Teror adalah perbuatan pengecut dan tidak beradab. Dalam era keterbukaan dan Undang-Undang Pers memiliki rambu-rambu yang mengatur pemberitaan dan juga memberi hak mereka yang merasa dirugikan pemberitaan, semestinya teror terhadap media tidak lagi terjadi. Teror ini tidak hanya mengganggu kemerdekaan pers juga menyiratkan tanda-tanda kembali ke masa gelap media di Indonesia.
Redaksi Tempo pekan lalu mendapat teror, mendapat kiriman kepala babi yang ditujukan kepada wartawati mereka yang sehari-hari dikenal juga host dalam podcats Tempo, Bocor Alus, Francisca Christy Rosana. Selang beberapa hari, teror kembali muncul ke media yang berkantor di Kawasan Palmerah, Jakarta Selatan, itu, yakni sejumlah tikus yang kepalanya sudah dipenggal.
Berbagai kalangan mengutuk teror ini. Teror tersebut kuat diduga berkaitan dengan sejumlah pemberitaan Tempo. Pers Indonesia dilindungi undang-undang. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menekankan fungsi pers antara lain untuk sarana informasi dan kontrol – tentu termasuk kontrol terhadap pemerintah. Pers juga memiliki hak untuk mencari informasi, mengolah, dan menyebarkannya. Jika ada yang keberatan dengan pemberitaan, Undang-Undang menunjuk publik bisa memakai “hak jawab.”
Mereka yang mengirim kepala babi itu mungkin paham atau mungkin tidak paham perihal UU Pers tersebut. Tapi, yang pasti, ia berharap bahwa dengan mengirim kepala babi itu, redaksi Tempo menjadi ciut nyali dan tak lagi kritis -harapan yang tampaknya sia-sia.
Sejauh ini belum jelas siapa pengirimnya. Tempo sudah melaporkan teror-teror tersebut ke kepolisian juga Komnas HAM. Kita menyesalkan teror-teror yang mengganggu kerja pers. Cara semacam itu bagaimana pun merupakan ancaman bagi kemerdekaan pers, hal yang sekarang didapat sebagai buah reformasi yang diperjuangkan mati-matian.(domainhukumcom)
Komentar