selama ini mencerminkan dominasi negara dalam sektor strategis. Namun, dominasi ini kerap kali menjadi penghambat bagi perusahaan untuk beroperasi secara kompetitif. Privatisasi memungkinkan BUMN untuk lebih fleksibel dalam merespons dinamika pasar. Fleksibilitas ini sangat penting di era globalisasi, di mana perusahaan harus terus berinovasi untuk tetap relevan.

Privatisasi juga memberikan kesempatan untuk meningkatkan tata kelola melalui penerapan prinsip corporate governance. Masuknya pihak swasta sebagai pemegang saham akan mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan perusahaan. Regulasi yang lebih ketat dan pengawasan dari pasar modal akan memastikan bahwa BUMN beroperasi sesuai dengan standar terbaik. Dengan demikian, privatisasi dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah beheer yang selama ini menjadi kelemahan BUMN. Keterlibatan swasta juga akan mengurangi risiko politisasi dalam pengambilan keputusan.

Model privatisasi yang diterapkan harus mempertimbangkan praktik terbaik dari negara-negara lain. Belanda, misalnya, memiliki pengalaman panjang dalam memprivatisasi sektor-sektor strategis seperti transportasi dan energi. Konsep publieke en private samenwerking atau kemitraan publik-swasta dapat menjadi inspirasi untuk memastikan bahwa privatisasi tetap sejalan dengan kepentingan publik. Dengan menerapkan prinsip ini, pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan tanggung jawab sosial. Pendekatan ini juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses privatisasi.
Masalah efisiensi sering menjadi alasan utama di balik privatisasi. BUMN di Indonesia kerap kali menghadapi tantangan berupa beban operasional yang tinggi dan produktivitas yang rendah. Privatisasi memungkinkan pengelolaan perusahaan dilakukan oleh pihak yang lebih kompeten dan berorientasi hasil. Dengan pendekatan ini, biaya operasional dapat ditekan tanpa mengorbankan kualitas layanan. Prinsip doelmatigheid atau efisiensi ekonomi menjadi pedoman utama dalam proses ini.

Privatisasi juga berdampak positif pada inovasi teknologi di sektor BUMN. Masuknya modal dan manajemen baru sering kali membawa perspektif segar dalam pengelolaan bisnis. Perusahaan dapat lebih mudah mengadopsi teknologi terkini untuk meningkatkan produktivitas. Dalam konsep hukum dagang Belanda, innovatiebeheer menjadi salah satu indikator keberhasilan sebuah perusahaan. Oleh karena itu, privatisasi dapat menjadi katalisator bagi transformasi digital di BUMN. Di sisi lain, privatisasi juga memperbaiki struktur permodalan perusahaan. Dengan menjual sebagian saham ke publik, BUMN dapat mengurangi ketergantungan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Model pembiayaan melalui pasar modal ini telah terbukti efektif dalam mendukung ekspansi bisnis di berbagai negara. Dalam konteks ini, kapitaalmarkt menjadi sumber pendanaan yang lebih fleksibel dan berkelanjutan. Pemerintah pun dapat mengalokasikan anggaran untuk program-program prioritas lainnya.
Tantangan yang dihadapi BUMN selama ini sering kali terkait dengan manajemen sumber daya manusia. Konsep personeelsbeheer dalam BUMN perlu diperbaiki agar lebih sesuai dengan kebutuhan pasar. Privatisasi memberikan peluang untuk memperkenalkan budaya kerja baru yang lebih profesional. Dengan masuknya investor swasta, perusahaan akan lebih fokus pada pencapaian target yang jelas dan terukur. Perubahan ini juga diharapkan dapat mendorong peningkatan kompetensi tenaga kerja. Privatisasi memungkinkan diversifikasi bisnis yang selama ini sulit dilakukan oleh BUMN. Dengan struktur organisasi yang lebih ramping, perusahaan dapat lebih mudah mengeksplorasi peluang di sektor-sektor baru. Prinsip ondernemerschap atau kewirausahaan dapat diterapkan secara lebih luas dalam pengelolaan BUMN. Diversifikasi ini penting untuk mengurangi ketergantungan pada satu lini bisnis tertentu. Dalam jangka panjang, strategi ini akan meningkatkan ketahanan perusahaan terhadap perubahan pasar.
Salah satu aspek penting dalam privatisasi adalah pengelolaan risiko. Dengan keterlibatan investor swasta, BUMN akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan bisnis. Konsep risicobeheer menjadi kunci untuk memastikan bahwa perusahaan tetap berada di jalur yang benar. Proses pengambilan keputusan yang lebih profesional akan mengurangi potensi kerugian yang tidak perlu. Dengan demikian, privatisasi juga berkontribusi pada stabilitas keuangan perusahaan.
Privatisasi juga berdampak pada peningkatan daya saing di sektor-sektor strategis. Masuknya modal asing melalui proses ini dapat membantu BUMN meningkatkan kapasitas produksinya. Prinsip concurrentiepositie atau posisi bersaing menjadi fokus utama dalam strategi privatisasi. Dengan daya saing yang lebih tinggi, BUMN dapat mengambil peran lebih besar di pasar global. Langkah ini juga akan memberikan dampak positif pada perekonomian nasional.

Dalam konteks hubungan industrial, privatisasi dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat. Budaya kerja yang lebih kompetitif akan mendorong karyawan untuk meningkatkan produktivitas. Prinsip arbeidsverhoudingen atau hubungan kerja menjadi elemen penting dalam manajemen pasca-privatisasi. Dengan pendekatan ini, perusahaan dapat menciptakan harmoni antara manajemen dan karyawan. Lingkungan kerja yang positif akan mendukung pencapaian target perusahaan.
Privatisasi juga memberikan peluang untuk memperkuat jaringan distribusi BUMN. Dengan melibatkan mitra strategis, perusahaan dapat memperluas akses ke pasar-pasar baru. Konsep distributienetwerk menjadi salah satu elemen kunci dalam strategi ekspansi ini. Jaringan distribusi yang kuat akan meningkatkan efisiensi operasional perusahaan. Dalam jangka panjang, langkah ini akan memperbesar pangsa pasar BUMN.

Pemerintah juga dapat mengoptimalkan manfaat privatisasi melalui regulasi yang tepat. Dalam hukum perusahaan Belanda, regelgeving menjadi dasar untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan perusahaan. Regulasi yang jelas akan memastikan bahwa privatisasi tidak merugikan kepentingan publik. Dengan pendekatan ini, pemerintah dapat menjaga keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan tanggung jawab sosial. Kepercayaan masyarakat terhadap privatisasi pun akan meningkat. Proses privatisasi juga harus melibatkan pengawasan yang ketat untuk menghindari penyimpangan. Dalam konteks hukum Belanda, toezicht menjadi elemen penting dalam memastikan transparansi. Pengawasan ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh pihak independen seperti auditor eksternal. Dengan mekanisme ini, potensi korupsi dan penyalahgunaan wewenang dapat diminimalkan. Langkah ini penting untuk menjaga integritas proses privatisasi.

Salah satu manfaat lain dari privatisasi adalah peningkatan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan. Dengan struktur organisasi yang lebih sederhana, perusahaan dapat lebih cepat merespons perubahan pasar. Prinsip besluitvorming menjadi pedoman untuk menciptakan mekanisme pengambilan keputusan yang efektif. Fleksibilitas ini penting untuk menjaga keberlanjutan bisnis di tengah dinamika global. Dalam konteks ini, privatisasi memberikan keuntungan kompetitif yang signifikan.

Prinsip kennisoverdracht
Privatisasi juga membuka peluang bagi BUMN untuk bermitra dengan perusahaan global. Kolaborasi ini dapat meningkatkan transfer teknologi dan pengetahuan di dalam perusahaan. Prinsip kennisoverdracht atau transfer pengetahuan menjadi salah satu nilai tambah dari proses privatisasi. Dengan kolaborasi ini, BUMN dapat mempercepat transformasi bisnisnya. Kemitraan strategis ini juga akan meningkatkan reputasi perusahaan di pasar internasional.
Peran pemerintah dalam privatisasi tidak boleh diabaikan. Meskipun perusahaan telah diprivatisasi, pemerintah tetap memiliki tanggung jawab untuk mengawasi implementasinya. Konsep staatscontrole atau kontrol negara menjadi elemen penting untuk menjaga kepentingan publik. Dengan kontrol yang efektif, privatisasi dapat dilakukan tanpa mengorbankan aset strategis bangsa. Langkah ini juga akan memastikan bahwa BUMN tetap berkontribusi pada pembangunan nasional.

Privatisasi memberikan peluang besar bagi BUMN untuk lebih fokus pada inti bisnisnya. Dengan struktur organisasi yang lebih ramping, perusahaan dapat mengalokasikan sumber daya secara lebih efisien. Prinsip kernactiviteit atau inti bisnis menjadi fokus utama dalam pengelolaan pasca-privatisasi. Dengan pendekatan ini, perusahaan dapat meningkatkan produktivitas dan profitabilitasnya. Transformasi ini juga akan mendukung keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang.

Privatisasi, jika dilakukan dengan benar, dapat menjadi alat yang efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan melibatkan pihak swasta, pemerintah dapat menciptakan sinergi antara sektor publik dan sektor swasta. Prinsip economische groei atau pertumbuhan ekonomi menjadi tujuan utama dari proses ini. Dengan pendekatan yang terukur, privatisasi dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Langkah ini juga akan meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global.

Langkah Strategis Untuk Memperbaiki Tata Kelola Bumn
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menjadi landasan hukum utama dalam pengelolaan dan privatisasi BUMN di Indonesia. Pasal 74 UU BUMN mengatur tentang tata cara privatisasi, yang mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi. Pasal ini mengamanatkan bahwa privatisasi harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan serta memberikan manfaat ekonomi kepada negara (Nachrawi, 2021). Privatisasi juga harus melalui mekanisme yang diawasi secara ketat untuk menghindari penyimpangan. Dengan landasan ini, privatisasi bukan sekadar pelepasan saham, tetapi langkah strategis untuk memperbaiki tata kelola BUMN.
Pasal 4 UU BUMN menegaskan bahwa BUMN bertujuan untuk memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat. Dalam konteks privatisasi, pasal ini menjadi panduan agar proses tersebut tetap selaras dengan kepentingan publik. Privatisasi tidak boleh mengabaikan fungsi pelayanan publik yang menjadi salah satu mandat utama BUMN (Pangestu, 2020). Oleh karena itu, dalam setiap tahapan privatisasi, negara harus memastikan bahwa aset strategis tetap terjaga. Dengan pendekatan ini, privatisasi diharapkan dapat membawa manfaat ganda, baik dari sisi ekonomi maupun sosial.

Pasal 77 UU BUMN memberikan penekanan pada perlindungan hak-hak negara dalam proses privatisasi. Negara tetap memiliki hak veto terhadap keputusan strategis di perusahaan yang diprivatisasi sebagian. Mekanisme ini bertujuan untuk memastikan bahwa privatisasi tidak menghilangkan kendali negara atas aset penting (Praetio, 2014). Ketentuan ini juga memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa negara tetap hadir dalam mengawasi pengelolaan perusahaan yang sudah melibatkan investor swasta. Prinsip ini penting untuk menjaga keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan tanggung jawab sosial.

Pasal 78 UU BUMN mengatur tentang bentuk-bentuk privatisasi yang dapat dilakukan, seperti penjualan saham melalui pasar modal atau penawaran langsung kepada investor strategis. Pasal ini memberikan fleksibilitas bagi pemerintah dalam memilih metode privatisasi yang paling sesuai dengan kebutuhan perusahaan (Suastuti, 2022). Proses ini harus dilakukan dengan prinsip transparantie en verantwoordelijkheid (transparansi dan akuntabilitas). Dengan berbagai opsi ini, privatisasi dapat dirancang untuk mendukung tujuan jangka panjang perusahaan.

Pasal 88 UU BUMN menegaskan pentingnya pengawasan dalam proses privatisasi. Pengawasan dilakukan oleh Komite Privatisasi yang terdiri dari berbagai kementerian terkait, untuk memastikan bahwa setiap tahapan dilakukan sesuai dengan aturan. Komite (Siringgoringo & Naldo, 2022) ini memiliki tugas untuk mengevaluasi rencana privatisasi, termasuk dampaknya terhadap masyarakat dan ekonomi nasional. Dengan pengawasan yang ketat, pemerintah dapat mencegah terjadinya konflik kepentingan atau praktik korupsi. Pengaturan ini juga memberikan kepercayaan kepada investor dan publik terhadap proses privatisasi.
Pasal 1 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas memberikan panduan tentang tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Dalam konteks privatisasi, perusahaan yang diprivatisasi tetap harus menjalankan tanggung jawab sosialnya. Pasal ini memastikan bahwa privatisasi tidak mengurangi kontribusi perusahaan terhadap masyarakat (Sutedi, 2015). Dengan pendekatan ini, privatisasi dapat memberikan manfaat yang lebih luas, baik bagi perusahaan, investor, maupun masyarakat. CSR menjadi salah satu elemen penting dalam menjaga keberlanjutan bisnis perusahaan yang telah diprivatisasi.
Tantangan Tata Kelola Profesional dalam Privatisasi

Privatisasi membawa berbagai tantangan bagi tata kelola profesional dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Salah satu tantangan utama adalah memastikan implementasi prinsip corporate governance berjalan dengan baik. Di Indonesia, praktik tata kelola sering kali menghadapi kendala seperti intervensi politik dan minimnya transparansi (Junaedi, 2020). Dalam konteks ini, konsep beheer atau pengelolaan profesional menjadi aspek yang perlu ditekankan. Privatisasi harus mampu menciptakan struktur yang mendukung independensi dan akuntabilitas manajemen. Intervensi politik menjadi tantangan besar dalam menciptakan tata kelola profesional di BUMN yang diprivatisasi. Banyak keputusan strategis yang masih dipengaruhi oleh kepentingan politis, bukan pertimbangan bisnis (Rasyidin, 2025). Dalam konsep hukum Belanda, praktik seperti ini bertentangan dengan prinsip onafhankelijkheid atau independensi. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan mekanisme yang mampu memisahkan pengaruh politik dari manajemen perusahaan. Pemisahan ini sangat penting untuk memastikan bahwa privatisasi membawa manfaat nyata.

Transparansi dalam proses privatisasi sering menjadi isu yang mendapat sorotan publik. Proses yang tidak transparan membuka peluang terjadinya praktik korupsi atau fraude, yang merugikan kepentingan negara. Untuk itu, regulasi yang tegas diperlukan guna memastikan transparansi di setiap tahap privatisasi (Nachrawi, 2021). Dalam hukum perusahaan, prinsip openbaarheid atau keterbukaan wajib diterapkan agar proses ini mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Transparansi juga menjadi faktor penting untuk menarik minat investor.
Penguatan sistem pengawasan menjadi langkah penting dalam mengatasi tantangan tata kelola profesional. Privatisasi sering kali gagal mencapai tujuan karena kurangnya pengawasan yang efektif terhadap manajemen perusahaan (Siringgoringgo & Naldo, 2022). Dalam konteks ini, pengaturan toezicht atau pengawasan menjadi elemen kunci yang harus diperhatikan. Satuan pengawasan internal dan komite audit harus diperkuat untuk memastikan manajemen tetap berada di jalur yang benar. Dengan pengawasan yang ketat, potensi penyalahgunaan wewenang dapat diminimalkan.

Privatisasi juga menuntut keberanian manajemen dalam mengambil keputusan strategis. Namun, ketakutan terhadap risiko hukum sering kali membuat manajemen ragu untuk bertindak. Dalam konsep beslissingsvrijheid atau kebebasan mengambil keputusan, manajemen harus diberi ruang untuk bertindak selama keputusan tersebut diambil dengan itikad baik (Harinowo, dkk, 2019). Perlindungan hukum seperti business judgment rule perlu diperkuat untuk memberikan kepastian hukum kepada manajemen. Dengan pendekatan ini, inovasi dan keberanian dalam pengelolaan perusahaan dapat ditingkatkan.
Kesiapan sumber daya manusia menjadi faktor krusial dalam tata kelola profesional pasca-privatisasi. Banyak karyawan BUMN yang belum memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar yang kompetitif (Sumowigeno, 2022). Dalam konsep personeelsbeheer atau manajemen sumber daya manusia, privatisasi harus diikuti dengan program pelatihan dan pengembangan yang komprehensif. Karyawan harus diberikan akses untuk meningkatkan kompetensi mereka agar mampu beradaptasi dengan tuntutan baru. Dengan SDM yang kompeten, perusahaan dapat meningkatkan efisiensinya.

Konflik kepentingan menjadi salah satu tantangan terbesar dalam tata kelola pasca-privatisasi. Banyak keputusan yang diambil manajemen justru dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu (Pusat Data & Analisa Tempo, 2020). Prinsip belangenconflict atau konflik kepentingan harus dihindari untuk menjaga integritas manajemen. Regulasi yang jelas dan sanksi yang tegas perlu diterapkan untuk mengatasi masalah ini. Dengan demikian, manajemen dapat fokus pada kepentingan perusahaan tanpa terganggu oleh pengaruh eksternal.
Privatisasi juga menghadirkan tantangan dalam menjaga keseimbangan antara efisiensi dan tanggung jawab sosial. BUMN yang diprivatisasi sering kali lebih fokus pada profitabilitas, sehingga mengabaikan kepentingan public (Nachrawai, 2021). Dalam konsep hukum Belanda, prinsip maatschappelijk verantwoord ondernemen atau tanggung jawab sosial perusahaan wajib dijalankan. Pemerintah harus memastikan bahwa privatisasi tidak mengurangi kontribusi perusahaan terhadap masyarakat. Dengan pendekatan ini, keseimbangan antara efisiensi dan kepentingan sosial dapat tercapai.

Struktur organisasi pasca-privatisasi sering kali menjadi tantangan dalam menciptakan tata kelola yang efektif. Banyak BUMN yang memiliki struktur yang terlalu kompleks, sehingga menghambat pengambilan keputusan (Nachrawi, 2021). Prinsip organisatie-efficiëntie atau efisiensi organisasi harus diterapkan untuk menciptakan struktur yang lebih ramping. Dengan struktur yang sederhana, proses pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan lebih cepat dan efektif. Efisiensi ini sangat penting dalam menghadapi persaingan pasar.
Hubungan industrial menjadi salah satu aspek yang sering terabaikan dalam privatisasi. Konflik antara manajemen dan karyawan sering muncul akibat kurangnya komunikasi yang efektif. Dalam konsep arbeidsverhoudingen atau hubungan kerja, privatisasi harus disertai dengan pendekatan yang kolaboratif (Moeldjono, 2004). Manajemen perlu melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada mereka. Dengan pendekatan ini, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang harmonis.

Pengawasan Eksternal Yang Independen
Privatisasi juga menuntut perubahan budaya organisasi di BUMN. Banyak BUMN yang masih memiliki budaya kerja yang tidak sesuai dengan tuntutan pasar. Dalam konsep veranderingsbeheer atau manajemen perubahan, privatisasi harus diikuti dengan transformasi budaya organisasi (Pratama, 2022). Budaya kerja yang berorientasi pada hasil harus diterapkan untuk meningkatkan produktivitas. Perubahan ini perlu didukung oleh seluruh elemen perusahaan agar dapat berjalan efektif. Risiko monopoli oleh pihak swasta menjadi tantangan yang perlu diantisipasi dalam privatisasi. Banyak sektor strategis yang berpotensi dikuasai oleh pihak swasta jika privatisasi tidak dilakukan dengan hati-hati (Ilmar, 2012). Prinsip mededingingsrecht atau hukum persaingan usaha harus diterapkan untuk memastikan bahwa privatisasi menciptakan pasar yang kompetitif. Pemerintah perlu mengawasi distribusi kepemilikan saham agar tidak terpusat pada satu pihak. Dengan pendekatan ini, persaingan yang sehat dapat terjaga.
Privatisasi sering kali menghadapi tantangan berupa resistensi dari masyarakat. Banyak pihak yang khawatir bahwa privatisasi akan mengurangi akses masyarakat terhadap layanan publik (Nachrawi, 2021). Prinsip publieke betrokkenheid atau keterlibatan publik harus diterapkan untuk mengatasi resistensi ini. Pemerintah perlu melibatkan masyarakat dalam proses privatisasi untuk menciptakan transparansi dan kepercayaan. Dengan pendekatan ini, privatisasi dapat diterima dengan lebih baik oleh masyarakat.

Proses privatisasi yang berlarut-larut sering kali menimbulkan ketidakpastian bagi investor. Banyak investor yang enggan berpartisipasi jika proses privatisasi tidak memiliki kerangka waktu yang jelas. Prinsip tijdschema atau jadwal waktu harus diterapkan untuk memastikan bahwa proses privatisasi berjalan sesuai rencana (Rifai, 2024). Dengan kerangka waktu yang jelas, investor akan memiliki keyakinan untuk berinvestasi. Kejelasan ini juga penting untuk menjaga momentum dalam privatisasi.
Tata kelola profesional juga memerlukan pengelolaan risiko yang efektif. Privatisasi membawa risiko baru yang harus diidentifikasi dan dikelola dengan baik. Dalam konsep risicobeheer atau manajemen risiko, perusahaan harus memiliki mekanisme untuk mengantisipasi dan merespons risiko (Negara, 2024). Mekanisme ini harus mencakup aspek keuangan, operasional, dan reputasi. Dengan pengelolaan risiko yang baik, perusahaan dapat menghindari kerugian yang tidak perlu.

Ketergantungan pada pihak swasta menjadi tantangan lain dalam privatisasi. Banyak BUMN yang kehilangan kendali atas operasionalnya setelah diprivatisasi. Prinsip eigenaarschap atau kepemilikan harus dijaga untuk memastikan bahwa negara tetap memiliki kontrol strategis (Prasetio, 2014). Pemerintah harus memastikan bahwa privatisasi tidak mengorbankan kepentingan nasional. Dengan pendekatan ini, privatisasi dapat dilakukan tanpa mengurangi kedaulatan negara.
Mekanisme akuntabilitas menjadi elemen penting dalam tata kelola pasca-privatisasi. Banyak BUMN yang tidak memiliki sistem akuntabilitas yang memadai, sehingga sulit untuk mengukur kinerjanya (Nachrawi, 2021). Prinsip verantwoordingsplicht atau kewajiban akuntabilitas harus diterapkan untuk meningkatkan transparansi. Manajemen harus bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambil. Dengan mekanisme ini, kepercayaan publik terhadap perusahaan dapat meningkat.

Privatisasi juga memerlukan harmonisasi regulasi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung tata kelola profesional. Banyak regulasi yang saling tumpang tindih, sehingga menghambat proses privatisasi (Saputra, 2024). Prinsip regelharmonisatie atau harmonisasi regulasi harus diterapkan untuk menciptakan kerangka hukum yang jelas. Pemerintah perlu menyederhanakan regulasi agar proses privatisasi dapat berjalan lebih efisien. Dengan pendekatan ini, hambatan birokrasi dapat diminimalkan.
Privatisasi menuntut adanya pengawasan eksternal yang independen. Banyak BUMN yang tidak memiliki mekanisme pengawasan eksternal yang memadai. Prinsip onafhankelijke controle atau pengawasan independen harus diterapkan untuk memastikan bahwa perusahaan tetap berada di jalur yang benar (Rossieta, 2018)_. Pengawasan ini harus dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memiliki konflik kepentingan. Dengan pengawasan yang independen, potensi penyimpangan dapat diminimalkan.

Keberlanjutan bisnis menjadi salah satu tantangan utama dalam privatisasi. Banyak BUMN yang tidak memiliki strategi jangka panjang setelah diprivatisasi. Prinsip duurzaamheid atau keberlanjutan harus diterapkan untuk memastikan bahwa privatisasi memberikan manfaat jangka panjang (Supriatna, 2021). Perusahaan harus memiliki rencana yang jelas untuk menghadapi tantangan di masa depan. Dengan pendekatan ini, privatisasi dapat menjadi alat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Peran Good Corporate Governance dalam Privatisasi
Privatisasi merupakan salah satu langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Konsep Good Corporate Governance (GCG) menjadi fondasi utama dalam memastikan keberhasilan privatisasi. Dalam konteks hukum perusahaan, GCG berfungsi sebagai beheersnorm atau norma pengelolaan yang bertujuan menciptakan tata kelola yang transparan, akuntabel, dan independen (Purwoko, 2021). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN menggariskan pentingnya penerapan GCG di setiap tahap pengelolaan. Dengan GCG yang kuat, privatisasi dapat berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan kepentingan publik.
Regulasi terkait privatisasi di Indonesia, seperti Pasal 74 UU BUMN, menekankan pentingnya prinsip transparansi dalam setiap proses pengalihan saham. Transparansi menjadi elemen utama dalam GCG yang dikenal dengan istilah openbaarheid dalam hukum Belanda. Ketidakterbukaan sering kali menjadi celah munculnya praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam privatisasi (Ilmar, 2012). Dengan penerapan GCG yang tegas, proses privatisasi dapat diawasi oleh berbagai pihak secara terbuka. Langkah ini memberikan kepercayaan kepada publik dan investor terhadap integritas proses tersebut.

Konsep Functiescheiding
Prinsip akuntabilitas dalam GCG, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor PER-01/MBU/2011, menjadi landasan penting dalam privatisasi. Setiap pengambilan keputusan terkait privatisasi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada pemegang saham, termasuk negara (Muchtar, 2021). Akuntabilitas ini dikenal dalam konsep hukum Belanda sebagai verantwoordingsplicht. Dengan adanya mekanisme ini, manajemen BUMN yang diprivatisasi memiliki kewajiban untuk memberikan laporan secara berkala. Transparansi laporan ini memastikan bahwa setiap keputusan strategis telah melalui pertimbangan yang matang.
Independensi menjadi salah satu tantangan dalam penerapan GCG pada privatisasi BUMN. Campur tangan politik sering kali menghambat kebijakan yang berorientasi pada kepentingan bisnis. Dalam konsep onafhankelijkheid, manajemen harus bebas dari tekanan pihak luar dalam menjalankan tugasnya (Muchtar, 2021). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas memberikan landasan hukum bagi perusahaan untuk menjaga independensi. Dengan pendekatan ini, manajemen dapat fokus pada pencapaian tujuan korporasi tanpa intervensi yang tidak relevan.
Pengawasan yang efektif merupakan elemen penting dalam penerapan GCG di perusahaan yang diprivatisasi. Pembentukan Komite Privatisasi untuk mengawasi jalannya proses tersebut. Dalam hukum perusahaan, pengawasan dikenal sebagai toezicht, yang bertujuan memastikan bahwa setiap tahapan privatisasi berjalan sesuai regulasi (Muhammad, 2021). Pengawasan ini melibatkan berbagai pihak, termasuk auditor independen, untuk mencegah potensi penyimpangan. Dengan pengawasan yang ketat, privatisasi dapat berjalan sesuai dengan prinsip GCG.
Pemisahan fungsi regulator dan operator dalam privatisasi menjadi tantangan tersendiri dalam penerapan GCG. Banyak BUMN yang masih menjalankan peran ganda, sehingga menimbulkan konflik kepentingan (Negara, 2021). Dalam konsep functiescheiding, pemisahan ini diperlukan untuk menciptakan ekosistem yang sehat dan kompetitif. Pasal 3 UU BUMN mengatur pentingnya pemisahan ini agar perusahaan dapat lebih fokus pada operasional bisnis. Dengan demikian, tata kelola perusahaan menjadi lebih profesional dan independen.
Privatisasi juga memberikan tantangan dalam hal pengelolaan risiko. Setiap keputusan yang diambil harus melalui analisis risiko yang komprehensif. Dalam GCG, pengelolaan risiko dikenal dengan istilah risicobeheer (Rifai, 2024). Pasal 16 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli menekankan pentingnya mencegah risiko monopoli dalam privatisasi. Dengan pendekatan ini, privatisasi tidak hanya berfokus pada keuntungan, tetapi juga keberlanjutan bisnis.
Prinsip keadilan dalam GCG harus diterapkan dalam privatisasi untuk melindungi hak semua pemangku kepentingan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mengatur tentang perlindungan hak investor minoritas (Pratama, 2022). Dalam konteks hukum Belanda, keadilan ini dikenal sebagai billijkheid. Privatisasi yang tidak adil dapat memunculkan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat dan investor. Dengan penerapan prinsip ini, setiap pihak yang terlibat merasa dilindungi secara setara.

Privatisasi juga menuntut adanya kejelasan dalam struktur organisasi perusahaan. Banyak BUMN yang memiliki struktur yang terlalu kompleks, sehingga menghambat implementasi GCG. Konsep organisatie-efficiëntie harus diterapkan untuk menciptakan struktur yang lebih ramping dan efektif (Dwidjowijoto & Wrihatnolo, 2008). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur pentingnya efisiensi dalam pengelolaan sumber daya perusahaan negara. Dengan struktur yang lebih sederhana, perusahaan dapat lebih mudah menjalankan tata kelola yang baik.

Keberhasilan penerapan GCG dalam privatisasi juga bergantung pada kemampuan sumber daya manusia. Banyak BUMN yang membutuhkan pelatihan khusus untuk mempersiapkan manajemen yang kompeten (Rosita, 2018). Dalam konsep personeelsontwikkeling, pengembangan sumber daya manusia menjadi kunci keberhasilan tata kelola perusahaan. Pasal 6 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur pentingnya pelatihan dan pengembangan karyawan. Dengan tenaga kerja yang kompeten, penerapan GCG dapat berjalan lebih efektif.
Pengawasan terhadap transaksi pihak terkait menjadi tantangan dalam penerapan GCG pada privatisasi. Banyak kasus di mana transaksi dilakukan tanpa pengawasan yang memadai, sehingga berpotensi merugikan perusahaan (Siringoringo & Naldo, 2022). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur pentingnya pengungkapan transaksi ini. Dalam hukum Belanda, pengungkapan ini dikenal sebagai transparantie van transacties. Dengan pengawasan yang baik, potensi penyimpangan dapat diminimalkan.
Privatisasi yang tidak memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dapat mengurangi kepercayaan publik. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 mengamanatkan pentingnya pelaksanaan tanggung jawab sosial oleh perusahaan (Sedyowidodo & Djamaris, 2024). Dalam konsep maatschappelijke verantwoordelijkheid, perusahaan memiliki kewajiban untuk memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. Dengan penerapan GCG yang berorientasi pada tanggung jawab sosial, perusahaan dapat menjaga hubungan yang baik dengan masyarakat.

Tata kelola yang baik juga memerlukan pengawasan dari pemangku kepentingan eksternal. Banyak pihak yang tidak memahami pentingnya keterlibatan eksternal dalam mengawasi perusahaan (Pratama, 2024). Dalam hukum Belanda, pengawasan eksternal dikenal sebagai externe controle. Pentingnya keterlibatan pemangku kepentingan eksternal dalam pengelolaan perusahaan. Dengan pendekatan ini, privatisasi dapat berjalan lebih transparan dan akuntabel.
Privatisasi yang tidak memperhatikan prinsip keberlanjutan dapat mengancam masa depan perusahaan. Banyak perusahaan yang fokus pada keuntungan jangka pendek tanpa memperhatikan dampaknya dalam jangka panjang. Konsep duurzaamheid atau keberlanjutan harus menjadi bagian dari penerapan GCG. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur pentingnya keberlanjutan dalam setiap aktivitas bisnis. Dengan prinsip ini, privatisasi dapat memberikan manfaat jangka panjang.
Perlindungan terhadap hak konsumen menjadi bagian penting dari penerapan GCG dalam privatisasi. Banyak privatisasi yang berdampak pada kenaikan tarif layanan publik. Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur hak-hak konsumen yang harus dilindungi. Dalam hukum Belanda, hak ini dikenal sebagai consumentenbescherming. Dengan penerapan GCG yang melindungi konsumen, perusahaan dapat menjaga citra positif di masyarakat.
Tata kelola yang baik juga menuntut adanya pengungkapan informasi yang memadai kepada publik. Banyak perusahaan yang gagal memberikan informasi secara transparan kepada pemangku kepentingan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengatur pentingnya keterbukaan ini. Dalam konsep informatievoorziening, perusahaan wajib menyediakan informasi yang relevan kepada publik. Dengan pendekatan ini, kepercayaan publik terhadap privatisasi dapat ditingkatkan.

Privatisasi yang tidak melibatkan partisipasi pemangku kepentingan sering kali menuai resistensi. Banyak masyarakat yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengatur pentingnya partisipasi publik dalam setiap kebijakan strategis (Nachrawi, 2021). Dalam hukum Belanda, partisipasi ini dikenal sebagai participatie van belanghebbenden. Dengan melibatkan publik, privatisasi dapat diterima dengan lebih baik.
Pengelolaan konflik kepentingan menjadi tantangan besar dalam penerapan GCG pada privatisasi. Banyak kasus di mana pengambil keputusan memiliki kepentingan pribadi yang bertentangan dengan kepentingan perusahaan (Rosita, 2018). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur pentingnya pencegahan konflik kepentingan. Dalam hukum Belanda, konflik ini dikenal sebagai belangenconflict. Dengan regulasi yang ketat, potensi konflik kepentingan dapat diminimalkan.
Tata kelola yang baik juga menuntut adanya evaluasi berkala terhadap kinerja perusahaan pasca-privatisasi. Banyak perusahaan yang tidak memiliki mekanisme evaluasi yang memadai. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN mengatur pentingnya evaluasi ini sebagai bagian dari GCG. Dalam konsep prestatie-evaluatie, evaluasi ini dilakukan untuk memastikan bahwa tujuan privatisasi tercapai. Dengan evaluasi yang rutin, perusahaan dapat terus meningkatkan kinerjanya.

Privatisasi yang dilakukan tanpa penerapan GCG dapat menimbulkan ketidakstabilan ekonomi. Banyak perusahaan yang akhirnya gagal mencapai tujuan privatisasi karena tata kelola yang buruk. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan pentingnya pengelolaan yang akuntabel dan transparan. Dalam konsep economische stabiliteit, stabilitas ekonomi menjadi tujuan utama dalam setiap kebijakan privatisasi. Dengan penerapan GCG yang kuat, privatisasi dapat menjadi alat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Konsep sovereign wealth fund (SWF)
Pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 142/P Tahun 2024, yang bertujuan untuk mengelola aset negara secara efisien, menyajikan peluang signifikan dalam pengelolaan kekayaan negara dengan berlandaskan pada prinsip ekonomi Pancasila. Dalam hal ini, pengelolaan aset negara harus mempertimbangkan keadilan sosial (social justice), keberlanjutan (sustainability), transparansi, dan akuntabilitas sebagai tujuan utama. Konsep sovereign wealth fund (SWF) yang banyak diterapkan negara maju juga dapat dijadikan acuan dalam rangka meningkatkan pendapatan negara dan mencapai kesejahteraan umum. Namun demikian, dalam konteks Indonesia, implementasi Danantara perlu dijaga dengan ketat agar tidak terjadi pergeseran hak milik aset negara kepada pihak-pihak yang tidak berkepentingan dalam mewujudkan kemakmuran rakyat.
Prinsip dasar hukum yang mendasari pengelolaan sumber daya alam dan kekayaan negara tercermin dalam Pasal 33 UUD 1945, yang mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini menegaskan bahwa pengelolaan aset negara bukan sekadar untuk mengejar keuntungan ekonomi, tetapi juga untuk memastikan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, Danantara sebagai lembaga pengelola aset negara harus mengedepankan prinsip due diligence, good governance, dan accountability dalam setiap proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.

Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara)
Penting untuk memahami kedudukan Danantara yang meskipun diberi kewenangan untuk mengelola aset negara, tidak memegang hak kepemilikan atas aset tersebut. Konsep ini mengacu pada prinsip fiduciary duty yang berlaku dalam sistem hukum Anglo-Saxon, yang menempatkan Danantara sebagai seorang trustee yang memiliki tanggung jawab untuk bertindak demi kepentingan negara dan rakyat. Negara bertindak sebagai settlor, yang memiliki hak inalienable atas kekayaan negara. Negara tidak dapat mengalihkan atau memprivatisasi aset negara secara bebas tanpa prosedur hukum yang sah, sebagaimana diterapkan dalam konsep inalienable rights dalam hukum internasional.
Prinsip good faith dan prudence yang menjadi landasan bagi pengelolaan aset oleh Danantara menuntut agar setiap keputusan yang diambil selalu mengutamakan kepentingan rakyat dan keberlanjutan jangka panjang. Oleh karena itu, keputusan-keputusan yang melibatkan pengelolaan sumber daya alam dan aset strategis negara harus berfokus pada pencapaian tujuan ekonomi yang berkelanjutan, bukan semata-mata keuntungan jangka pendek. Danantara berperan serupa dengan lembaga-lembaga SWF yang bertujuan untuk menjaga kestabilan ekonomi negara dan memperkokoh perekonomian jangka panjang.
Namun, tantangan terbesar yang dihadapi oleh Danantara adalah adanya potensi penyalahgunaan wewenang atau abuse of power dalam pengelolaan aset negara. Pengawasan terhadap Danantara harus dilakukan secara ketat, baik melalui mekanisme pengawasan internal maupun eksternal. Pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi sangat penting, karena BPK memiliki kewenangan untuk mengaudit penggunaan aset dan keuangan negara. Selain itu, pengawasan internal yang dilakukan oleh Danantara sendiri juga harus dilaksanakan dengan hati-hati, melalui penerapan sistem kontrol internal yang kuat untuk mencegah adanya mismanagement atau penyalahgunaan kekuasaan.

Dengan demikian upaya menjaga prinsip corporate governance, Danantara harus mengintegrasikan unsur-unsur seperti transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam setiap kebijakan yang diterapkan. Salah satu cara untuk memperkuat pengawasan adalah melalui penerapan kebijakan golden share. Konsep golden share memberikan negara hak untuk mengintervensi keputusan-keputusan strategis dalam pengelolaan aset negara, meskipun ada elemen swasta yang turut berperan dalam kepemilikan perusahaan pengelola. Dengan cara ini, meskipun melibatkan sektor swasta, negara tetap menjaga kontrol terhadap keputusan-keputusan yang dapat mempengaruhi kepentingan nasional.

Penerapan due process atau prosedur hukum yang jelas dan transparan juga sangat diperlukan untuk memastikan bahwa setiap langkah yang diambil oleh Danantara sejalan dengan prinsip rule of law. Hal ini mengharuskan setiap kebijakan yang diterapkan untuk dipertanggungjawabkan kepada publik dan tidak menimbulkan kerugian bagi negara. Oleh karena itu, setiap keputusan yang diambil oleh Danantara harus dapat diukur berdasarkan dampaknya terhadap kemakmuran rakyat, bukan hanya semata-mata menguntungkan pihak tertentu.
Konsep social justice atau keadilan sosial harus menjadi prinsip utama dalam pengelolaan aset negara. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, segala pengelolaan sumber daya alam harus diarahkan pada kesejahteraan umum. Aset negara yang dikelola oleh Danantara harus memberikan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat, sehingga pengelolaan tersebut tidak hanya menguntungkan segelintir pihak saja. Manfaat yang diperoleh dari pengelolaan aset negara harus dapat dirasakan oleh rakyat secara merata.

Di sisi lain, prinsip sustainability atau keberlanjutan juga sangat penting dalam setiap kebijakan yang diambil. Pengelolaan aset negara harus mempertimbangkan dampak jangka panjang, baik dari sisi sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Keputusan yang mengabaikan prinsip keberlanjutan dapat merugikan generasi mendatang, yang pada gilirannya dapat mengancam kestabilan ekonomi dan sosial negara. Oleh karena itu, Danantara harus memastikan bahwa pengelolaan aset negara dilakukan secara hati-hati dan berorientasi pada jangka panjang.
Pengelolaan aset negara melalui penerapan prinsip due diligence sangat krusial. Setiap keputusan yang diambil oleh Danantara harus didasarkan pada analisis yang mendalam mengenai aspek hukum, sosial, dan lingkungan yang mungkin timbul. Prosedur due diligence ini sejalan dengan ketentuan hukum internasional yang menekankan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kekayaan negara.
Pelaksanaan pengawasan sebagai aspek good governance juga harus diterapkan dengan memperhatikan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Sistem pengawasan eksternal yang dilakukan oleh lembaga seperti BPK perlu dilengkapi dengan pengawasan internal yang kuat agar setiap kebijakan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara jelas kepada publik. Pengawasan internal ini juga bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan bahwa pengelolaan aset negara dilakukan dengan transparansi.

Prinsip golden share dapat diterapkan untuk memperkuat pengawasan terhadap pengelolaan aset strategis. Dengan kebijakan ini, negara tetap memiliki hak untuk mengintervensi keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan nasional, meskipun terdapat pihak swasta yang terlibat dalam pengelolaan aset tersebut. Kebijakan ini menjadi penting untuk menghindari terjadinya pengalihan aset negara yang merugikan rakyat, serta memastikan bahwa keputusan strategis tetap berada dalam kendali negara.
Salah satu tantangan besar lainnya adalah perlunya penyusunan regulasi yang jelas untuk mengatur kewenangan Danantara dalam pengelolaan aset negara. Tanpa adanya dasar hukum yang kuat, pengelolaan aset negara bisa saja terjebak dalam ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan risiko penyalahgunaan wewenang atau abuse of power. Oleh karena itu, perlu adanya peraturan yang tegas untuk memastikan bahwa pengelolaan aset negara dilakukan sesuai dengan prinsip rule of law.

Untuk mewujudkan pengelolaan aset negara yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan sosial, penguatan sanksi hukum juga menjadi hal yang sangat penting. Sanksi yang jelas dan tegas diperlukan untuk menanggulangi setiap bentuk penyalahgunaan kewenangan yang merugikan negara dan rakyat. Dalam hal ini, penerapan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bisa menjadi dasar hukum untuk menindak segala bentuk penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan aset negara.
Pengelolaan aset negara oleh Danantara harus berlandaskan pada prinsip good governance, due diligence, accountability, dan sustainability. Penguatan regulasi dan pengawasan yang ketat menjadi langkah penting untuk memastikan keberadaan Danantara dapat menjalankan perannya dengan baik dan memenuhi harapan rakyat Indonesia. Selain itu, setiap kebijakan yang diambil harus berfokus pada kesejahteraan rakyat, sesuai dengan amanat dalam Pasal 33 UUD 1945, yang mengutamakan kemakmuran umum dan keadilan sosial.

Dampak Privatisasi BUMN terhadap Ekonomi dan Masyarakat
Privatisasi BUMN telah menjadi kebijakan strategis pemerintah untuk mendorong efisiensi dan daya saing perusahaan milik negara. Transformasi ini bertujuan untuk menciptakan struktur pengelolaan yang lebih profesional, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Regulasi ini menegaskan pentingnya efisiensi dalam pengelolaan perusahaan negara, yang dalam istilah hukum Belanda dikenal sebagai doelmatigheid. Dengan kebijakan ini, privatisasi diharapkan tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memberikan dampak positif yang nyata bagi masyarakat.
Masuknya investasi swasta sering kali membawa perubahan signifikan dalam operasional perusahaan yang diprivatisasi. Teknologi baru dan inovasi manajemen menjadi nilai tambah yang memperkuat produktivitas. Konsep innovatiebeheer atau manajemen inovasi diterapkan untuk mendorong efisiensi dan meningkatkan nilai tambah bagi perusahaan (Sedyowidodo & Djamaris, 2024). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga mendukung pengelolaan perusahaan secara modern dan kompetitif. Dampak positif dari privatisasi ini dapat terlihat dari kemampuan perusahaan dalam bersaing di pasar domestik dan global.

Privatisasi memberikan peluang bagi perusahaan untuk memperkuat struktur permodalannya. Banyak BUMN yang sebelumnya bergantung pada pendanaan negara kini dapat mengakses pasar modal untuk memperoleh pendanaan baru (Pusat Data dan Analisa Tempo, 2019). Pasal 74 UU BUMN mengatur mekanisme privatisasi melalui penjualan saham secara transparan dan akuntabel. Dalam konteks hukum Belanda, ini dikenal sebagai kapitaalmarktfinanciering. Dengan sumber pendanaan yang lebih luas, perusahaan dapat melakukan ekspansi dan meningkatkan kapasitas produksinya.

Daya saing BUMN yang diprivatisasi cenderung meningkat karena pengelolaan yang lebih profesional. Perusahaan yang berfokus pada peningkatan efisiensi dan inovasi memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan persaingan pasar. Konsep concurrentiepositie atau posisi bersaing menjadi elemen penting dalam pengelolaan pasca-privatisasi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mendukung terciptanya ekosistem bisnis yang kompetitif. Dengan daya saing yang lebih tinggi, BUMN dapat memberikan kontribusi yang lebih signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Privatisasi juga memberikan dampak positif langsung bagi masyarakat melalui peningkatan kualitas layanan. Perusahaan yang dikelola secara profesional lebih mampu memberikan layanan yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan. Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menggarisbawahi hak masyarakat untuk mendapatkan layanan yang berkualitas (Paais & Souhoka, 2021). Dalam praktiknya, orientasi pada pelanggan atau klantgerichtheid menjadi prinsip utama yang diterapkan oleh perusahaan pasca-privatisasi. Masyarakat dapat menikmati layanan yang lebih baik, mulai dari kecepatan pelayanan hingga harga yang lebih kompetitif.
Keberhasilan privatisasi juga tercermin dari kontribusinya terhadap penerimaan negara. Privatisasi memungkinkan BUMN untuk meningkatkan efisiensinya, yang berdampak pada peningkatan laba perusahaan (Nachrawi, 2021). Pasal 6 UU BUMN mewajibkan perusahaan negara untuk memberikan kontribusi kepada penerimaan negara melalui dividen dan pajak. Dengan profitabilitas yang meningkat, BUMN dapat memberikan dividen yang lebih besar kepada negara. Selain itu, pajak yang disetor oleh perusahaan juga memberikan dampak positif terhadap anggaran pembangunan nasional.

Privatisasi sering kali menjadi alat untuk mendorong inovasi dan efisiensi yang sebelumnya sulit dicapai oleh BUMN. Struktur birokrasi yang kompleks dan intervensi politik sering menjadi hambatan utama dalam pengelolaan perusahaan negara. Dengan pengelolaan yang lebih independen, perusahaan dapat lebih fleksibel dalam mengambil keputusan strategis. Prinsip onafhankelijkheid atau independensi manajemen menjadi kunci keberhasilan dalam mengelola perusahaan pasca-privatisasi. Dengan demikian, perusahaan dapat lebih fokus pada pencapaian tujuan bisnisnya.
Dampak privatisasi terhadap lapangan kerja sering kali menjadi perhatian utama masyarakat. Banyak yang khawatir bahwa privatisasi dapat menyebabkan pengurangan tenaga kerja karena efisiensi. Namun, dengan manajemen yang tepat, privatisasi justru dapat menciptakan peluang kerja baru (Sedyowidodo & Djamaris, 2024). Pasal 13 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan terhadap hak-hak tenaga kerja selama proses privatisasi. Dalam jangka panjang, perusahaan yang tumbuh akan membutuhkan lebih banyak tenaga kerja untuk mendukung operasionalnya.

Privatisasi juga memberikan peluang bagi BUMN untuk memperluas jangkauan bisnisnya. Dengan struktur yang lebih fleksibel dan dukungan modal yang kuat, perusahaan dapat mengeksplorasi pasar baru (Sedyowidodo & Djamaris, 2024). Konsep ondernemerschap atau kewirausahaan diterapkan untuk mendorong diversifikasi bisnis. Pasal 3 UU BUMN mengatur tentang peran BUMN sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi nasional. Dengan strategi ini, perusahaan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pelajaran dari Praktik Privatisasi BUMN di Negara Lain
Privatisasi telah menjadi langkah strategis di berbagai negara untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan negara. Inggris menjadi salah satu negara pelopor privatisasi melalui kebijakan Thatcherite Privatization pada era Margaret Thatcher. British Telecom menjadi contoh sukses privatisasi dengan peningkatan kualitas layanan dan efisiensi operasionalnya (Reitan, 2003). Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN di Indonesia dapat mengadopsi prinsip transparansi yang diterapkan dalam kasus ini. Dengan pendekatan serupa, privatisasi di Indonesia dapat memberikan hasil yang optimal.

Praktik privatisasi di Jerman menunjukkan keberhasilan dalam pengelolaan aset strategis. Deutsche Post, perusahaan pos nasional, berhasil diprivatisasi tanpa kehilangan fungsi pelayanan publik. Konsep Post-Privatization Monitoring diterapkan untuk memastikan bahwa perusahaan tetap menjalankan tanggung jawab sosialnya (Chari, 2015). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dapat menjadi landasan dalam menjaga keseimbangan antara efisiensi dan pelayanan publik. Privatisasi di Indonesia dapat belajar dari keberhasilan Jerman dalam menjaga kepentingan masyarakat.
Australia menjadi contoh negara yang berhasil melakukan privatisasi sektor listrik. Privatisasi EnergyAustralia menunjukkan bahwa pengelolaan aset oleh pihak swasta dapat meningkatkan efisiensi dan inovasi teknologi. Konsep Regulated Monopoly diterapkan untuk mengatur harga dan kualitas layanan pasca-privatisasi (Campbell, 2000). Indonesia dapat mengadaptasi Pasal 33 UUD 1945 untuk memastikan sektor strategis tetap memberikan manfaat bagi rakyat. Dengan regulasi yang ketat, privatisasi sektor energi di Indonesia dapat memberikan dampak positif.
Prancis memberikan pelajaran penting melalui privatisasi Air France. Perusahaan ini berhasil meningkatkan efisiensi setelah sahamnya dijual kepada publik. Konsep Partial Privatization diterapkan untuk menjaga kontrol negara atas kebijakan strategis perusahaan (Tiberghien, 2007). Pasal 74 UU BUMN yang mengatur transparansi dalam privatisasi dapat mengadopsi prinsip ini. Dengan pendekatan serupa, privatisasi di Indonesia dapat tetap mempertahankan kontrol negara atas sektor strategis.
India menjadi contoh sukses dalam privatisasi sektor telekomunikasi melalui Bharat Sanchar Nigam Limited (BSNL). Privatisasi ini meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan telekomunikasi dengan harga yang lebih terjangkau. Konsep Public-Private Partnership (PPP) diterapkan untuk menggabungkan keunggulan sektor publik dan swasta (Pratap & Chakrabarti, 2017). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi di Indonesia dapat menjadi kerangka hukum untuk privatisasi serupa. Dengan pendekatan ini, akses masyarakat terhadap layanan strategis dapat diperluas.
Privatisasi sektor air di Chile memberikan pelajaran penting tentang pengelolaan sumber daya yang efisien. Empresa Metropolitana de Obras Sanitarias (EMOS) menjadi contoh sukses privatisasi yang meningkatkan akses air bersih bagi masyarakat. Konsep Social Tariff diterapkan untuk memastikan tarif yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (Franceys & Gerlach, 2008).

Pasal 33 UUD 1945 di Indonesia dapat digunakan untuk memastikan bahwa sektor air tetap memberikan manfaat bagi rakyat. Dengan pendekatan ini, privatisasi sektor air di Indonesia dapat dilakukan secara berkeadilan.
Brasil menunjukkan keberhasilan privatisasi sektor perkeretaapian melalui Rede Ferroviária Federal S.A. (RFFSA). Privatisasi ini meningkatkan efisiensi dan memperluas jaringan transportasi kereta api di negara tersebut. Konsep Concession Agreement diterapkan untuk memastikan bahwa investasi swasta membawa manfaat publik (Mettenheim, 2010). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dapat menjadi acuan untuk privatisasi serupa di Indonesia. Dengan pendekatan ini, sektor transportasi dapat berkembang lebih cepat.
Kanada memberikan pelajaran penting melalui privatisasi Canadian National Railway (CN). Privatisasi ini berhasil meningkatkan efisiensi tanpa mengurangi kualitas layanan transportasi. Konsep Full Divestiture diterapkan untuk memastikan bahwa perusahaan dapat bersaing di pasar terbuka (Radvanovsky & McDougall, 2019). Indonesia dapat belajar dari pengalaman Kanada dalam menjaga keseimbangan antara efisiensi dan pelayanan publik. Dengan regulasi yang tepat, sektor transportasi di Indonesia dapat berkembang secara berkelanjutan.

Privatisasi di Jepang melalui Japan Airlines memberikan pelajaran penting tentang restrukturisasi perusahaan. Setelah privatisasi, perusahaan ini berhasil meningkatkan efisiensi dan mengurangi beban utang. Konsep Turnaround Management diterapkan untuk mengelola transisi perusahaan dengan baik (Takeda & Watanabe, 2024). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dapat mendukung restrukturisasi serupa di Indonesia. Dengan pendekatan ini, privatisasi dapat memberikan hasil yang optimal.
Swedia menunjukkan keberhasilan dalam privatisasi sektor pendidikan melalui friskolor atau sekolah independen. Privatisasi ini meningkatkan kualitas pendidikan tanpa mengurangi aksesibilitas bagi masyarakat. Konsep Voucher System diterapkan untuk memastikan bahwa semua siswa memiliki kesempatan yang sama (Sivesind & Saglie, 2017). Pasal 31 UUD 1945 dapat menjadi landasan hukum untuk memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi hak setiap warga negara. Dengan pendekatan ini, sektor pendidikan di Indonesia dapat lebih berkembang.

Italia memberikan pelajaran penting melalui privatisasi ENEL, perusahaan listrik negara. Privatisasi ini meningkatkan efisiensi operasional dan mendorong inovasi di sektor energi. Konsep Gradual Privatization diterapkan untuk memastikan transisi yang mulus (International Business Publications, 2016). Pasal 33 UUD 1945 dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan antara efisiensi dan akses masyarakat terhadap listrik. Dengan regulasi yang tepat, privatisasi sektor energi di Indonesia dapat berjalan dengan baik.
Afrika Selatan menjadi contoh negara yang berhasil melakukan privatisasi sektor penerbangan melalui South African Airways. Privatisasi ini meningkatkan efisiensi dan memperluas jaringan penerbangan internasional. Konsep Strategic Partnership diterapkan untuk menarik investasi asing yang mendukung pengembangan perusahaan (McDonald, 2016). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dapat menjadi acuan untuk privatisasi serupa di Indonesia. Dengan pendekatan ini, sektor penerbangan di Indonesia dapat lebih kompetitif.

Rusia memberikan pelajaran penting melalui privatisasi Gazprom di sektor energi. Privatisasi ini meningkatkan kapasitas produksi gas alam dan memperluas pasar internasional. Konsep State-Managed Privatization diterapkan untuk memastikan bahwa negara tetap memiliki kendali strategis (Shoemaker, 2014). Pasal 33 UUD 1945 dapat digunakan untuk memastikan bahwa sektor energi tetap memberikan manfaat bagi rakyat. Dengan pendekatan ini, Indonesia dapat memaksimalkan potensi sektor energi.

Turki menunjukkan keberhasilan privatisasi sektor jalan tol melalui Turkish Highway Authority. Privatisasi ini mempercepat pembangunan infrastruktur jalan tol dan meningkatkan kualitas layanan. Konsep Build-Operate-Transfer (BOT) diterapkan untuk menarik investasi swasta (Eroğlu & Finger, 2022). Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dapat menjadi acuan untuk privatisasi serupa di Indonesia. Dengan pendekatan ini, infrastruktur transportasi di Indonesia dapat berkembang lebih cepat.
Meksiko memberikan pelajaran penting melalui privatisasi sektor telekomunikasi melalui Telmex. Privatisasi ini meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan telekomunikasi dengan tarif yang lebih kompetitif. Konsep Competitive Neutrality diterapkan untuk memastikan bahwa privatisasi tidak menciptakan monopoli (Beezley, 2024). Pasal 33 UUD 1945 dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan antara efisiensi dan akses masyarakat terhadap layanan strategis. Dengan pendekatan ini, sektor telekomunikasi di Indonesia dapat lebih berkembang.

Korea Selatan menunjukkan keberhasilan privatisasi sektor baja melalui POSCO. Privatisasi ini meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing di pasar global. Konsep Industrial Upgrading diterapkan untuk mendorong inovasi dan pengembangan teknologi (Lee & Rhyu, 2019). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dapat menjadi kerangka hukum untuk privatisasi serupa di Indonesia. Dengan pendekatan ini, sektor industri di Indonesia dapat berkembang secara berkelanjutan.
Argentina memberikan pelajaran penting melalui privatisasi sektor energi melalui YPF. Privatisasi ini meningkatkan kapasitas produksi minyak dan gas serta menarik investasi asing. Konsep Foreign Direct Investment (FDI) diterapkan untuk mendukung pengembangan sektor energi (Baer, 2001). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dapat menjadi acuan untuk privatisasi serupa di Indonesia. Dengan pendekatan ini, sektor energi di Indonesia dapat lebih kompetitif.
Malaysia memberikan contoh sukses privatisasi sektor transportasi melalui Malaysia Airlines. Privatisasi ini meningkatkan efisiensi operasional dan memperbaiki kualitas layanan penerbangan. Konsep Turnaround Strategy diterapkan untuk mengelola restrukturisasi perusahaan dengan baik (Tamasy & Taylor, 2018). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dapat mendukung privatisasi serupa di Indonesia. Dengan pendekatan ini, sektor penerbangan di Indonesia dapat lebih kompetitif.
Singapura memberikan pelajaran penting melalui privatisasi Singapore Airlines. Perusahaan ini berhasil meningkatkan kualitas layanan dan daya saing di pasar internasional. Konsep Corporate Governance Excellence diterapkan untuk memastikan tata kelola yang baik (Mallin, 2016). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dapat mendukung pengelolaan serupa di Indonesia. Dengan pendekatan ini, sektor penerbangan di Indonesia dapat menjadi lebih kompetitif di tingkat global.

Rekomendasi untuk Privatisasi BUMN yang Berkeadilan dan Profesional
Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi perusahaan. Langkah ini sering dikaitkan dengan upaya menciptakan tata kelola yang lebih profesional dan berkeadilan bagi seluruh pemangku kepentingan. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN memberikan dasar hukum yang jelas mengenai kebijakan privatisasi yang diambil oleh pemerintah. Privatisasi di Indonesia harus memenuhi prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Kebijakan ini juga harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat luas sebagai pemegang saham utama negara.
Keadilan menjadi elemen penting dalam proses privatisasi BUMN. Proses ini harus menghindari terjadinya monopoli atau dominasi pihak tertentu dalam pengelolaan sumber daya strategis negara. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menjadi dasar untuk menjaga persaingan yang sehat di pasar. Pemerintah harus memastikan bahwa privatisasi dilakukan dengan transparan melalui mekanisme pasar yang kompetitif. Keputusan untuk memprivatisasi suatu BUMN harus dilandasi oleh kajian yang mendalam mengenai dampaknya terhadap perekonomian nasional. Evaluasi menyeluruh dapat membantu mencegah kerugian bagi masyarakat dan negara.

Profesionalisme dalam tata kelola BUMN menjadi prioritas utama dalam kebijakan privatisasi. Proses ini harus melibatkan manajemen profesional yang memiliki integritas tinggi dan kompetensi yang sesuai. Pemilihan mitra strategis dalam privatisasi harus melalui proses yang ketat, dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Proses ini harus memastikan bahwa pengelolaan perusahaan dilakukan secara efisien, efektif, dan sesuai dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Pemerintah juga perlu meningkatkan pengawasan terhadap hasil privatisasi untuk memastikan bahwa tujuan yang diharapkan tercapai.
Penjualan saham BUMN kepada pihak swasta atau publik harus dilakukan secara adil dan transparan. Proses ini melibatkan keterlibatan masyarakat melalui mekanisme penawaran umum yang terbuka. Undang-Undang Pasar Modal menjadi pedoman dalam memastikan bahwa proses ini berlangsung tanpa penyimpangan. Masyarakat sebagai pemegang saham potensial harus diberikan akses yang sama terhadap informasi terkait perusahaan yang akan diprivatisasi. Langkah ini penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan privatisasi.
Pendekatan yang berkeadilan dalam privatisasi BUMN harus mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi. Kebijakan ini tidak hanya harus menguntungkan pemerintah dalam jangka pendek, tetapi juga harus memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi masyarakat. Pengelolaan aset negara yang efektif melalui privatisasi harus mendukung tujuan pembangunan nasional. Pemerintah perlu memastikan bahwa hasil dari privatisasi digunakan untuk kepentingan publik, seperti pembangunan infrastruktur atau peningkatan layanan sosial. Dengan cara ini, privatisasi dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemanfaatan teknologi informasi menjadi kunci untuk meningkatkan transparansi dalam proses privatisasi. Sistem berbasis digital dapat membantu pemerintah dalam memantau dan mengelola proses ini secara real-time. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memberikan landasan hukum untuk mengintegrasikan teknologi dalam tata kelola privatisasi. Penggunaan teknologi juga dapat membantu mencegah korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Dengan teknologi yang canggih, pemerintah dapat memitigasi risiko-risiko yang mungkin muncul selama proses privatisasi.
Peningkatan pengawasan oleh lembaga independen menjadi langkah penting untuk menjaga integritas privatisasi BUMN. Keterlibatan lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat meningkatkan akuntabilitas dalam setiap tahap proses. Pemerintah harus memberikan ruang bagi masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam pengawasan ini. Keterlibatan publik dapat membantu memastikan bahwa privatisasi tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dengan pengawasan yang baik, kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan privatisasi dapat terjaga.

Kajian mendalam mengenai dampak privatisasi terhadap sektor strategis harus menjadi prioritas. Pemerintah harus memastikan bahwa sektor-sektor penting, seperti energi, transportasi, dan telekomunikasi, tetap dalam kendali negara. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 menjadi dasar konstitusional untuk menjaga kontrol negara terhadap sektor-sektor tersebut. Kebijakan privatisasi yang tidak hati-hati dapat mengancam kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya strategis. Oleh karena itu, kebijakan ini harus dilaksanakan dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan publik dan kebutuhan investasi.
Kolaborasi dengan pihak swasta dapat menjadi solusi untuk meningkatkan efisiensi BUMN tanpa kehilangan kendali negara. Model Public-Private Partnership (PPP) memberikan peluang bagi pemerintah untuk berbagi risiko dengan mitra swasta. Kebijakan ini harus dilaksanakan dengan mengacu pada Peraturan Presiden tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU). Model ini memungkinkan BUMN untuk mendapatkan akses ke sumber daya dan keahlian yang dimiliki oleh sektor swasta. Dengan demikian, pemerintah dapat meningkatkan kinerja BUMN tanpa harus sepenuhnya melepaskan aset strategisnya.

Pengelolaan hasil privatisasi harus menjadi bagian dari strategi pembangunan nasional. Pemerintah perlu menetapkan kerangka kerja yang jelas untuk memastikan bahwa pendapatan dari privatisasi digunakan secara optimal. Langkah ini harus diarahkan untuk mendukung program-program yang memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Dengan demikian, privatisasi tidak hanya menjadi alat untuk meningkatkan efisiensi perusahaan, tetapi juga untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan.
Kebijakan privatisasi yang berkeadilan dan profesional membutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah. Pemerintah harus menunjukkan transparansi dalam setiap keputusan yang diambil. Komunikasi yang efektif dengan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya menjadi kunci untuk membangun kepercayaan. Dalam era demokrasi, partisipasi masyarakat menjadi elemen penting dalam pengambilan kebijakan publik. Dengan melibatkan masyarakat, pemerintah dapat memastikan bahwa kebijakan privatisasi diterima dengan baik oleh semua pihak.
Masa Depan Privatisasi BUMN di Indonesia
Privatisasi BUMN telah menjadi langkah strategis untuk memperbaiki kinerja perusahaan milik negara. Langkah ini dilakukan dengan tujuan meningkatkan efisiensi, transparansi, dan profesionalisme dalam pengelolaan aset negara. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara memberikan dasar hukum untuk pelaksanaan privatisasi. Kebijakan ini juga menekankan pentingnya penerapan prinsip Good Corporate Governance (GCG) untuk memastikan tata kelola yang baik. Pemerintah memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan negara dan manfaat bagi masyarakat.

Keseimbangan antara kepentingan nasional dan investasi swasta harus menjadi prioritas dalam kebijakan privatisasi. Proses ini harus memperhatikan dampaknya terhadap sektor strategis, seperti energi, transportasi, dan telekomunikasi. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 menjadi landasan konstitusional untuk menjaga kendali negara atas sektor-sektor tersebut. Kebijakan yang tidak hati-hati dapat mengancam kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya strategis. Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan evaluasi mendalam sebelum memutuskan privatisasi.
Keterbukaan dalam proses privatisasi menjadi elemen penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Proses ini harus dilakukan melalui mekanisme pasar yang kompetitif dan transparan. Undang-Undang Pasar Modal memberikan pedoman mengenai tata cara penawaran saham yang adil dan terbuka. Masyarakat sebagai pemegang saham potensial harus diberikan akses yang sama terhadap informasi terkait. Dengan keterbukaan ini, pemerintah dapat mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan privatisasi.
Pemanfaatan teknologi informasi dapat menjadi solusi untuk meningkatkan transparansi dalam privatisasi. Sistem berbasis digital memungkinkan pemerintah untuk memantau proses secara real-time. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memberikan dasar hukum untuk penerapan teknologi dalam tata kelola BUMN. Dengan teknologi yang canggih, pemerintah dapat mengurangi risiko korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Sistem ini juga dapat meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam pengambilan keputusan.
Pentingnya pengawasan oleh lembaga independen menjadi faktor kunci untuk keberhasilan privatisasi. Lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki peran penting dalam menjaga akuntabilitas. Pemerintah juga perlu melibatkan masyarakat dalam pengawasan ini untuk memastikan transparansi. Keterlibatan publik dapat membantu mencegah terjadinya pelanggaran atau penyimpangan. Dengan pengawasan yang ketat, proses privatisasi dapat berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Kesejahteraan Ekonomi Jangka Panjang
Kebijakan privatisasi harus mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi secara menyeluruh. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak merugikan masyarakat, terutama kelompok rentan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial memberikan panduan untuk melindungi hak-hak masyarakat dalam proses privatisasi. Hasil dari privatisasi juga harus digunakan untuk program-program yang mendukung pembangunan sosial. Dengan cara ini, privatisasi dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat.
Pengelolaan hasil privatisasi harus diarahkan untuk mendukung pembangunan nasional. Pendapatan dari privatisasi dapat digunakan untuk investasi di sektor-sektor yang memiliki dampak besar bagi masyarakat. Pemerintah perlu menetapkan kerangka kerja yang jelas untuk memastikan pemanfaatan dana secara optimal. Kebijakan ini harus dirancang untuk memberikan manfaat jangka panjang bagi perekonomian nasional. Dengan pengelolaan yang baik
Dalam konteks global yang semakin berkembang dan dinamis, pengelolaan aset negara menjadi isu yang sangat penting untuk dibahas. Salah satu instrumen yang kini semakin berkembang di banyak negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah adalah sovereign wealth fund (SWF), atau dana kekayaan negara. SWF ini merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara untuk mengelola aset yang dimiliki negara, baik yang berasal dari hasil sumber daya alam maupun dari pendapatan lainnya, dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan ekonomi jangka panjang.

Indonesia, sebagai negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat besar, sudah lebih dahulu memiliki Indonesia Investment Authority (INA) sebagai bagian dari upaya pengelolaan aset negara. INA dirancang untuk mengoptimalkan pengelolaan kekayaan negara dengan bekerja sama dengan sektor swasta dalam berbagai proyek strategis, baik domestik maupun internasional. Namun, kehadiran Danantara sebagai lembaga baru yang juga berfokus pada pengelolaan aset negara menimbulkan pertanyaan mendalam tentang status hukum dan mekanisme pengawasan yang harus diterapkan agar pengelolaan aset tersebut tetap sejalan dengan kepentingan negara.

Mengingat perbedaan struktur pengelolaan dan mekanisme investasi antara Danantara dan INA, timbul beberapa isu hukum yang memerlukan kajian lebih mendalam, yakni mengenai status hukum aset yang dikelola oleh Danantara dalam perspektif kepemilikan negara, mekanisme pengawasan yang dapat menjamin akuntabilitas, serta parameter hukum yang harus diperkuat untuk memastikan bahwa Danantara tetap beroperasi dalam kerangka hukum ekonomi yang berbasis pada Pancasila.
1. Status Hukum Aset yang Dikelola Danantara dalam Perspektif Kepemilikan Negara
Pertanyaan pertama yang muncul adalah terkait dengan status hukum aset negara yang dikelola oleh Danantara. Dalam hal ini, penting untuk memahami konsep dasar pengelolaan aset negara dalam sistem hukum Indonesia, khususnya dalam perspektif public law dan economic law. Secara umum, negara Indonesia memegang inalienable rights atas aset-aset negara yang berarti aset tersebut tidak dapat diprivatisasi atau dialihkan begitu saja tanpa prosedur yang sah menurut hukum. Hal ini sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Namun, status hukum aset yang dikelola oleh Danantara berbeda dengan yang dikelola oleh lembaga lain, seperti Sovereign Wealth Funds (SWF) di negara lain, karena Danantara bertindak sebagai pengelola dan bukan pemilik. Danantara memiliki kewajiban fiduciary yang mengharuskan mereka untuk bertindak demi kepentingan negara dan rakyat. Dalam hal ini, Danantara berperan sebagai fiduciary agent yang harus mengelola aset negara dengan prinsip good faith dan prudence. Dengan demikian, meskipun Danantara memiliki otoritas dalam mengelola aset negara, kepemilikan atas aset tersebut tetap berada di tangan negara sebagai settlor, sementara Danantara berperan sebagai trustee yang memiliki kewajiban untuk menjaga dan mengelola aset dengan transparansi dan akuntabilitas yang tinggi.
2. Mekanisme Pengawasan dan Akuntabilitas terhadap Danantara
Mekanisme pengawasan terhadap Danantara menjadi isu krusial yang harus dibahas. Sebagai lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengelola aset negara, Danantara wajib mempertanggungjawabkan setiap keputusan yang diambil dalam pengelolaan tersebut. Dalam hal ini, penting untuk mengatur pengawasan eksternal dan internal yang dapat memastikan bahwa pengelolaan tersebut tidak melanggar prinsip hukum dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Pengawasan eksternal dapat dilakukan oleh lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan untuk melakukan audit terhadap pengelolaan aset negara yang dilakukan oleh Danantara. Selain itu, lembaga independen lainnya yang terlibat dalam pengawasan seperti Komisi Pengawas yang dibentuk oleh negara juga akan berperan penting dalam memastikan pengelolaan yang transparan dan akuntabel. Dalam hal ini, pengawasan harus dilakukan secara periodik dan berbasis pada due process yang menjamin adanya keterbukaan dalam pengelolaan aset negara.
Di sisi lain, pengawasan internal yang dilakukan oleh Danantara juga tidak kalah penting. Hal ini mencakup penerapan sistem kontrol internal yang efektif dan mekanisme audit yang dapat mendeteksi adanya potensi penyalahgunaan kewenangan, baik yang berkaitan dengan keputusan investasi, penggunaan dana, maupun pengelolaan aset lainnya. Sistem pengawasan internal yang ketat juga akan membantu Danantara dalam menjaga integritas dan efisiensi dalam pengelolaan aset negara, sekaligus memperkuat akuntabilitas yang menjadi dasar dalam pengelolaan publik.
3. Parameter Hukum yang Perlu Diperkuat Agar Danantara Sejalan dengan Prinsip Hukum Ekonomi Pancasila
Salah satu tantangan utama dalam pengelolaan aset negara adalah memastikan bahwa seluruh kegiatan yang dilakukan oleh Danantara tetap berlandaskan pada prinsip hukum ekonomi Pancasila. Dalam hal ini, prinsip-prinsip keadilan sosial, transparansi, keberlanjutan, dan akuntabilitas harus dijadikan pijakan utama dalam setiap kebijakan yang diambil oleh Danantara.
Prinsip due diligence yang diterapkan dalam pengelolaan aset negara harus mencakup pertimbangan yang matang terhadap aspek hukum, sosial, dan lingkungan. Dalam konteks ini, prinsip keberlanjutan (sustainability) sangat penting untuk memastikan bahwa pengelolaan aset negara tidak hanya menguntungkan pada jangka pendek, tetapi juga dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu, Danantara harus memperhatikan segala kemungkinan dampak jangka panjang dari setiap keputusan investasi dan pengelolaan yang diambil, termasuk dampak sosial dan lingkungan.

Selain itu, prinsip corporate governance yang mencakup akuntabilitas, transparansi, dan integritas harus diintegrasikan dalam setiap kebijakan dan langkah yang diambil oleh Danantara. Penguatan sistem pengawasan dan kontrol internal yang efektif akan memastikan bahwa Danantara beroperasi dalam koridor yang sesuai dengan hukum dan prinsip Pancasila, yang menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama dalam pengelolaan aset negara.
Untuk itu, perlu adanya penguatan regulasi yang mengatur kewenangan dan prosedur yang harus diikuti oleh Danantara dalam pengelolaan aset negara. Regulasi tersebut harus mencakup ketentuan yang jelas mengenai kewenangan Danantara dalam mengelola aset, baik yang bersifat domestik maupun yang berkaitan dengan foreign direct investment (FDI). Hal ini penting untuk menjaga agar pengelolaan aset negara tetap berada dalam kendali negara, meskipun terdapat elemen swasta atau asing yang terlibat dalam struktur kepemilikan dan investasi.

Pengelolaan aset negara oleh Danantara dalam kerangka hukum yang berlaku sangat bergantung pada penguatan parameter hukum yang ada. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum ekonomi Pancasila, pengelolaan aset oleh Danantara dapat tetap sejalan dengan tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan rakyat dan menciptakan keadilan sosial yang merata. Penguatan pengawasan, penerapan prinsip due diligence, serta implementasi corporate governance yang baik akan sangat membantu dalam memastikan transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan dalam pengelolaan aset negara. Dengan demikian, Danantara dapat berperan sebagai lembaga yang efektif dan efisien dalam mengoptimalkan pengelolaan aset negara untuk kepentingan rakyat Indonesia.
Pengelolaan aset negara oleh Danantara merupakan bagian integral dari upaya Indonesia dalam mengoptimalkan potensi sumber daya alam dan pendapatan negara melalui instrumen sovereign wealth fund (SWF) yang efektif. Berdasarkan analisis yuridis dan filosofis terhadap sistem hukum yang berlaku, serta melalui perspektif axiology yang berfokus pada nilai-nilai keadilan sosial (social justice), transparansi (transparency), dan keberlanjutan (sustainability), artikel ini menyimpulkan bahwa Danantara perlu beroperasi dalam kerangka hukum ekonomi yang berbasis pada prinsip Pancasila. Hal ini sejalan dengan amanat dalam Preamble Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menekankan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama pengelolaan sumber daya negara.
Pertama, dari segi legal standing dan status hukum aset yang dikelola oleh Danantara, penting untuk memastikan bahwa meskipun Danantara berperan sebagai fiduciary agent dalam pengelolaan aset negara, kepemilikan atas aset tersebut tetap berada di tangan negara. Konsep ini menunjukkan bahwa Danantara harus bertindak dengan good faith dan prudence dalam menjalankan tanggung jawabnya. Di sini, penting untuk menegaskan bahwa Danantara bukanlah pemilik langsung aset negara, melainkan sebagai pengelola yang harus menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip trustee dengan transparansi yang tinggi.
Kedua, mekanisme pengawasan dan akuntabilitas menjadi isu yang sangat penting dalam konteks ini. Pengawasan terhadap Danantara harus dilakukan dengan prinsip due diligence dan dengan melibatkan berbagai lembaga pengawasan eksternal dan internal. Dalam hal ini, keberadaan independent oversight dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan lembaga pengawasan lainnya harus diperkuat agar dapat mendeteksi adanya potensi mismanagement atau penyalahgunaan kewenangan. Penerapan mekanisme checks and balances yang ketat dalam struktur pengelolaan dan pengawasan akan menghindarkan praktik korupsi atau pengelolaan yang tidak berorientasi pada kepentingan negara dan rakyat.
Ketiga, untuk menjaga keselarasan dengan prinsip hukum ekonomi Pancasila, parameter hukum yang terkait dengan pengelolaan aset negara harus terus diperkuat, terutama dalam hal corporate governance. Hal ini mencakup penguatan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan integritas dalam pengelolaan investasi yang melibatkan Danantara. Sebagai lembaga yang mengelola aset negara, Danantara harus memastikan bahwa keputusan investasi dan pengelolaannya tidak hanya menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi juga berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi generasi yang akan datang. Prinsip sustainability harus menjadi pedoman dalam setiap keputusan yang diambil oleh Danantara, dengan mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan dari setiap investasi.
Sebagai rekomendasi, perlu adanya revisi dan penyempurnaan regulasi yang mengatur pengelolaan Danantara, untuk memperkuat pengawasan dan kontrol yang ada. Penerapan kebijakan seperti golden share policy untuk melindungi kepentingan negara, pembatasan kepemilikan asing dalam investasi yang dikelola oleh Danantara, dan peningkatan transparansi keuangan menjadi langkah-langkah yang sangat diperlukan untuk menjamin pengelolaan aset negara yang efisien, akuntabel, dan berkeadilan. Selain itu, sangat disarankan untuk membentuk lembaga pengadilan khusus yang dapat menangani kasus-kasus penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran yang terjadi dalam skema investasi Danantara, sebagai bentuk komitmen terhadap rule of law dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk memastikan pengelolaan Danantara dapat beroperasi sesuai dengan kerangka hukum yang berlandaskan pada Pancasila, penguatan pengawasan dan kontrol internal yang ketat, penerapan prinsip due diligence, serta komitmen terhadap keberlanjutan (sustainability) harus menjadi prioritas utama. Dengan demikian, Danantara dapat memainkan peran yang signifikan dalam pengelolaan kekayaan negara dan memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia, sesuai dengan tujuan yang termaktub dalam UUD 1945. []

REFERENSI
Alaman, A. (2018). Memadu fungsi tol darat & laut: Menggugah keadilan distributif dan komutatif. Depok: Publica Institute Jakarta.
Baer, W. (2001). Foreign direct investment in Latin America: Its changing nature at the turn of the century. New York: Routledge.
Beezley, W. H. (2024). Latin America: The world today series, 2024–2025 (Edisi ke-57). Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
Campbell, D. (Ed.). (2000). International deregulation and privatization. Ardsley, NY: Transnational Publishers, Inc.
Chari, R. (2015). Life after privatization. Oxford: Oxford University Press.
Dennis Campbell, D. (2000). International deregulation and privatization. Ardsley, NY: Transnational Publishers, Inc.
Dwidjowijoto, R. N., & Wrihatnolo, R. R. (2008). Manajemen privatisasi BUMN. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Eroğlu, M., & Finger, M. (2022). The regulation of Turkish network industries. Cham: Springer.
Franceys, R., & Gerlach, E. (2008). Regulating water and sanitation for the poor: Economic regulation for public and private partnerships. London: Earthscan.
Hamzah Muchtar, E. (2021). Corporate governance: Konsep dan implementasinya pada emiten saham syariah. Indramayu: CV Adanu Abimata.
Ilmar, A. (2012). Hak menguasai negara: Dalam privatisasi BUMN. Jakarta: Kencana.
Junaedi, A. (2020). Penerapan good corporate governance (GCG) untuk pengamanan aset perusahaan. Yogyakarta: Penerbit Samudra Biru.
Lee, S., & Rhyu, S. (2019). The political economy of change and continuity in Korea. Cham: Springer.
Mallin, C. A. (2016). Corporate governance (Edisi ke-5). Oxford: Oxford University Press.
McDonald, D. A. (2016). Making public in a privatized world: The struggle for essential services. London: Zed Books.
Muchtar, E. H. (2021). Corporate governance: Konsep dan implementasinya pada emiten saham syariah. Indramayu: CV Adanu Abimata.
Nachrawi, G. (2021). BUMN sebagai usaha pemerintah menuju kesejahteraan rakyat: Tinjauan filosofis, sosiologis, politis dan yuridis. Bandung: Cendekia.
Nachrawi, G. (2021). Reinventing BUMN: Pengelolaan BUMN dalam perspektif Pasal 33 UUD NRI 1945. Bandung: Cendekia.
Paais, M., & Souhoka, S. (2021). Buku ajar manajemen BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Surabaya: CV Jakad Media Publishing.
Pangestu, M. T. (2020). Badan usaha milik negara dan status hukum kekayaan negara: Berdasarkan UU BUMN. Makassar: CV Social Politic Genius (SIGn).
Prasetio. (2014). Dilema BUMN: Benturan penerapan business judgment rule (BJR) dalam keputusan bisnis direksi BUMN. Jakarta: PT Rayyana Komunikasindo.
Pratama, I. (2024). Corporate governance di Indonesia. Sumatera Barat: Yayasan Tri Edukasi Ilmiah.
Pratap, K. V., & Chakrabarti, R. (2017). Public-private partnerships in infrastructure: Managing the challenges. Singapore: Springer Nature.
Purwoko, B. P. (2021). Bentuk-bentuk perusahaan. Banten: CV Amal Saleh.
Radvanovsky, R., & McDougall, A. (2019). Critical infrastructure: Homeland security and emergency preparedness (Edisi ke-4). Boca Raton, FL: CRC Press.
Rasyidin, B. (2025). Sumber daya korporasi: Jawaban untuk Indonesia Emas 2045. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Rifai, A. (2024). Tindak pidana korupsi BUMN: Gagasan rekonstruksi pertanggungjawaban pidana korporasi BUMN. Yogyakarta: Deepublish.
Rossieta, H., et al. (2018). Peta BUMN berdasarkan misi ganda komersial dan sosial-ekonomi: Menuju penentuan dividen dan insentif top manajemen BUMN yang transparan, akuntabel dan berkeadilan. Jakarta: UI Publishing.
Shoemaker, M. W. (2014). Russia & the Commonwealth of Independent States. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
Sivesind, K. H., & Saglie, J. (2017). Promoting active citizenship: Markets and choice in Scandinavian welfare. Cham: Springer.
Suastuti, E. (2022). Tanggung jawab direksi badan usaha milik negara (Persero). Surabaya: Scopindo Media Pustaka.
Supriatna, J. (2021). Pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sutedi, A. (2015). Buku pintar hukum perseroan terbatas. Jakarta: Raih Asa Sukses.
Tamasy, C., & Taylor, M. (2018). Globalising worlds and new economic configurations. Abingdon: Routledge.
Tamasy, C., & Taylor, M. (2018). Globalising worlds and new economic configurations. Abingdon: Routledge.
Tempo, Pusat Data dan Analisa. (2019). Pemerintah dan kiat menguatkan keuangan BUMN nasional. Jakarta: Tempo Publishing.
Tiberghien, Y. (2007). Entrepreneurial states: Reforming corporate governance in France, Japan, and Korea. Ithaca, NY: Cornell University Press.
Watanabe, J., & Takeda, H. (2024). Rethinking Japanese economic policy at the turn of the 21st century. Singapore: Springer Nature.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed