oleh

Menghapus Ambiguitas Covernote Independensi dan Integritas Jabatan Notaris

-OPINI-273 views

MENGHAPUS AMBIGUITAS COVERNOTE
TERHADAP INDEPENDENSI DAN INTEGRITAS JABATAN NOTARIS
Oleh: Dr. H. Ikhsan Lubis, SH, SpN, M.Kn Ketua Pengwil Sumut Ikatan Notaris Indonesia dan Akademisi di Bidang Hukum Kenotariatan

Disampaikan dalam rangka Seminar dan Pembinaan Notaris yang diselenggarakan oleh Pengurus Daerah Tapanuli Raya Ikatan Notaris Indonesia berkolaborasi dengan Kakanwil Kementerian Hukum Sumatera Utara, waktu pelaksanaan 11 April 2025, bertempat di KHAS Parapat Hotel, Danau Toba.

Pendahuluan
Istilah covernote, dalam praktik hukum Indonesia, berperan sebagai dokumen administratif sementara yang memiliki berbagai implikasi hukum, terutama dalam bidang asuransi, perbankan, dan kenotariatan. Secara fonologis, covernote berasal dari bahasa Inggris yang menggabungkan dua kata, yaitu cover dan note, dengan makna yang lebih luas. Kata cover berasal dari bahasa Latin cooperire, yang berarti “menutupi” atau “melindungi”, sedangkan note berasal dari bahasa Latin nota, yang berarti “catatan” atau “tulisan”. Covernote merujuk pada sebuah dokumen yang menyatakan adanya proses administratif yang sedang berlangsung namun belum memiliki kekuatan hukum tetap. Pengucapan kata ini sering mengalami perubahan fonetik, seperti hilangnya bunyi /r/ pada cover dalam dialek non-rhotik. Secara morfologis, covernote merupakan kata majemuk yang mengikuti pola Noun + Noun, di mana cover berfungsi sebagai kata benda yang memberikan atribut pada kata note. Sebagai kata benda, covernote menunjukkan dokumen administratif yang menunjukkan status atau perkembangan transaksi yang sedang diproses.

Makna dari covernote dalam praktik hukum Indonesia berkembang seiring waktu, dari sekadar dokumen sementara dalam dunia asuransi menjadi dokumen yang digunakan dalam berbagai transaksi hukum, terutama dalam kenotariatan dan perbankan. Dalam ranah hukum Indonesia, covernote diatur oleh berbagai peraturan yang mengatur sektor-sektor tersebut (Dino Rafly Priatna 2024). Sebagai contoh, dalam dunia asuransi, covernote berfungsi sebagai bukti sementara bahwa jaminan asuransi sedang diproses, sebelum polis resmi diterbitkan. Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 73/POJK.05/2016, covernote hanya memiliki kekuatan administratif sementara dan tidak setara dengan polis yang sah secara hukum. Hal ini juga tercermin dalam sektor perbankan, di mana covernote digunakan untuk mempercepat proses administrasi dalam transaksi kredit, meskipun tidak memiliki status hukum yang tetap sebagaimana dokumen resmi. Dalam konteks kenotariatan, covernote digunakan oleh notaris untuk memberi informasi bahwa dokumen atau transaksi sedang diproses, namun tidak dapat dianggap sebagai akta autentik yang sah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Perdebatan mengenai keabsahan covernote dalam praktik hukum Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan independensi dan integritas jabatan notaris, menciptakan ambiguitas yang berpotensi mengganggu sistem hukum Indonesia secara keseluruhan. Dalam perspektif juridical normative, penting untuk menelusuri kedudukan hukum covernote sebagai dokumen administratif yang berbeda dengan akta notaris yang memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat. Sementara itu, dalam perspektif filosofis, kita perlu mengkaji lebih dalam prinsip keadilan substantif yang mengharuskan penegakan hukum berdasarkan asas moral dan keadilan yang lebih manusiawi.

Perlindungan hukum bagi notaris menjadi hal yang sangat penting mengingat peran sentral mereka dalam pembuatan dokumen otentik yang memiliki kekuatan hukum. Notaris dihadapkan pada potensi risiko hukum yang signifikan, seperti kesalahan administrasi atau kelalaian dalam pembuatan akta. Meskipun Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris sudah mengatur jabatan ini, namun masih terdapat celah dalam perlindungan hukum, terutama terkait status hukum covernote. Covernote sering dipahami sebagai dokumen sementara yang digunakan dalam transaksi hukum seperti perjanjian kredit atau asuransi. Dalam konteks ini, prinsip-prinsip hukum seperti legal certainty (kepastian hukum) dan protection of rights (perlindungan hak) perlu diutamakan untuk memastikan hak-hak notaris terlindungi dengan baik. Status hukum covernote yang ambigu menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama dalam peradilan pidana, yang berpotensi membuka ruang bagi penuntutan yang tidak sah. Ketidakjelasan mengenai kedudukan hukum covernote dapat merusak independensi notaris dalam menjaga keabsahan dokumen yang mereka buat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang lebih jelas dan komprehensif tentang kedudukan hukum covernote dalam sistem hukum Indonesia.

Dari perspektif filosofis, perlindungan hukum bagi notaris harus mempertimbangkan prinsip mens rea (niat jahat) dalam tindak pidana. Notaris sebagai pejabat publik yang independen hanya bertugas membuat dokumen administratif, seperti covernote, dan tidak terlibat dalam substansi transaksi yang dilakukan oleh pihak lain. Oleh karena itu, menuntut notaris dalam perkara pidana tanpa adanya bukti niat jahat atau actus reus (perbuatan melawan hukum) berpotensi melanggar asas keadilan substantif, yang menuntut adanya perbuatan nyata yang merugikan. Selain itu, prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1), yang menjamin hak setiap orang untuk diperlakukan sama di hadapan hukum, mengharuskan adanya perlindungan yang setara bagi notaris dalam menjalankan tugas administratif mereka tanpa adanya ketidaksetaraan hukum. Ketidakjelasan status hukum covernote dapat berisiko menjerat notaris dalam situasi yang tidak adil. Oleh karena itu, untuk menciptakan sistem hukum yang adil, perlu ada pengaturan yang lebih tegas mengenai fungsi dan kedudukan hukum covernote.

Rekomendasi yang dapat diambil adalah memperjelas kedudukan hukum covernote dalam regulasi yang berlaku, sehingga tidak menimbulkan kebingunguan bagi notaris dalam menjalankan tugas administratif mereka. Pengaturan yang lebih tegas mengenai covernote sebagai dokumen administratif sementara harus memastikan bahwa dokumen ini tidak dapat dijadikan dasar penuntutan pidana tanpa bukti penipuan yang sah, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege (tidak ada kejahatan tanpa undang-undang). Dengan pengaturan yang lebih jelas, diharapkan dapat mengurangi potensi penyalahgunaan covernote sebagai bukti dalam perkara pidana. Selain itu, reformasi hukum yang lebih komprehensif dan transparan akan memperkuat integritas profesi notaris dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum Indonesia. Dengan demikian, perbaikan regulasi ini diharapkan dapat menciptakan keadilan substantif, memberikan kepastian hukum, serta memperkuat perlindungan hak-hak individu, termasuk hak notaris, dalam menjalankan profesinya.

Secara yuridis-normatif, covernote berfungsi sebagai dokumen sementara yang tidak memiliki kekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang menetapkan bahwa akta autentik adalah dokumen yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dan memiliki kekuatan hukum yang sah. Oleh karena itu, covernote tidak memenuhi syarat sebagai akta autentik atau dokumen yang dapat dijadikan dasar hukum yang final (Malini, Widijowati, dan Martanti 2023). Dalam prakteknya, covernote lebih berperan sebagai comfort letter atau surat jaminan sementara yang memberikan kepastian administratif sebelum dokumen resmi diterbitkan. Dalam sektor perbankan, meskipun covernote sering digunakan sebagai dasar untuk pencairan kredit sebelum sertifikat hak atas tanah diterbitkan, penggunaannya tidak dapat dipandang sebagai bukti yang mengikat. Hal ini menyebabkan ketidakpastian, terutama dalam hal transaksi perbankan dan properti, di mana kepercayaan antar pihak lebih diutamakan daripada kepastian hukum yang terjamin oleh dokumen yang sah.

Fenomena ketidakjelasan mengenai status hukum covernote dalam sistem hukum Indonesia menggambarkan adanya kekosongan hukum atau legal gap yang dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan. Kekosongan ini menyoroti pentingnya untuk memperjelas kedudukan hukum covernote, yang meliputi parameter-parameter seperti keabsahan dokumen, jangka waktu, dan tanggung jawab pihak yang mengeluarkan dokumen tersebut. Dalam kerangka hukum Indonesia, asas legalitas menuntut agar setiap dokumen yang digunakan dalam transaksi hukum memiliki dasar hukum yang jelas, termasuk covernote. Asas ini mengharuskan dokumen yang diterbitkan harus sah secara hukum dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun, ketidakjelasan mengenai kedudukan hukum covernote sering kali menyebabkan potensi kerugian bagi pihak-pihak terkait, karena dokumen ini sering dipandang lebih penting dari status hukumnya yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa penting untuk menegaskan dengan jelas fungsi dan kedudukan covernote dalam transaksi hukum, agar tidak terjadi penyalahgunaan yang dapat merugikan pihak-pihak yang terlibat.

Keberadaan covernote menggambarkan adanya ketegangan antara kebutuhan administratif yang fleksibel dengan prinsip kepastian hukum yang lebih kaku. Dalam praktik hukum Indonesia, yang cenderung mengutamakan formalitas, dokumen sementara seperti covernote memungkinkan transaksi hukum berlangsung dengan cepat dan efisien, terutama dalam transaksi yang memerlukan ketepatan waktu. Namun, fleksibilitas ini harus diimbangi dengan kepastian hukum yang tidak mengorbankan integritas sistem hukum itu sendiri. Dalam hal ini, filosofi ius publicum dan ius privatum menuntut adanya keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Covernote berfungsi sebagai alat bantu administratif yang dapat memperlancar transaksi sebelum dokumen yang sah diterbitkan, namun harus tetap memperhatikan prinsip dasar hukum seperti aequitas (keadilan) dan legal certainty (kepastian hukum). Dengan demikian, meskipun covernote memiliki peran penting dalam kelancaran transaksi hukum, penting untuk menegakkan prinsip-prinsip dasar hukum agar dokumen tersebut tidak mengaburkan kepastian hukum yang menjadi dasar sistem hukum Indonesia.

Menghapus Ambiguitas Covernote untuk Menjaga Independensi dan Integritas Notaris
Ambiguitas mengenai kedudukan hukum covernote dapat merusak independensi dan integritas jabatan notaris jika tidak segera diatasi. Sebagai pejabat publik yang terikat pada prinsip public trust (kepercayaan publik), notaris seharusnya dapat menjalankan tugas administratif mereka tanpa khawatir akan dipertanggungjawabkan dalam konteks pidana tanpa bukti yang jelas dan substansial. Oleh karena itu, penting untuk memperjelas dalam sistem hukum kedudukan covernote yang tidak bisa disamakan dengan akta notaris dalam konteks hukum pidana. Untuk mengatasi ambiguitas ini, langkah yang dapat diambil adalah dengan memperjelas posisi hukum covernote secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Covernote harus dipahami sebagai dokumen administratif sementara yang tidak bisa dijadikan dasar penuntutan pidana kecuali jika ada bukti penipuan atau perbuatan melawan hukum lainnya yang melibatkan notaris. Ketidakjelasan dalam pembuktian mengenai peran notaris dalam tindak pidana utama harus dihilangkan dengan menguatkan prinsip nullum crimen sine lege yang mengharuskan adanya aturan hukum yang jelas sebelum seseorang dapat dipidana. Dengan penguatan norma yang melindungi tugas administratif notaris, independensi jabatan notaris dapat terjaga, yang pada gilirannya akan memperkuat integritas profesi ini. Hal ini juga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap notaris dan sistem hukum Indonesia secara keseluruhan.

Implikasi terhadap Sistem Hukum Indonesia
Perubahan terhadap pengaturan covernote dan pemisahannya dari akta notaris yang dapat dijadikan dasar hukum pidana akan membawa dampak signifikan terhadap sistem hukum Indonesia secara keseluruhan. Pembenahan ini tidak hanya akan menyelesaikan masalah terkait ambiguitas hukum, tetapi juga memperjelas peran dan tanggung jawab setiap pihak yang terlibat dalam proses pembuatan perjanjian, termasuk notaris. Dengan langkah-langkah pembaharuan ini, sistem hukum Indonesia diharapkan dapat menjadi lebih transparan, adil, dan proporsional. Penegasan kedudukan hukum covernote yang tegas akan mencegah penyalahgunaan dan kesalahan interpretasi yang dapat merugikan berbagai pihak, terutama notaris yang menjalankan tugas administratif mereka dengan profesionalisme. Selain itu, perbaikan ini akan memberikan kepastian hukum yang lebih kuat, memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum Indonesia, dan memastikan bahwa sanksi hukum dijatuhkan hanya berdasarkan bukti yang jelas dan substansial.

Langkah-langkah normatif yang memperjelas fungsi administratif covernote dan membedakannya dari akta notaris yang memiliki kekuatan hukum lebih besar sangat diperlukan untuk mengurangi potensi kesalahan penafsiran yang dapat merugikan profesi notaris dan mengganggu sistem peradilan pidana. Reformasi ini akan memastikan bahwa covernote tidak disalahgunakan sebagai alat bukti dalam tindak pidana, kecuali jika ada bukti yang cukup mengenai penipuan atau perbuatan melawan hukum lainnya. Dalam pendekatan keadilan substantif, yang menekankan pentingnya perlindungan terhadap independensi jabatan notaris, langkah-langkah ini juga akan menjaga integritas profesi notaris. Reformasi ini sejalan dengan prinsip-prinsip dasar hukum Indonesia yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan demikian, diharapkan sistem hukum Indonesia menjadi lebih jelas, adil, dan manusiawi, menciptakan rasa kepercayaan yang lebih besar di kalangan masyarakat.

Ambiguitas dan Pengaruhnya terhadap Kinerja Notaris
Ambiguitas terkait dengan kedudukan hukum covernote dalam sistem hukum Indonesia tidak hanya berdampak pada proses peradilan pidana, tetapi juga memengaruhi kinerja seorang notaris. Sebagai pejabat umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik, notaris memegang peranan penting dalam memastikan kepastian hukum setiap transaksi atau perjanjian yang dibuat di hadapannya. Untuk itu, integritas dan independensi seorang notaris harus dijaga dengan baik. Namun, ketidakjelasan mengenai kedudukan hukum covernote sering kali membuat notaris berada dalam dilema antara menjalankan tugas administratif mereka dengan hati-hati atau terlalu berhati-hati hingga terhambat untuk bertindak sesuai dengan ketentuan yang ada.

Independensi notaris harus dijaga agar tindakan administratif mereka tidak dipengaruhi oleh kepentingan pihak tertentu yang dapat merusak kualitas keputusan hukum yang diambil. Ketidakjelasan mengenai kedudukan covernote dapat mengancam independensi ini, karena posisi notaris dapat dipertanyakan apabila peran mereka dalam pembuatan covernote dianggap setara dengan pembuatan akta yang memiliki kekuatan pembuktian lebih tinggi. Dalam hal ini, independensi notaris bisa terancam karena ketidakjelasan tanggung jawab hukum yang terkait dengan peran administratif yang lebih rendah seperti pembuatan covernote. Jika posisi notaris dianggap rentan terhadap interpretasi yang salah, maka kepercayaan publik terhadap profesi ini akan terganggu, yang dapat berdampak buruk pada kredibilitas sistem hukum secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting untuk segera memperjelas kedudukan hukum covernote agar notaris dapat menjalankan tugas administratif mereka dengan penuh kepercayaan diri, tanpa khawatir terjerat dalam tanggung jawab hukum yang tidak sesuai dengan peran mereka yang sebenarnya.

Dengan demikian dalam analisis lebih lanjut, covernote dapat dipahami sebagai bentuk penyesuaian sistem hukum terhadap dinamika kebutuhan praktis yang berkembang dalam masyarakat. Namun, untuk menjaga agar fleksibilitas ini tidak disalahgunakan, dibutuhkan regulasi yang lebih jelas dan terperinci mengenai penggunaan covernote (Medianto dan Nurdin 2024). Reformasi hukum ini penting untuk memperjelas kedudukan hukum covernote, sehingga dapat mengurangi ambiguitas yang ada dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi hukum. Reformasi ini juga perlu mencakup pengaturan yang lebih spesifik mengenai tanggung jawab pihak yang mengeluarkan covernote, jangka waktu berlakunya dokumen sementara ini, serta keterkaitannya dengan dokumen hukum resmi yang akan diterbitkan nantinya. Dengan demikian, covernote tidak akan menggantikan fungsi dokumen yang sah, melainkan menjadi instrumen administratif yang dapat dipertanggungjawabkan.

Keberadaan covernote dalam praktik hukum Indonesia memunculkan sejumlah tantangan hukum yang memerlukan perhatian serius dari pembuat kebijakan dan praktisi hukum. Untuk menjawab masalah ambiguitas yang ada, reformasi hukum yang komprehensif diperlukan, dengan menekankan pada pengaturan yang lebih jelas mengenai status hukum covernote (Sembiring 2024). Pengaturan ini akan meningkatkan kepastian hukum, mengurangi potensi penyalahgunaan, dan memperkuat integritas sistem hukum Indonesia. Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah dan otoritas terkait segera mengeluarkan regulasi yang mengatur kedudukan hukum covernote, agar dapat mengurangi ketidakpastian yang terjadi dalam praktik perbankan, asuransi, dan kenotariatan. Hal ini akan membawa dampak positif dalam menciptakan transparansi, akuntabilitas, serta perlindungan hukum yang lebih baik bagi semua pihak yang terlibat dalam transaksi hukum.

Reformasi Hukum Covernote dalam Sistem Hukum Indonesia
Keberadaan covernote, sebagai dokumen administratif sementara yang memberikan jaminan atas suatu transaksi sebelum dokumen resmi diterbitkan, memegang peranan penting dalam berbagai transaksi hukum di Indonesia, terutama dalam praktik notariat dan perbankan. Meskipun penggunaannya telah diterima secara luas dalam praktik hukum, keberadaan covernote sering menimbulkan ketidakpastian hukum, mengingat tidak adanya dasar hukum yang eksplisit mengatur dokumen ini (Sinaga dan Turisno 2024). Hal ini menimbulkan potensi penyalahgunaan dalam transaksi yang tidak sah, yang pada gilirannya dapat merugikan berbagai pihak yang terlibat. Oleh karena itu, penting untuk melakukan reformasi hukum yang lebih komprehensif untuk memberikan kepastian hukum terkait penggunaan covernote, yang tidak hanya mengatur prosedur formalitas, tetapi juga memberikan jaminan atas keabsahan dokumen administratif ini.

Secara yuridis normatif, konsep legalitas merupakan prinsip fundamental dalam sistem hukum Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Setiap tindakan hukum harus berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk dalam hal penggunaan covernote. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang mengatur syarat sahnya suatu perjanjian, mencakup kesepakatan antara para pihak, kecakapan untuk membuat perjanjian, adanya objek yang tertentu, dan sebab yang halal. Dalam konteks ini, covernote dapat dipandang sebagai dokumen yang mencatat kesepakatan sementara antara para pihak sebelum diterbitkannya dokumen resmi. Namun, tanpa pengaturan yang jelas mengenai jangka waktu berlaku, batasan penggunaan, serta kewajiban notaris sebagai penerbit covernote, status hukum dokumen ini tetap ambigu. Ketidakjelasan ini menciptakan ketidakpastian hukum yang dapat merugikan pihak yang bergantung pada keabsahan covernote.

Selain itu, berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, notaris berperan penting dalam penerbitan dokumen hukum, termasuk covernote. Sebagai pejabat publik yang berwenang, notaris diwajibkan untuk memastikan bahwa informasi dalam covernote mencerminkan keadaan hukum yang sesungguhnya dan tidak menyesatkan pihak lain. Ketidakpatuhan notaris dalam memenuhi kewajiban ini dapat menyebabkan penyalahgunaan covernote, yang pada akhirnya merugikan pihak terkait dalam transaksi perbankan atau transaksi hukum lainnya (Feonda 2024). Oleh karena itu, penting untuk mengatur lebih rinci kewajiban notaris dalam penerbitan covernote serta keabsahannya dalam sistem hukum Indonesia. Dalam hal ini, sistem hukum Indonesia harus memberikan pedoman yang jelas terkait kedudukan hukum covernote, baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), agar tidak terjadi ambiguitas yang merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi yang menggunakan dokumen ini.

Berdasarkan analisis yuridis normatif dan filosofis, jelas bahwa ketidakjelasan mengenai kedudukan hukum covernote dalam sistem hukum Indonesia perlu segera diatasi. Dalam hal ini, covernote harus dipandang sebagai dokumen administratif sementara yang tidak dapat dijadikan dasar untuk pertanggungjawaban pidana bagi notaris, kecuali jika terdapat bukti yang cukup terkait perbuatan melawan hukum yang lebih berat. Hal ini penting untuk memastikan kepastian hukum baik bagi notaris sebagai pejabat publik maupun masyarakat yang bergantung pada integritas profesi ini. Oleh karena itu, pembaruan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan notaris, khususnya terkait dengan pengaturan status hukum covernote, sangat diperlukan. Sebagai referensi, Pasal 16 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris perlu diperjelas mengenai perbedaan fungsi dan status hukum antara covernote dan akta notaris yang memiliki kekuatan hukum lebih besar.
Dari perspektif ius publicum dan ius privatum, perlindungan terhadap independensi dan integritas notaris merupakan bagian dari perlindungan hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menjamin hak setiap orang untuk diperlakukan sama di hadapan hukum. Dalam hal ini, prinsip presumption of innocence (praduga tak bersalah) yang diakui dalam Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana harus diterapkan dengan ketat. Notaris tidak boleh dipertanggungjawabkan atas perbuatan administratif yang sifatnya sementara tanpa adanya bukti substansial terkait kesalahan atau niat jahat (mens rea) yang dapat mengarah pada perbuatan melawan hukum yang lebih serius. Oleh karena itu, dalam sistem hukum Indonesia, pembaruan terkait status hukum covernote harus mengedepankan prinsip keadilan substantif dan memberikan perlindungan yang lebih jelas terhadap profesi notaris.

Implikasi dari perubahan ini akan sangat signifikan terhadap praktik hukum di Indonesia. Dengan penegasan bahwa covernote bukan merupakan dokumen yang dapat dijadikan alat bukti dalam perkara pidana, ketidakpastian dalam praktik hukum dapat dikurangi. Hal ini akan menguntungkan baik bagi profesi notaris maupun para pihak yang terlibat dalam transaksi yang menggunakan dokumen tersebut. Sistem hukum Indonesia yang lebih transparan dan adil akan tercipta jika peraturan mengenai covernote lebih jelas, mengurangi ambiguitas yang dapat merugikan profesi notaris. Sebagai langkah pembaruan yang inovatif, diperlukan regulasi yang tegas dan adil mengenai kedudukan hukum covernote, yang akan mendukung terciptanya sistem hukum yang tidak hanya mengutamakan penerapan hukum yang ketat, tetapi juga menghormati hak asasi manusia serta prinsip keadilan yang lebih manusiawi.

Kemudian, melalui pendekatan filosofis terhadap reformasi hukum covernote harus didasarkan pada prinsip justice, yang mengutamakan perlindungan terhadap hak-hak individu dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam transaksi. Tujuan dari reformasi ini adalah untuk menciptakan sistem hukum yang lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga setiap transaksi yang melibatkan covernote dilakukan berdasarkan dasar hukum yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Ratio legis di balik perubahan hukum covernote adalah untuk memastikan bahwa setiap penggunaan dokumen administratif sementara ini dilaksanakan dalam kerangka hukum yang jelas, yang pada akhirnya mengurangi potensi penyalahgunaan dan memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi masyarakat (Lubis, 2024).

 

Adapun implikasi sosial dan ekonomi dari reformasi hukum covernote juga sangat penting untuk diperhatikan. Akibat hukum dari penggunaan covernote yang tidak diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan sering kali menyebabkan kerugian finansial bagi pihak yang bergantung pada keabsahan dokumen ini, baik itu bank, debitur, maupun pihak ketiga lainnya. Selanjutnya, dalam dunia perbankan terkait dengan ketidakpastian hukum mengenai covernote dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap sistem keuangan dan menciptakan ketidakstabilan dalam transaksi kredit (Tabitha dan Sari 2025). Demikian pula dalam praktik kenotariatan, ketidakjelasan status hukum covernote dapat merugikan masyarakat yang melakukan transaksi tanah atau perjanjian lainnya yang melibatkan dokumen tersebut. Oleh karena itu, reformasi hukum yang lebih jelas dan terperinci mengenai covernote sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum yang lebih baik dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum Indonesia.

Dengan demikian, fenomena hukum terkait dengan adanya ambiguitas mengenai kedudukan covernote dalam prefektif reformasi hukum dapat memperhatikan beberapa hal penting. Pertama, perlu ada ketentuan yang lebih jelas mengenai jangka waktu penggunaan covernote dan batasan fungsinya, yang dapat mengurangi potensi penyalahgunaan dokumen tersebut. Kedua, kewajiban notaris dalam memastikan keakuratan informasi yang tercantum dalam covernote harus diperjelas, dengan sanksi hukum yang tegas apabila terjadi pelanggaran. Ketiga, perlu ada pemisahan yang tegas antara covernote dan dokumen resmi seperti sertifikat tanah atau akta otentik, untuk menghindari kebingungannya masyarakat mengenai status hukum dari dokumen tersebut. Dengan adanya pengaturan yang lebih rinci dan terperinci, sistem hukum Indonesia akan lebih mampu memberikan kepastian hukum, melindungi hak-hak individu, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan dan kenotariatan (Lubis, 2025).

Selain itu, reformasi hukum yang mengatur penggunaan covernote dalam praktik hukum Indonesia sangatlah penting untuk menciptakan kepastian hukum, transparansi, dan keadilan. Tanpa pengaturan yang jelas, covernote berpotensi menjadi celah hukum yang merugikan berbagai pihak dalam transaksi. Reformasi ini akan menciptakan sistem hukum yang lebih responsif terhadap perkembangan ekonomi dan kebutuhan masyarakat, serta mendukung terciptanya praktik hukum yang lebih efisien dan adil. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang lebih terperinci mengenai kedudukan hukum covernote, kewajiban notaris dalam penerbitannya, serta pemisahan yang jelas antara covernote dan dokumen resmi untuk memastikan keabsahannya. Langkah-langkah ini diharapkan dapat memperkuat sistem hukum Indonesia yang lebih transparan, akuntabel, dan berkeadilan sosial.

Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris
Pelaksanaan tugas jabatan notaris di Indonesia memiliki posisi yang sangat penting dalam sistem hukum karena notaris berfungsi sebagai pejabat publik yang berwenang untuk membuat akta otentik, yang memiliki kekuatan pembuktian yang sah dalam transaksi hukum. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dengan tegas mengatur kewenangan, tanggung jawab, dan kewajiban notaris dalam menjalankan profesinya. Notaris, sebagai pejabat yang diamanatkan untuk memberikan kepastian hukum melalui akta otentik, memiliki peran vital dalam menjaga integritas sistem hukum Indonesia (Lubis dkk. 2023). Namun demikian, meskipun UUJN dirancang untuk memastikan independensi dan kredibilitas profesi ini, praktik di lapangan menunjukkan bahwa tidak jarang notaris terlibat dalam tindak pidana, seperti pemalsuan dokumen atau penyalahgunaan wewenang, yang menimbulkan pertanyaan penting mengenai dampak keterlibatan notaris dalam tindak pidana terhadap sistem hukum Indonesia.

 

Selain itu, dalam analisis perspektif yuridis normatif, pengaturan jabatan notaris dalam UUJN menyatakan dengan jelas bahwa notaris adalah pejabat umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UUJN. Hal ini menjadikan akta yang dibuat oleh notaris sebagai bagian tak terpisahkan dari transaksi hukum di Indonesia (Talango, Moonti, dan Ahmad 2025). Di samping itu, Pasal 16 UUJN mengatur kewajiban notaris untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan akta yang dibuatnya, mencerminkan pentingnya independensi dalam menjalankan profesi ini tanpa terpengaruh oleh pihak manapun. Oleh karena itu, keterlibatan notaris dalam tindak pidana, seperti pemalsuan atau penyalahgunaan akta, tidak hanya merusak integritas pribadi notaris tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum yang semestinya dijaga oleh profesi ini.

Lebih lanjut, analisis filosofi hukum yang mendasari jabatan notaris berlandaskan pada prinsip keadilan dan kepastian hukum. Ratio legis dari pengaturan jabatan notaris bertujuan untuk menjamin bahwa setiap transaksi yang dilakukan melalui akta notaris dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki kepastian hukum (Thyawarta dan Markoni 2024). Dengan demikian, notaris berfungsi sebagai penjaga kepastian hukum, yang menghindarkan ketidakpastian hukum yang dapat merugikan pihak-pihak yang terlibat. Dalam hal ini, prinsip procedural justice atau keadilan prosedural sangat relevan, karena notaris harus melaksanakan tugasnya secara adil, transparan, dan bebas dari pengaruh eksternal. Ketika notaris melanggar prinsip ini, tidak hanya akan merugikan individu yang terlibat, tetapi juga dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum secara keseluruhan.
Lebih lanjut, kode etik profesi notaris berperan dalam menjaga integritas profesi ini, sebagaimana tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Kode Etik Notaris, yang mewajibkan notaris untuk bertindak dengan profesionalisme, kehati-hatian, dan menghindari konflik kepentingan. Ketika notaris terlibat dalam manipulasi akta atau kebocoran informasi, maka tindakan tersebut tidak hanya merusak kredibilitas profesi, tetapi juga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang diwakilinya (Siregar dan Sinaga 2024). Secara filosofis, fungsi notaris tidak hanya terbatas pada aspek administratif, tetapi juga mencakup perannya sebagai penjaga kebenaran dan keadilan dalam masyarakat. Oleh karena itu, setiap pelanggaran terhadap etika profesi notaris harus dilihat sebagai pelanggaran terhadap prinsip keadilan sosial yang lebih luas, yang dapat mengarah pada rusaknya kepercayaan terhadap seluruh sistem hukum yang ada.

Dampak dari keterlibatan notaris dalam tindak pidana dapat merusak integritas sistem hukum Indonesia secara keseluruhan. Secara sosial, keterlibatan notaris dalam tindak pidana menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap lembaga kenotariatan, yang pada gilirannya mengurangi kepastian hukum dalam setiap transaksi yang melibatkan notaris (Abdillah 2024). Secara ekonomi, hal ini dapat merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian atau transaksi yang seharusnya dijamin keabsahannya oleh notaris. Misalnya, dalam kasus pemalsuan dokumen atau manipulasi akta, pihak yang dirugikan dapat mengalami kerugian finansial yang signifikan. Secara hukum, pelanggaran yang dilakukan oleh notaris merusak struktur hukum yang lebih luas, karena akta notaris memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam sistem pembuktian hukum Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

Pelaksanaan tugas jabatan notaris di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), memegang peranan yang sangat penting dalam sistem hukum negara. Sebagai pejabat publik yang berwenang untuk membuat akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sah, notaris bertanggung jawab untuk memastikan keabsahan setiap transaksi hukum. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa keterlibatan notaris dalam tindak pidana, seperti pemalsuan dokumen atau penyalahgunaan wewenang, dapat merusak integritas jabatan ini dan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum Indonesia. Dalam hal ini, penguatan regulasi dan pengawasan terhadap profesi notaris sangat diperlukan, untuk memastikan bahwa tugas dan kewenangan notaris dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, sesuai dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum.

Dari perspektif ius publicum dan ius privatum, serta berdasarkan filosofi hukum yang mendasari pengaturan jabatan notaris, sangat penting untuk menegakkan prinsip keadilan prosedural (procedural justice) dalam setiap praktik kenotariatan. Tindakan notaris yang melanggar etika profesi, seperti manipulasi akta atau kebocoran informasi, tidak hanya merugikan pihak yang terlibat dalam transaksi, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum secara keseluruhan. Dalam hal ini, prinsip presumption of innocence atau praduga tak bersalah harus diterapkan dengan ketat, dengan memastikan bahwa notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindakan administratif yang tidak memiliki kekuatan hukum yang lebih besar, kecuali ada bukti yang menunjukkan keterlibatannya dalam tindak pidana yang lebih serius. Oleh karena itu, penguatan kode etik dan peningkatan pengawasan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI) sangat diperlukan untuk menjaga independensi dan integritas jabatan notaris.

Rekomendasi yang dapat diajukan adalah perlunya pembaruan regulasi yang lebih jelas mengenai kedudukan hukum covernote dan pembatasan peran notaris dalam transaksi perbankan yang berpotensi menempatkan mereka pada posisi yang rentan terhadap penyalahgunaan wewenang. Penguatan pengawasan oleh lembaga terkait, termasuk INI, dan penegakan kebijakan yang lebih ketat terhadap praktik kenotariatan akan memastikan bahwa notaris tetap menjalankan perannya sebagai penjaga kepastian hukum yang adil dan sah. Selain itu, edukasi dan pembinaan mengenai prinsip etika profesi notaris menjadi langkah penting untuk meningkatkan kualitas dan kredibilitas profesi ini dalam sistem hukum Indonesia. Dengan demikian, diharapkan reformasi ini akan mendukung terciptanya sistem hukum yang lebih transparan, adil, dan dapat dipercaya oleh masyarakat.

Revisi Terhadap UUJN Dan Penguatan Lembaga MKN
Perlindungan hukum terhadap notaris di Indonesia memerlukan pembaruan yang komprehensif untuk memastikan prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial dapat terwujud secara optimal. Perlindungan hukum yang memadai akan meningkatkan integritas profesi notaris, memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, dan mencegah kriminalisasi yang tidak berdasar. Oleh karena itu, penguatan regulasi, revisi terhadap UUJN, serta pengawasan yang lebih ketat melalui Majelis Kehormatan Notaris dan lembaga terkait akan memperkuat peran notaris sebagai penjaga kepastian hukum yang adil dan transparan. Upaya reformasi perundang-undangan yang mengatur jabatan notaris ini perlu dilakukan agar profesi ini dapat terus berfungsi dengan baik dalam memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia.

Jabatan notaris memiliki kedudukan yang sangat penting dalam memastikan kepastian hukum melalui pembuatan akta otentik yang menjadi alat pembuktian yang sah dalam berbagai transaksi hukum. Sebagai pejabat publik, notaris diharapkan menjalankan tugasnya dengan penuh integritas, objektivitas, dan independensi (Dwestyola dan Amira 2024), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN). Meskipun demikian, dalam praktiknya, profesi notaris menghadapi sejumlah tantangan, salah satunya adalah potensi penyalahgunaan wewenang yang dapat merusak integritas profesi tersebut serta menurunkan kredibilitas sistem hukum Indonesia secara keseluruhan. Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan upaya pembaruan terhadap UUJN untuk memperkuat perlindungan hukum terhadap notaris, terutama untuk mencegah potensi kriminalisasi yang tidak berdasar.

Selain itu, dari analisis perspektif juridical normative kebutuhan akan adanya revisi terhadap pasal-pasal dalam UUJN harus mempertimbangkan ketidakjelasan yang terdapat pada beberapa ketentuan yang mengatur posisi notaris, khususnya terkait dengan statusnya sebagai pejabat publik yang menjalankan kewenangan negara. Pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, namun pasal ini tidak mengatur secara rinci mengenai kewajiban dan perlindungan hukum yang perlu diberikan kepada notaris dalam menjalankan tugasnya (Hafudz dan Poernomo 2024). Ketidakjelasan ini berpotensi menyebabkan konflik kepentingan, terutama ketika notaris terlibat dalam transaksi dengan pihak ketiga, seperti lembaga perbankan atau badan hukum lainnya, yang dapat merusak independensi mereka. Oleh karena itu, revisi terhadap UUJN seharusnya mencakup pengaturan yang lebih jelas mengenai perlindungan hukum bagi notaris, agar mereka dapat melaksanakan tugas dengan efektif, bebas dari tekanan eksternal, dan tetap menjaga objektivitas serta kredibilitas profesi mereka. Hal ini sangat penting, mengingat bahwa profesi notaris seringkali menjadi tumpuan dalam transaksi hukum yang melibatkan pihak-pihak dengan kepentingan yang beragam.

Secara filosofis, penguatan perlindungan hukum terhadap notaris harus dipandang melalui lensa theory of procedural justice, yang menekankan pentingnya kepastian dan keadilan dalam setiap proses hukum. Ratio legis dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) adalah untuk memastikan bahwa notaris dapat menjalankan tugasnya tanpa adanya pengaruh eksternal yang dapat merusak integritas dan objektivitas mereka. Asas independensi yang menjadi dasar jabatan notaris harus dilindungi dengan pengaturan yang mengurangi potensi konflik kepentingan. Dalam konteks ini, postulat hukum terkait jabatan notaris, seperti netralitas dan kemandirian, menjadi elemen krusial yang harus dijaga dalam setiap perubahan terhadap regulasi ini. Mengingat posisi strategis notaris dalam sistem hukum Indonesia, penguatan profesi ini tidak hanya akan melindungi notaris itu sendiri, tetapi juga akan memperkuat kredibilitas sistem hukum secara keseluruhan, baik dalam ranah bisnis, perbankan, maupun transaksi hukum lainnya.

Kajian lebih mendalam mengenai hubungan antar pasal dalam UUJN dan praktik hukum yang ada menunjukkan bahwa beberapa ketentuan dalam UUJN belum sepenuhnya mengakomodasi dinamika perkembangan zaman. Celah dalam pengaturan ini berpotensi menyebabkan penyalahgunaan wewenang oleh oknum notaris, terutama dalam transaksi finansial yang melibatkan pihak ketiga. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat pengawasan oleh lembaga seperti Majelis Pengawas Notaris (MPN, vide: Pasal 67-73 UUJN) dan Majelis Kehormatan Notaris (MKN, vide: Pasal 66 UUJN), serta meningkatkan peran organisasi profesi seperti Ikatan Notaris Indonesia (INI) dalam menjaga kualitas jabatan notaris melalui penerapan standar Kode Etik Notaris yang ditegakkan oleh Dewan Kehormatan Notaris (DKN, vide: Pasal 83 UUJN). Variabel hukum yang sangat penting dalam konteks ini adalah perlindungan terhadap independensi notaris dan pencegahan konflik kepentingan yang dapat merusak kualitas akta yang dihasilkan. Dalam perspektif ini, kebaruan yang dapat ditemukan adalah penegasan bahwa profesi notaris harus bebas dari pengaruh eksternal yang bersifat ekonomi, politik, maupun sosial. Revisi terhadap UUJN harus lebih eksplisit dalam mengatur hal ini agar notaris dapat bekerja tanpa rasa khawatir akan potensi penyalahgunaan wewenang.

Sebagai langkah strategis ke depan, perlu dilakukan pembaruan terhadap regulasi yang mengatur jabatan notaris, dengan fokus pada penguatan independensi dan pencegahan penyalahgunaan wewenang. Hal ini termasuk memperjelas peran dan tanggung jawab notaris dalam transaksi yang melibatkan pihak ketiga, serta menegakkan standar etika profesi yang lebih ketat. Selain itu, pengawasan yang lebih intensif terhadap notaris oleh lembaga yang berwenang serta peningkatan kapasitas organisasi profesi seperti INI dan MPN akan menjadi kunci dalam menjaga integritas dan kredibilitas profesi notaris. Revisi terhadap UUJN yang lebih tegas dalam mengatur kebebasan notaris dari pengaruh eksternal akan memperkuat posisi mereka dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga kepastian hukum yang adil dan sah, serta memastikan bahwa profesi ini tetap berkontribusi positif terhadap sistem hukum Indonesia secara keseluruhan.

Selain itu, dari perspektif sosial dan ekonomi pentingnya penguatan perlindungan hukum terhadap profesi notaris memiliki dampak yang signifikan terhadap kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum Indonesia secara keseluruhan. Ketika notaris dapat menjalankan tugasnya dengan independen dan tanpa tekanan eksternal, masyarakat akan lebih yakin bahwa transaksi hukum yang melibatkan notaris, seperti pembuatan akta otentik, akan menjadi alat pembuktian yang sah dan objektif (Lubis, 2021). Parameter hukum yang harus dipertimbangkan dalam hal ini adalah kualitas akta yang dihasilkan dan tingkat independensi notaris dalam menjalankan tugasnya. Penguatan pengawasan dan revisi UUJN yang lebih responsif terhadap kebutuhan hukum yang berkembang, baik dalam dunia bisnis maupun perbankan, akan berkontribusi pada peningkatan kepastian hukum dan mengurangi potensi kriminalisasi yang tidak berdasar terhadap profesi notaris. Dalam kerangka sistem hukum Indonesia, penguatan perlindungan hukum terhadap notaris adalah langkah strategis yang akan meningkatkan kualitas sistem hukum secara keseluruhan.

Revisi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) dan penguatan lembaga pengawasan seperti Majelis Pengawas Notaris (MPN), Majelis Kehormatan Notaris (MKN), serta Dewan Kehormatan Notaris (DKN) harus menjadi prioritas dalam pembangunan hukum nasional. Perlindungan hukum terhadap profesi notaris perlu diperjelas untuk memastikan bahwa notaris dapat menjalankan tugasnya dengan penuh integritas, tanpa terjebak dalam konflik kepentingan atau penyalahgunaan wewenang. Hal ini tidak hanya akan memperkuat posisi notaris dalam sistem hukum Indonesia, tetapi juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum secara keseluruhan. Oleh karena itu, setiap perubahan terhadap regulasi ini harus berfungsi untuk menciptakan sistem hukum yang lebih transparan, adil, dan dapat diandalkan.

Rekomendasi untuk masa depan adalah perlunya revisi yang lebih komprehensif terhadap pasal-pasal dalam UUJN untuk memastikan bahwa notaris tetap dapat berfungsi sebagai pejabat publik yang independen dan terjaga kredibilitasnya. Penguatan peran organisasi perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia (INI, vide: Pasal 82 UUJN) sebagai satu-satunya wadah berhimpun dan berkumpul bagi seluruh anggota notaris di Indonesia akan menjadi kunci dalam menjaga kualitas profesi ini. Selain itu, implementasi regulasi yang lebih jelas dan pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik kenotariatan akan sangat mendukung tujuan tersebut. Dengan demikian, Indonesia dapat menciptakan sistem hukum yang lebih adil, transparan, dan dapat diandalkan oleh masyarakat dalam menjalankan transaksi hukum yang sah dan otentik.

Revisi terhadap UUJN dan penguatan lembaga pembinaan serta pengawasan notaris melalui MPN, MKN, dan DKN merupakan langkah penting untuk menjaga integritas dan independensi jabatan notaris di Indonesia. Hal ini akan memperkuat sistem hukum Indonesia, memberikan kepastian hukum dalam transaksi, dan memastikan bahwa profesi notaris tetap dapat berfungsi dengan penuh kredibilitas sebagai penjaga keabsahan hukum yang sah dan adil.

Rekonstruksi Normatif Pasal 1, Pasal 15, dan Pasal 16 Ayat (1) Huruf a UUJN
Jabatan notaris, sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik, memegang peran vital dalam sistem hukum Indonesia. Akta autentik yang dihasilkan oleh notaris memiliki kekuatan pembuktian yang tinggi, memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi. Namun, meskipun Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) mendefinisikan notaris sebagai “pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik”, definisi ini terkesan hanya menyoroti kewenangan formal tanpa mencakup aspek substantif tugas seorang notaris dalam melaksanakan tugasnya secara lebih mendalam. Sebagai contoh, fungsi verlijden notaris yang meliputi kegiatan merumuskan, membacakan, dan meresmikan akta, seharusnya menjadi inti dari tugas kenotariatan. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara definisi formal yang terdapat dalam Pasal 1 UUJN dan realitas tugas serta tanggung jawab seorang notaris dalam sistem hukum Indonesia. Rekonstruksi normatif terhadap Pasal 1 UUJN menjadi sangat penting, dengan tujuan untuk menegaskan bahwa peran notaris bukan sekadar sebagai penjaga formalitas, tetapi juga sebagai pihak yang memastikan bahwa proses pembuatan akta mengikuti ketentuan hukum yang berlaku, yang akan memperkuat kepastian hukum serta mencegah potensi penyalahgunaan kewenangan dalam praktik hukum (Lubis, 2021).

Rekonstruksi lebih lanjut terhadap Pasal 15 UUJN juga sangat diperlukan. Pasal ini mengatur kewenangan notaris dalam pembuatan akta autentik dan kewajibannya untuk bertindak dengan integritas, independensi, dan objektivitas. Penegakan prinsip officium nobile yang mendasari profesi notaris menggarisbawahi bahwa notaris bukan sekadar pelaksana administratif, tetapi juga penjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum (Nurarifah dan Hakim 2024). Penegasan kewenangan notaris yang lebih jelas, serta peranannya dalam menjaga netralitas dan menghindari pengaruh eksternal, seperti ekonomi dan politik, akan memperkuat perlindungan hukum bagi profesi ini. Integritas dan independensi yang dimiliki notaris berfungsi untuk memastikan bahwa akta yang disusun tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga dapat digunakan sebagai alat bukti yang valid di pengadilan, yang memberikan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat.

Selanjutnya, rekonstruksi terhadap Pasal 16 Ayat (1) Huruf a UUJN, yang mengatur tugas dan kewenangan notaris dalam pelaksanaan jabatannya, juga memiliki relevansi besar dalam memastikan bahwa notaris tetap berfungsi sebagai pejabat publik yang independen dan objektif (Salsabila, Ruata, dan Akbar 2024). Dalam norma ini ditegaskan bahwa notaris bukanlah pihak yang terlibat dalam substansi transaksi atau sengketa antar pihak yang tercatat dalam akta, melainkan berperan sebagai penjaga formalitas hukum yang memastikan bahwa prosedur pembuatan akta telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum. Hal ini mengarah pada pemisahan peran antara notaris dan pihak-pihak yang terlibat dalam substansi perjanjian, mengurangi potensi konflik kepentingan, serta memperjelas peran notaris dalam sistem hukum Indonesia. Dalam perspektif ratio legis, ketentuan ini bertujuan untuk menegaskan bahwa fungsi notaris adalah untuk memberikan jaminan terhadap keabsahan formal dari akta, tanpa terlibat dalam konflik yang mungkin timbul terkait substansi perjanjian.
Selain itu, dalam pendekatan yuridis normatif, rekonstruksi terhadap pasal-pasal tersebut dapat dilihat sebagai upaya untuk memperjelas dan memperkuat posisi notaris dalam sistem hukum Indonesia. Notaris diharapkan dapat bertindak sebagai penjaga kepastian hukum, dengan menjalankan kewenangannya secara independen, objektif, dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini sejalan dengan prinsip officium fideliter exercebo, yang mengharuskan notaris untuk bertindak setia kepada hukum dan menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, perubahan dalam undang-undang ini bertujuan untuk menegaskan kedudukan notaris sebagai profesi mulia yang tidak hanya melaksanakan tugas administratif, tetapi juga berperan penting dalam memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat (Lubis dkk. 2024).
Analisis dari perspektif filosofis, rekonstruksi terhadap pasal-pasal ini juga mencerminkan perlunya menjaga integritas dan independensi profesi notaris dalam menghadapi tantangan hukum yang semakin kompleks. Dalam hal ini, fungsi notaris yang menekankan pada objektivitas dan netralitas berlandaskan pada prinsip public trust, yaitu kepercayaan publik terhadap sistem hukum yang diwakili oleh notaris sebagai pejabat umum yang sah. Dengan menguatkan perlindungan hukum terhadap profesi ini, diharapkan dapat tercipta sistem hukum Indonesia yang lebih adil dan transparan. Penegasan terhadap kedudukan notaris sebagai penjaga formalitas hukum yang tidak terlibat dalam substansi transaksi akan memperkuat kepastian hukum, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum (Lubis, Lubis, dan Lubis 2025a).

Selain itu, dalam implementasi hukum, perubahan terhadap Pasal 1, Pasal 15, dan Pasal 16 Ayat (1) Huruf a UUJN berpotensi memberikan dampak yang signifikan terhadap praktik notaris. Penegasan bahwa notaris berfungsi hanya untuk memastikan formalitas akta, tanpa terlibat dalam substansi perjanjian, akan mengurangi potensi sengketa hukum yang melibatkan notaris sebagai pihak yang menentukan isi transaksi (Nurwianti, Lontoh, dan Widyanti 2025). Penerapan perubahan ini akan meningkatkan kualitas akta yang dihasilkan dan memperkuat sistem pembuktian hukum di Indonesia. Secara sosial dan ekonomi, hal ini akan memperbaiki kepercayaan masyarakat terhadap transaksi yang melibatkan notaris, karena keabsahan dan kepastian hukum akta yang dibuat akan lebih terjamin. Selain itu, perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap notaris juga akan mengurangi potensi kriminalisasi yang tidak berdasar terhadap profesi ini, memberikan dasar hukum yang lebih jelas bagi notaris dalam menjalankan tugasnya.

Dalam perkembangan sistem hukum Indonesia, jabatan notaris memegang peranan penting sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik. Namun, meskipun Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) hanya mengatur kewenangan formal notaris, peran substansialnya dalam memastikan proses pembuatan akta mengikuti ketentuan hukum yang berlaku belum tercakup secara mendalam. Oleh karena itu, rekonstruksi normatif terhadap Pasal 1 UUJN menjadi penting untuk menegaskan bahwa tugas notaris tidak hanya sebatas penjaga formalitas, tetapi juga sebagai pihak yang berperan dalam mencegah penyalahgunaan kewenangan serta memberikan kepastian hukum. Selain itu, penegasan kembali prinsip officium nobile dalam Pasal 15 UUJN perlu dilakukan, karena notaris harus bertindak dengan integritas dan objektivitas, menjaga netralitas serta menghindari pengaruh eksternal dalam menjalankan tugasnya. Hal ini penting untuk memastikan akta yang disusun sah secara hukum dan dapat digunakan sebagai alat bukti yang valid di pengadilan (Nurarifah dan Hakim, 2024).

Rekonstruksi terhadap Pasal 16 Ayat (1) Huruf a UUJN menjadi sangat mendesak dalam perspektif yuridis dan filosofis, dengan tujuan untuk menegaskan kembali bahwa notaris bukanlah pihak yang terlibat dalam substansi transaksi atau sengketa antar pihak yang tercatat dalam akta. Peran notaris, sebagaimana ditegaskan dalam prinsip officium fideliter exercebo, seharusnya lebih terfokus pada pemastian formalitas hukum, dengan memastikan bahwa akta yang dibuat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Fokus ini akan mengurangi potensi konflik kepentingan yang dapat timbul dalam transaksi hukum, serta memperjelas bahwa tanggung jawab notaris terbatas pada aspek administratif dan prosedural. Sebagai penjaga formalitas hukum, notaris memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa akta yang dibuat sah secara hukum, tanpa terlibat dalam pengaturan substansi perjanjian yang dapat berpotensi menimbulkan sengketa. Melalui rekonstruksi ini, diharapkan tercipta sistem hukum Indonesia yang lebih transparan, adil, dan dapat dipercaya, serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap legalitas transaksi yang melibatkan notaris (Lubis, 2021).

Polemik terkait adanya perbedaan teknis yuridis yang signifikan antara frasa “dibuat di hadapan notaris” dan “dibuat oleh notaris,” yang berdampak langsung pada tanggung jawab hukum notaris terkait substansi akta yang dihasilkan. Frasa “dibuat di hadapan notaris” menunjukkan peran notaris yang terbatas pada aspek formalitas dan prosedural, di mana notaris hanya berfungsi sebagai saksi yang memastikan akta dibuat sesuai dengan ketentuan hukum. Sebaliknya, ketika akta “dibuat oleh notaris,” maka notaris terlibat lebih jauh dalam proses pembuatan akta, baik dalam merumuskan maupun memverifikasi isi substansi perjanjian yang ada. Dalam hal ini, notaris tidak hanya berperan sebagai penjaga formalitas, tetapi juga sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa substansi akta tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga dapat mencegah potensi penyalahgunaan kewenangan. Oleh karena itu, perbedaan dalam frasa ini menuntut penegasan tanggung jawab notaris dalam memastikan keabsahan substansi dan formalisme akta yang dibuat, bukan hanya secara administratif, tetapi juga substantif.

Dalam perspektif hukum, hal ini mencerminkan perlunya rekonstruksi terhadap pemahaman dan penerapan fungsi verlijden (pembuatan akta, merumuskan, membacakan dan meresmikan) oleh notaris. Jika notaris dipahami hanya sebatas saksi yang menjaga formalitas, maka peranannya akan terbatas pada aspek administratif yang sangat prosedural, dengan sedikit keterlibatan dalam substansi perjanjian. Namun, jika notaris berperan lebih aktif dalam memverifikasi dan memastikan substansi akta, maka akan tercipta sistem hukum yang lebih kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan. Konsep ini sejalan dengan prinsip officium nobile yang menegaskan bahwa profesi notaris bukan hanya administratif, melainkan profesi yang mulia dengan tanggung jawab besar untuk menjaga keadilan, integritas, dan objektivitas dalam pelaksanaan tugasnya. Dengan demikian, rekonstruksi terhadap pemahaman peran notaris dalam fungsi verlijden ini sangat krusial untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia.

Pentingnya klarifikasi lebih lanjut dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), khususnya pada pasal-pasal yang mengatur kewenangan dan tanggung jawab substansi akta yang dibuat oleh notaris. Penegasan terhadap peran notaris dalam substansi transaksi akan mengurangi ambiguitas yang dapat berujung pada sengketa hukum terkait tanggung jawab notaris. Selain itu, perlu ada revisi atau pembaruan peraturan yang menekankan pentingnya integritas dan objektivitas notaris dalam menjalankan fungsi verlijden, guna menciptakan sistem hukum yang lebih transparan, adil, dan dapat dipercaya. Penguatan lembaga pengawasan profesi notaris, seperti Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan Majelis Pengawas Notaris (MPN), juga perlu diperhatikan, untuk memastikan bahwa notaris menjalankan tugasnya sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku, serta menghindari penyalahgunaan kewenangan. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan tercipta sistem hukum yang lebih adil dan memberikan kepastian hukum yang lebih besar bagi masyarakat yang bertransaksi melalui notaris.
Dalam polemik mengenai perbedaan antara frasa “dibuat di hadapan notaris” dan “dibuat oleh notaris,” terdapat beberapa variabel hukum dan parameter hukum yang relevan, yang secara langsung berdampak pada tanggung jawab hukum notaris terkait substansi akta yang dihasilkan. Berikut adalah subtansi makna dari variabel-variabel hukum dan parameter hukum yang terkandung dalam permasalahan ini:

Variabel Hukum:
Peran Notaris: Variabel ini menggambarkan sejauh mana peran dan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta. Frasa “dibuat di hadapan notaris” menunjukkan bahwa notaris berperan terbatas sebagai saksi yang hanya memeriksa dan memastikan prosedur serta formalitas pembuatan akta. Sebaliknya, “dibuat oleh notaris” menandakan keterlibatan aktif notaris dalam merumuskan dan memverifikasi substansi perjanjian dalam akta tersebut.
Kewenangan Notaris: Variabel ini menyangkut batasan kewenangan yang diberikan kepada notaris dalam pembuatan akta. Apakah kewenangan tersebut hanya mencakup aspek formalitas dan prosedural, atau juga substansi dan materi yang ada dalam akta yang dibuatnya.
Tangung Jawab Hukum: Variabel ini berfokus pada aspek tanggung jawab notaris terhadap akta yang dihasilkannya. Perbedaan peran dan kewenangan ini akan memengaruhi sejauh mana notaris bertanggung jawab atas keabsahan substansi perjanjian yang tercantum dalam akta tersebut, serta dampaknya terhadap potensi penyalahgunaan kewenangan.
Keabsahan Akta: Variabel ini terkait dengan pertanyaan apakah akta yang dibuat di hadapan notaris dapat dianggap sah dan sesuai dengan hukum yang berlaku, tergantung pada apakah notaris hanya memastikan formalitas atau juga berperan dalam memverifikasi substansi.
Profesionalisme dan Etika Notaris: Terkait dengan tanggung jawab profesi notaris yang tidak hanya administratif, tetapi juga moral dan etik dalam memastikan keadilan dan keabsahan substansi akta, sejalan dengan prinsip officium nobile (profesi mulia).
Peran Verifikasi Substansi: Variabel ini menyentuh pada pentingnya keterlibatan notaris dalam memastikan bahwa substansi perjanjian yang tercantum dalam akta sesuai dengan hukum yang berlaku, serta mencegah adanya potensi penyalahgunaan kewenangan.

Parameter Hukum:
Formalitas Pembuatan Akta: Parameter ini mengacu pada prosedur dan proses formal dalam pembuatan akta di hadapan notaris. Jika peran notaris hanya sebatas formalitas, maka parameter ini lebih mengarah pada aspek administratif dari pembuatan akta, seperti kehadiran notaris sebagai saksi.
Substansi Akta: Parameter ini merujuk pada materi atau isi perjanjian dalam akta yang dibuat, dan sejauh mana notaris berperan dalam memverifikasi substansi tersebut. Jika notaris terlibat dalam proses ini, maka parameter ini mengarah pada tanggung jawab substantif dari notaris.
Kewenangan dan Batasan Hukum: Parameter ini berkaitan dengan apakah kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada notaris terbatas pada pemeriksaan formalitas atau mencakup pemeriksaan dan verifikasi substansi perjanjian yang ada dalam akta.
Sengketa Hukum: Parameter ini mempertimbangkan potensi sengketa hukum yang mungkin timbul akibat adanya perbedaan pemahaman mengenai peran notaris dalam pembuatan akta, serta dampaknya terhadap tanggung jawab hukum notaris.
Klarifikasi dalam UUJN: Parameter ini merujuk pada perlunya klarifikasi dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) mengenai peran notaris dalam substansi transaksi yang terdapat dalam akta. Pembaruan atau revisi dalam regulasi ini dapat mengurangi ambiguitas dan meminimalisir sengketa hukum yang berkaitan dengan tanggung jawab substansi notaris.
Integritas dan Objektivitas Notaris: Parameter ini menyangkut pentingnya menegaskan integritas dan objektivitas profesi notaris dalam pelaksanaan tugasnya, agar dapat memastikan pembuatan akta yang sah, adil, dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Aspek Aksiologi dan Kontribusi Intelektual:
Aksiologi (Nilai-nilai dalam Hukum): Polemik ini mencerminkan pentingnya penegasan nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan integritas dalam profesi notaris. Fungsi notaris tidak hanya terbatas pada aspek administratif atau formalisme, tetapi juga melibatkan aspek moral dan etika dalam memastikan keabsahan dan keadilan substansi akta.
Kritik terhadap Praktik Hukum: Pemahaman yang sempit terhadap peran notaris dapat mengarah pada ketidakjelasan dalam praktik hukum. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk rekonstruksi dan klarifikasi mengenai peran notaris dalam pembuatan akta, baik dari aspek formalitas maupun substansi, guna menciptakan sistem hukum yang lebih transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Temuan:
Rekonstruksi Pemahaman Fungsi Notaris: Dengan memperjelas peran notaris dalam substansi dan formalisme akta, serta mengedepankan prinsip officium nobile, temuan kebaharuan diharapkan dapat menciptakan pemahaman yang lebih holistik dan komprehensif mengenai tugas dan tanggung jawab notaris.
Penegasan dalam UUJN: Pembaruan atau klarifikasi terhadap peran dan tanggung jawab notaris dalam substansi transaksi akan memberikan kepastian hukum, mengurangi ambiguities, dan meminimalkan potensi sengketa hukum di masa depan.

Simpulan:
Polemik terkait perbedaan antara frasa “dibuat di hadapan notaris” dan “dibuat oleh notaris” menyoroti pentingnya klarifikasi mengenai peran, kewenangan, dan tanggung jawab hukum notaris. Untuk menciptakan sistem hukum yang lebih transparan, adil, dan dapat dipercaya, perlu adanya rekonstruksi pemahaman terhadap fungsi notaris dalam pembuatan akta. Hal ini akan mengurangi ambiguities yang ada dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap profesi notaris di Indonesia.
Berdasarkan analisis yuridis normatif dan filosofis yang mendalam, beberapa rekomendasi dapat diajukan untuk memperbaiki posisi dan tanggung jawab notaris dalam sistem hukum Indonesia. Pertama, revisi terhadap UUJN untuk memperjelas kewenangan dan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta autentik perlu diprioritaskan. Hal ini tidak hanya akan memperjelas peran notaris, tetapi juga memperkuat legitimasi akta yang dibuat. Kedua, penguatan lembaga pengawasan profesi notaris, seperti Ikatan Notaris Indonesia (INI), Majelis Pengawas Notaris (MPN), dan Dewan Kehormatan Notaris (DKN), sangat penting untuk menjaga integritas dan independensi profesi notaris. Dengan penguatan pengawasan, diharapkan notaris dapat menjalankan tugasnya secara objektif dan transparan, serta menghindari potensi penyalahgunaan kewenangan. Melalui upaya tersebut, diharapkan tercipta sistem hukum yang lebih adil dan dapat dipercaya oleh masyarakat, yang pada gilirannya akan memperkuat kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi yang melibatkan akta autentik.

Rekonstruksi normatif terhadap Pasal 1, Pasal 15, dan Pasal 16 Ayat (1) Huruf a UUJN sangat relevan untuk memperkuat posisi notaris sebagai pejabat publik yang memiliki kewenangan untuk memastikan keabsahan dan kekuatan pembuktian akta autentik. Dengan memperjelas peran dan tanggung jawab notaris, perubahan ini diharapkan dapat meningkatkan integritas profesi notaris serta memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum Indonesia. Langkah-langkah ini tidak hanya akan memperbaiki kedudukan notaris dalam sistem hukum, tetapi juga memberikan kontribusi signifikan terhadap kemajuan profesi hukum di Indonesia. Oleh karena itu, perlunya revisi terhadap UUJN serta penguatan lembaga pengawasan profesi notaris menjadi langkah strategis untuk menciptakan sistem hukum yang lebih transparan, adil, dan dapat dipercaya, yang pada akhirnya akan memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang lebih baik bagi masyarakat yang bertransaksi melalui notaris.
Rekonstruksi pemahaman fungsi notaris verlijden dalam perspektif officium nobile, peran notaris yang lebih aktif dalam substansi perjanjian dapat menciptakan sistem hukum yang lebih kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini menuntut adanya pembaruan dalam undang-undang untuk memperjelas peran substantif notaris. Menjadi sangat pentingnya memperbarui dan menjelaskan lebih lanjut peran serta tanggung jawab notaris dalam substansi perjanjian, yang dapat mengurangi ambiguities dan potensi sengketa hukum. Tinjauan ini menggarisbawahi pentingnya nilai keadilan, kejujuran, dan integritas dalam profesi notaris. Bukan hanya sebagai pengurus formalitas, notaris harus mengemban tanggung jawab moral dan etik dalam menjaga substansi akta. Polemik ini mengajak kita untuk melihat lebih dalam bagaimana notaris, sebagai penjaga formalitas hukum, juga harus menjadi penjaga keadilan substansi dalam setiap transaksi hukum.

Rekonstruksi Pasal 38 Ayat (1) UUJN
Rekonstruksi Pasal 38 Ayat (1) dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) merupakan isu yang krusial dalam sistem hukum Indonesia, khususnya dalam hal penguatan posisi hukum akta autentik sebagai alat bukti yang sempurna. Secara normatif yuridis, perubahan redaksi dari istilah “Akta Notaris” menjadi “Akta Autentik” bertujuan untuk mempertegas status hukum akta yang dihasilkan oleh seorang Notaris (Phasya dan Purba 2025). Dalam hal ini, Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) memberikan dasar yang jelas bahwa akta autentik memiliki derajat pembuktian yang lebih tinggi dibandingkan dengan akta bawah tangan. Akta autentik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 UUJN, merupakan suatu produk hukum yang tidak hanya memuat pernyataan hukum para pihak, tetapi juga disahkan oleh pejabat yang berwenang, dalam hal ini Notaris, yang bertindak sebagai penjaga integritas proses pembuatan akta. Perubahan ini, secara eksplisit, ingin mengukuhkan peran Notaris dalam menjamin legalitas dan keabsahan setiap akta yang mereka buat, sebagai bagian dari usaha legislator untuk memperkuat perlindungan terhadap jabatan Notaris dalam sistem hukum Indonesia.
Selain itu, dari analisis perspektif filosofis terkait dengan rekonstruksi Pasal 38 Ayat (1) ini dapat dilihat sebagai manifestasi dari nilai-nilai dasar dalam jabatan Notaris, yang mencakup integritas, independensi, dan keadilan. Notaris, sebagai officium nobile, atau pejabat yang mulia, memiliki tugas untuk menjaga dan memastikan bahwa setiap akta yang mereka buat memenuhi prinsip fidelitas officii, yaitu kesetiaan terhadap kewajiban mereka (Lubis, Lubis, dan Lubis 2025). Dengan demikian, akta autentik yang dibuat oleh Notaris bukan hanya berfungsi sebagai dokumen administratif, tetapi juga sebagai alat pembuktian yang memiliki kedudukan istimewa dalam penyelesaian sengketa hukum. Penegasan terhadap akta autentik sebagai alat bukti yang sah dan kuat diharapkan dapat memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, dan pada gilirannya, mendukung terciptanya kepastian hukum. Oleh karena itu, perubahan redaksi ini tidak hanya berkaitan dengan aspek teknis pembuatan akta, melainkan juga berkaitan dengan filosofi etika dan tanggung jawab yang melekat pada jabatan Notaris.

Perubahan Pasal 38 Ayat (1) UUJN bertujuan untuk memperjelas peran Notaris dalam setiap tahapan pembuatan akta autentik. Dalam kerangka hukum Indonesia, akta autentik yang dibuat oleh Notaris memiliki kedudukan sebagai hukum pembuktian yang prima facie, yaitu akta yang diterima oleh pengadilan sebagai alat bukti yang sah dan tidak mudah digugat (Farhan 2025). Dengan menegaskan bahwa Notaris bertanggung jawab atas kesahihan dan proses pembuatan akta, perubahan ini memberikan kejelasan mengenai tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh Notaris, mulai dari perumusan, pembacaan, hingga peresmian akta. Dari sudut pandang ratio legis, tujuan dari perubahan ini adalah untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan oleh Notaris, yang selama ini mungkin menyebabkan keraguan mengenai keabsahan akta yang mereka buat. Dengan demikian, akta autentik yang dihasilkan oleh Notaris akan memiliki kedudukan hukum yang lebih kuat dan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Ini juga berkaitan dengan penguatan pengawasan oleh Majelis Kehormatan Notaris (MKN), yang bertugas untuk memastikan bahwa Notaris bertindak sesuai dengan standar etik dan hukum yang berlaku. Pengawasan yang lebih ketat oleh MKN akan menjamin bahwa Notaris tetap menjaga integritas profesinya dan menghindari terjadinya konflik kepentingan yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum.

Selain itu, rekonstruksi Pasal 38 Ayat (1) UUJN juga menciptakan implikasi penting dalam dimensi sosial dan ekonomi. Secara sosial, perubahan ini akan mengurangi ketidakpastian hukum yang sering kali menjadi sumber sengketa antara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi hukum. Dengan adanya jaminan bahwa akta yang dihasilkan oleh Notaris memiliki kekuatan hukum yang sah, masyarakat akan merasa lebih aman dalam melakukan transaksi hukum, yang pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan terhadap profesi Notaris. Secara ekonomi, penguatan posisi hukum akta autentik sebagai alat bukti yang sah dapat meningkatkan stabilitas transaksi bisnis. Akta yang sah dan tidak mudah dibantah akan memperkuat posisi hukum para pihak dalam transaksi ekonomi, mengurangi potensi sengketa hukum yang berlarut-larut, dan mempercepat penyelesaian sengketa yang mungkin timbul. Dalam konteks ini, perubahan Pasal 38 Ayat (1) UUJN akan berkontribusi pada penguatan integritas profesi Notaris sebagai bagian integral dari sistem penegakan hukum di Indonesia.
Dari sudut pandang teori hukum, rekonstruksi terhadap Pasal 38 Ayat (1) UUJN sejalan dengan konsep-konsep dasar dalam hukum Islam mengenai akta dan dokumen yang sah. Dalam hukum Islam, ada beberapa prinsip yang mirip dengan pengertian akta autentik sebagai alat bukti yang sah, seperti konsep mithaq (perjanjian yang sah), wathiqah (dokumen yang sah), dan bayyinah (bukti yang jelas). Mithaq mengacu pada suatu perjanjian yang sah dan mengikat antara dua pihak, mirip dengan akta autentik yang mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi. Demikian pula, wathiqah dalam hukum Islam merujuk pada dokumen yang menjadi bukti sah dan memiliki otoritas hukum, yang sejalan dengan kedudukan akta autentik dalam sistem hukum Indonesia. Oleh karena itu, rekonstruksi ini tidak hanya relevan dalam konteks hukum Indonesia, tetapi juga dapat dipahami dalam konteks prinsip-prinsip hukum yang lebih luas, termasuk hukum Islam.

Rekonstruksi Pasal 38 Ayat (1) dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dengan mengubah istilah “Akta Notaris” menjadi “Akta Autentik” merupakan langkah normatif yang signifikan dalam memperkuat kedudukan hukum akta yang dikeluarkan oleh Notaris. Perubahan ini bukan sekadar mengubah redaksi, tetapi juga menegaskan posisi hukum akta tersebut sebagai alat pembuktian yang memiliki status yang lebih tinggi dalam sistem hukum Indonesia. Dalam konteks ini, akta autentik, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), memiliki kekuatan pembuktian yang lebih tinggi daripada akta bawah tangan. Dengan demikian, perubahan ini memperkuat kedudukan akta yang disusun oleh Notaris sebagai alat bukti yang sah dan sempurna, yang tidak hanya memenuhi ketentuan formil tetapi juga memberikan jaminan hukum yang lebih kuat. Dalam hal ini, Notaris bertindak sebagai officium nobile, yakni pejabat yang mulia, yang tidak hanya berfungsi sebagai pencatat tetapi juga sebagai penjaga integritas dan legalitas dalam pembuatan akta. Oleh karena itu, perubahan redaksi ini memiliki tujuan untuk memperjelas kedudukan hukum akta sebagai alat pembuktian yang sah dan mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan oleh Notaris.
Secara filosofis, rekonstruksi Pasal 38 Ayat (1) UUJN ini mencerminkan prinsip dasar dalam profesi Notaris, yaitu integritas, independensi, dan keadilan. Sebagai officium nobile, Notaris memiliki kewajiban untuk menjaga dan memastikan bahwa setiap akta yang dibuatnya memenuhi persyaratan hukum yang berlaku, serta tidak mudah digugat. Hal ini mencerminkan fidelitas officii, yaitu kesetiaan Notaris terhadap kewajiban untuk menjaga keabsahan substansi hukum yang tercantum dalam akta. Dalam kerangka ini, akta autentik yang disusun oleh Notaris bukan hanya berfungsi sebagai dokumen administratif, tetapi juga sebagai alat pembuktian yang memiliki kedudukan istimewa dalam penyelesaian sengketa hukum. Dengan demikian, rekonstruksi ini tidak hanya mengarah pada perubahan teknis dalam penyusunan akta, tetapi juga pada penguatan peran Notaris sebagai penjaga legalitas yang memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan bahwa akta yang dihasilkan memenuhi standar hukum yang tinggi.

Penting untuk dicatat bahwa perubahan ini tidak hanya berdampak pada tataran normatif, tetapi juga memiliki implikasi signifikan dalam konteks sosial dan ekonomi. Secara sosial, penegasan bahwa akta autentik memiliki kekuatan pembuktian yang lebih tinggi akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum Indonesia, khususnya terhadap profesi Notaris. Kepercayaan ini akan berdampak pada stabilitas transaksi hukum dan meminimalkan sengketa yang mungkin muncul akibat ketidakpastian status hukum suatu akta. Secara ekonomi, hal ini juga akan memperkuat posisi hukum para pihak dalam transaksi bisnis, mengurangi risiko sengketa yang berkepanjangan, dan mempercepat penyelesaian masalah hukum. Dalam konteks ini, penguatan akta autentik sebagai alat bukti yang sah diharapkan dapat menciptakan iklim hukum yang lebih kondusif bagi perkembangan perekonomian. Implementasi perubahan ini, oleh karena itu, diharapkan tidak hanya meningkatkan kredibilitas profesi Notaris, tetapi juga memperkuat sistem hukum Indonesia secara keseluruhan, memberikan kontribusi pada terciptanya kepastian hukum yang lebih tinggi di masyarakat.

Dengan mempertimbangkan seluruh aspek ini, dapat disimpulkan bahwa rekonstruksi Pasal 38 Ayat (1) UUJN memberikan kontribusi besar terhadap penguatan kedudukan Notaris dalam sistem hukum Indonesia. Perubahan redaksi yang mempertegas status hukum akta sebagai “Akta Autentik” memperkuat kedudukan akta sebagai alat bukti yang sah dan sempurna dalam sistem hukum, sekaligus mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan oleh Notaris. Penguatan pengawasan dan pembinaan oleh lembaga seperti Majelis Kehormatan Notaris (MKN) dan Majelis Pengawas Notaris (MPN) menjadi langkah penting dalam memastikan bahwa Notaris tetap mematuhi standar etik dan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, disarankan agar revisi terhadap UUJN ini terus diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan hukum bagi Notaris, serta penguatan mekanisme pengawasan yang lebih efektif untuk menjaga integritas profesi ini. Perubahan ini diharapkan dapat menciptakan tatanan hukum yang lebih efisien, lebih transparan, dan lebih memberikan perlindungan kepada masyarakat, sekaligus mendukung terciptanya stabilitas hukum yang lebih baik di Indonesia.
Perubahan redaksi dari “Akta Notaris” menjadi “Akta Autentik” menguatkan kedudukan hukum akta sebagai alat bukti yang sah dan memperkuat posisi Notaris dalam sistem hukum sebagai penjaga legalitas. Adapun perubahan ini juga mengintegrasikan nilai-nilai moral profesi Notaris, mendukung prinsip fidelitas officii, yang menegaskan tanggung jawab Notaris dalam memastikan keabsahan setiap akta. Dengan menguatkan akta autentik, perubahan ini mengurangi ketidakpastian hukum dalam transaksi, meningkatkan kredibilitas sistem hukum Indonesia, dan mendukung stabilitas ekonomi.

Memperjelas Kewenangan Dan Tanggung Jawab Notaris
Perlindungan hukum terhadap profesi notaris memiliki kedudukan yang sangat penting dalam sistem hukum Indonesia, terutama dalam menjalankan tugas mereka sebagai pembuat akta autentik. Dalam kerangka yuridis normatif, beberapa asas hukum, seperti presumption of innocence (praduga tak bersalah), lex specialis derogat legi generali, dan nullum delictum nulla poena sine lege (asas legalitas), menjadi landasan yang mengatur tanggung jawab notaris (Anuddin dan Siswanto 2024). Asas presumption of innocence menegaskan bahwa notaris tidak dapat dianggap bersalah hanya karena akta yang disusunnya digunakan oleh pihak ketiga dalam tindak pidana. Penerapan asas ini memberikan perlindungan terhadap notaris agar tidak terjerat dalam potensi kriminalisasi tanpa adanya bukti yang jelas dan sah. Dalam konteks ini, pemahaman terhadap asas ini sangat penting untuk mencegah adanya penuntutan terhadap notaris yang semata-mata berdasarkan penggunaan akta yang sah tanpa adanya unsur kesalahan atau kelalaian dalam pembuatan akta.

Lebih lanjut, asas lex specialis derogat legi generali mengatur bahwa dalam hal penegakan hukum terhadap notaris, harus mengacu pada peraturan khusus, yaitu Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), yang secara rinci mengatur kewenangan dan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta autentik. Penegakan hukum terhadap notaris harus dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris (MPN), yang memiliki kewenangan untuk mengawasi dan menilai apakah notaris telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam UUJN (Sterisa dan Arifulloh 2025). Asas nullum delictum nulla poena sine lege juga memberikan landasan bahwa tindakan pidana hanya dapat dipertanggungjawabkan kepada notaris apabila ada pelanggaran hukum yang jelas dan spesifik yang diatur dalam UUJN, bukan berdasarkan aturan umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap profesi notaris bukan hanya terkait dengan pengaturan prosedural, tetapi juga mengandung filosofi untuk mencegah penyalahgunaan hukum yang dapat merugikan posisi notaris sebagai pejabat publik yang menjalankan tugas administratif.

Asas officium nobile (jabatan mulia) dan independensi notaris menegaskan bahwa notaris memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam struktur hukum, sebagai penjaga kepastian hukum dalam sistem peradilan. Fungsi utama notaris adalah memastikan bahwa akta yang mereka buat memiliki kekuatan pembuktian yang sah dan autentik (Setyawan dan Priyono 2024). Oleh karena itu, notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan atas substansi atau tujuan transaksi yang tercantum dalam akta tersebut, kecuali terdapat bukti yang jelas menunjukkan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh notaris itu sendiri. Asas independensi ini memastikan bahwa notaris dapat menjalankan tugasnya tanpa tekanan atau pengaruh dari pihak lain, serta bertindak secara objektif dalam menyusun akta yang akan digunakan sebagai alat pembuktian dalam proses peradilan. Konsep ini mencerminkan integritas profesi notaris yang harus dijaga agar sistem hukum Indonesia tetap dapat berfungsi dengan baik.
Adapun filosofi hukum yang mendasari jabatan notaris, sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch, melibatkan tiga elemen penting: kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Kepastian hukum dalam hal ini terwujud ketika notaris dapat bekerja dengan keyakinan bahwa akta yang mereka buat akan diterima sebagai alat bukti yang sah dan tak terbantahkan, sesuai dengan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menegaskan bahwa akta autentik memiliki kekuatan pembuktian yang kuat (Nurhadi 2024). Dalam konteks ini, penguatan perlindungan terhadap profesi notaris akan memperkuat terciptanya kepastian hukum dalam transaksi perdata yang melibatkan akta autentik, sehingga sistem hukum Indonesia menjadi lebih transparan dan dapat diandalkan. Filosofi keadilan tercapai ketika notaris tidak dipertanggungjawabkan atas kesalahan atau tindak pidana yang terjadi akibat transaksi yang tercatat dalam akta, tanpa adanya bukti yang jelas mengenai niat jahat atau kelalaian dari pihak notaris itu sendiri. Kemanfaatan hukum akan tercapai apabila sistem hukum Indonesia dapat memberikan perlindungan yang memadai bagi profesi notaris, yang pada gilirannya akan menciptakan iklim sosial dan ekonomi yang lebih stabil dan transparan.

Selainitu, dalam analisis perspektif yuridis normatif keberasaan asas lex specialis berfungsi untuk mengedepankan ketentuan dalam UUJN sebagai dasar hukum yang lebih spesifik terkait kewenangan dan tanggung jawab notaris dibandingkan dengan ketentuan hukum pidana atau perdata yang bersifat umum (Robed dan Yusa 2024). Pasal 1 UUJN mengatur bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik, yang berarti bahwa tugas notaris tidak hanya terbatas pada pembuatan akta, tetapi juga mencakup verifikasi, pembacaan, dan peresmian akta sesuai dengan prosedur yang berlaku. Revisi terhadap redaksi pasal ini sangat penting untuk lebih menegaskan peran notaris sebagai penjaga kepastian hukum, dengan menghindari pengaruh eksternal yang dapat merusak independensinya. Dalam hal ini, sistem pengawasan yang lebih ketat, seperti peran lembaga pembinaan dan pengawasan notaris melalui Majelis Pengawas Notaris (MPN) dan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) serta Dewan Kehormatan Notaris (DKN) harus diperkuat untuk memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil oleh notaris sesuai dengan kode etik profesi dan tidak melanggar hukum.
Selanjutnya, dari perspektif filosofis, asas nullum delictum nulla poena sine lege menggarisbawahi bahwa tidak ada tindakan pidana yang dapat dikenakan terhadap notaris tanpa adanya undang-undang yang jelas mengaturnya. Asas ini memberikan dasar yang kuat dalam melindungi notaris dari potensi kriminalisasi yang tidak berdasar (Sigit Kamseno 2023). Perlindungan ini sangat penting untuk memastikan bahwa setiap perubahan atau penambahan regulasi mengenai kewenangan dan tanggung jawab notaris dilakukan dengan mempertimbangkan kepastian hukum yang tegas. Dengan pengaturan yang lebih jelas dan lebih rinci, seperti dalam revisi pasal-pasal yang mengatur kewenangan dan tanggung jawab notaris, akan tercipta perlindungan hukum yang lebih kuat, yang memungkinkan notaris untuk melaksanakan tugasnya dengan penuh integritas dan independensi.

Penguatan perlindungan hukum terhadap jabatan notaris melalui pengaturan yang lebih rinci dalam UUJN akan berpengaruh pada peningkatan kualitas profesionalisme dan integritas notaris. Hal ini akan memberikan jaminan bahwa setiap akta yang diterbitkan oleh notaris memiliki kekuatan pembuktian yang tak terbantahkan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam sistem hukum Indonesia (Apriliani dan Ridwan 2024). Selain itu, penguatan perlindungan terhadap profesi notaris juga akan menciptakan iklim hukum yang lebih stabil bagi masyarakat dan dunia usaha, di mana transaksi hukum yang melibatkan akta autentik akan lebih diterima dan dihargai sebagai bukti yang sah. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum Indonesia akan semakin meningkat apabila posisi notaris sebagai penjaga kepastian hukum dihormati dan dilindungi dengan baik.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa revisi terhadap Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) sangat diperlukan untuk memperjelas kewenangan dan tanggung jawab notaris dalam sistem hukum Indonesia. Perlindungan hukum yang lebih tegas terhadap profesi notaris akan memperkuat posisi mereka sebagai pejabat publik yang memiliki tugas untuk menjaga integritas dan kepastian hukum dalam transaksi hukum yang melibatkan akta autentik. Revisi terhadap pasal-pasal yang mengatur kewenangan notaris, serta penguatan pengawasan melalui lembaga seperti Majelis Pengawas Notaris (MPN) dan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) serta Dewan Kehormatan Notaris (DKN), akan memberikan perlindungan yang lebih kuat terhadap profesi notaris dan mencegah terjadinya kriminalisasi yang tidak berdasar.

Rekomendasi yang dapat diberikan adalah untuk memperkuat pengawasan terhadap profesi notaris, baik melalui lembaga pengawasan yang sudah ada maupun melalui peningkatan pemahaman hukum yang lebih baik kepada masyarakat mengenai fungsi dan batasan kewenangan notaris. Selain itu, revisi terhadap pasal-pasal yang mengatur kewenangan notaris, seperti Pasal 1, Pasal 15, dan Pasal 16 Ayat (1) Huruf a dalam UUJN, perlu dilakukan untuk memberikan kejelasan yang lebih baik mengenai tugas notaris sebagai pejabat publik yang bertanggung jawab atas pembuatan akta autentik.
Terakhir, dalam rangka menciptakan sistem hukum yang lebih adil, transparan, dan dapat diandalkan, perlu adanya edukasi yang lebih luas kepada masyarakat mengenai pentingnya akta autentik sebagai alat bukti sah dalam transaksi hukum. Dengan demikian, reformasi terhadap UUJN dan penguatan perlindungan terhadap profesi notaris akan memberikan dampak positif terhadap pengembangan sistem hukum Indonesia yang lebih efisien, efektif, dan dapat dipercaya.

Rekonstruksi dan Reformasi UUJN dan Integritas Jabatan Notaris
Perlindungan hukum terhadap notaris di Indonesia sangat vital dalam menjaga integritas sistem hukum nasional. Sebagai pejabat umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta autentik, notaris bertanggung jawab atas keabsahan dokumen yang dihasilkan dan menjaga prosedur administratif yang terkait sesuai dengan ketentuan hukum. Dalam kerangka hukum Indonesia, kedudukan notaris sangat dipengaruhi oleh aturan yang mengatur profesinya, yakni Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN). UUJN mengatur kewenangan, tanggung jawab, serta hak-hak notaris yang harus dipahami secara mendalam. Secara khusus, konsep officium nobile menggarisbawahi bahwa profesi notaris adalah jabatan yang mulia yang harus dijalankan dengan integritas dan penuh tanggung jawab (Talango dkk. 2025). Selain itu, prinsip officium fideliter exercebo yang mengharuskan notaris untuk bertindak dengan kesetiaan dan kejujuran dalam menjalankan tugasnya memperkuat posisi notaris sebagai penjaga kepastian hukum, tidak hanya dalam pembuatan akta, tetapi juga dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum Indonesia.

Namun demikian, dalam praktiknya, notaris kerap menghadapi tantangan yang berhubungan dengan kriminalisasi yang tidak berdasar. Ketika sebuah akta yang dibuat oleh notaris kemudian dipermasalahkan dalam ranah pidana, seringkali notaris terjebak dalam tuntutan hukum yang tidak adil. Dalam konteks ini, perlu dilakukan kajian mendalam mengenai dasar hukum yang melindungi notaris agar mereka tidak menjadi subjek dari penyalahgunaan kewenangan. Salah satu pendekatan yang relevan dalam menyelesaikan masalah ini adalah lex specialis derogat legi generali, yang menegaskan bahwa ketentuan khusus yang diatur dalam UUJN harus lebih diutamakan daripada ketentuan umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini penting untuk memastikan bahwa tanggung jawab notaris hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan prosedural dan formalitas akta, dan tidak sampai pada substansi transaksi yang tercatat dalam akta tersebut. Ketidakjelasan dalam batasan tanggung jawab notaris sering membuka ruang bagi penyalahgunaan kewenangan dan potensi kriminalisasi yang tidak berdasar.

Di sisi lain, dalam perspektif filosofis, perubahan dalam hukum yang mengatur jabatan notaris harus mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum. Ratio legis dari reformasi ini adalah untuk menegaskan posisi notaris sebagai penjaga kepastian hukum dalam transaksi perdata serta mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan akibat ketidakjelasan regulasi yang ada (Sipayung 2025). Salah satu perubahan yang penting adalah pembatasan eksplisit terhadap kewenangan notaris untuk menghindari mereka terjerat dalam proses pidana yang tidak adil. Perlindungan hukum yang lebih jelas dan tegas akan memperkuat posisi notaris sebagai pilar utama dalam sistem hukum Indonesia, memastikan bahwa mereka dapat melaksanakan tugasnya tanpa rasa takut akan kriminalisasi yang tidak berdasar.

Untuk mengatasi tantangan ini, penguatan sistem perlindungan hukum yang lebih komprehensif sangat diperlukan. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah pembentukan lembaga perlindungan hukum khusus bagi notaris yang bertugas menangani kasus-kasus hukum yang melibatkan profesi ini sebelum sampai ke ranah pidana. Lembaga semacam ini dapat memberikan klarifikasi dan mediasi terkait masalah hukum yang melibatkan notaris, sehingga dapat mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan dan memperjelas batasan tanggung jawab mereka (Ginting dan Gusmarani 2025). Selain itu, penyusunan standar operasional prosedur (SOP) yang jelas dan terperinci bagi notaris dalam menjalankan tugas mereka juga sangat diperlukan, terutama dalam menangani transaksi yang berisiko digunakan untuk kejahatan keuangan. Dengan adanya SOP ini, notaris akan lebih mudah menilai apakah suatu transaksi berisiko atau tidak, sehingga mengurangi potensi terjerat dalam perkara hukum yang tidak terkait langsung dengan tugas profesional mereka.

Pembaruan UUJN dengan membatasi kriminalisasi terhadap notaris akan memberikan dampak positif terhadap perlindungan hukum yang lebih baik. Sebagaimana diatur dalam prinsip nullum delictum nulla poena sine lege (tidak ada perbuatan pidana dan hukuman tanpa undang-undang), seorang notaris seharusnya tidak dapat dihukum hanya karena mengadakan atau menyaksikan transaksi yang ternyata berisiko atau terindikasi melanggar hukum tanpa adanya bukti yang cukup (Diva Murbarani dan Benni 2024). Dengan pembaruan regulasi yang lebih mengutamakan kepastian hukum ini, profesi notaris akan mendapatkan perlindungan yang lebih kuat, serta meningkatkan kepercayaan publik terhadap akta autentik yang dibuat oleh notaris sebagai alat bukti yang sah dan terpercaya. Reformasi hukum yang melibatkan revisi pasal-pasal dalam UUJN harus melibatkan berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan lembaga profesi notaris, untuk memastikan perubahan yang dilakukan dapat mencerminkan kebutuhan dan tantangan di lapangan.

Reformasi hukum untuk memperkuat perlindungan hukum terhadap notaris harus difokuskan pada revisi ketentuan dalam UUJN yang lebih eksplisit dan terperinci. Perlindungan hukum yang lebih tegas ini dapat dicapai dengan membatasi ruang lingkup kriminalisasi terhadap notaris, serta lebih menekankan prinsip lex specialis dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang melibatkan profesi ini (Arianto dan Djajaputra 2025). Dalam praktiknya, pembentukan lembaga perlindungan hukum khusus bagi notaris, yang menangani kasus-kasus hukum yang melibatkan profesi ini sebelum masuk ke ranah pidana, sangat diperlukan. Lebih lanjut, penting untuk menyusun SOP yang jelas bagi notaris agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan tepat dan menghindari risiko hukum yang tidak terkait dengan tugas profesional mereka. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan sistem hukum Indonesia dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi notaris, sekaligus memastikan jabatan ini tetap terjaga integritasnya sebagai pilar utama dalam memberikan kepastian hukum di bidang perdata.
Revisi pasal-pasal dalam UUJN untuk memperjelas kewenangan dan tanggung jawab notaris, serta penegasan perlindungan hukum yang lebih tegas terhadap profesi ini, adalah langkah yang sangat penting. Selain itu, pembentukan lembaga perlindungan hukum khusus bagi notaris dan penyusunan SOP yang lebih terstruktur dan relevan sangat diperlukan untuk memperkuat sistem perlindungan hukum ini. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan profesi notaris dapat berfungsi lebih efektif sebagai penjaga kepastian hukum di Indonesia, tanpa harus menghadapi risiko kriminalisasi yang tidak berdasar.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa penguatan perlindungan hukum terhadap profesi notaris di Indonesia sangat diperlukan. Reformasi terhadap UUJN, termasuk revisi pasal-pasal yang mengatur kewenangan dan tanggung jawab notaris, sangat penting untuk memperjelas batasan kewenangan mereka dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, pembentukan lembaga perlindungan hukum khusus bagi notaris serta penyusunan SOP yang lebih jelas dan terperinci akan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi profesi ini. Reformasi hukum ini bertujuan untuk memastikan bahwa profesi notaris tetap dapat menjalankan tugasnya dengan integritas, serta melindungi mereka dari kriminalisasi yang tidak adil.

Rekomendasi utama untuk reformasi ini adalah memperjelas dan memperkuat peran notaris dalam sistem hukum Indonesia, melalui revisi pasal-pasal dalam UUJN, penguatan peran organisasi profesi seperti Ikatan Notaris Indonesia (INI), serta pembentukan lembaga perlindungan hukum yang khusus menangani perkara yang melibatkan notaris. Dengan demikian, sistem hukum Indonesia dapat memberikan perlindungan yang lebih adil dan transparan bagi notaris, serta memperkuat posisi mereka sebagai penjaga kepastian hukum dalam transaksi perdata.

Reformasi ini diharapkan dapat menciptakan sistem hukum yang lebih transparan, adil, dan proporsional, yang memastikan notaris tidak terjerat dalam perkara yang di luar kewenangan mereka sebagai pejabat publik. Dengan demikian, Indonesia akan memiliki sistem hukum yang lebih kuat, yang memberikan perlindungan hukum bagi profesi notaris dan masyarakat secara keseluruhan. Reformasi terhadap Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) sangat diperlukan untuk memperjelas kewenangan dan tanggung jawab notaris dalam sistem hukum Indonesia. Perlindungan hukum yang lebih tegas terhadap profesi ini akan memperkuat posisi notaris sebagai penjaga kepastian hukum, serta mengurangi potensi kriminalisasi yang tidak berdasar. Penguatan pengawasan terhadap profesi notaris, melalui lembaga seperti Majelis Pengawas Notaris (MPN) dan Majelis Kehormatan Notaris (MKN), juga penting untuk memastikan integritas dan transparansi dalam sistem hukum Indonesia.
Reformasi hukum terhadap profesi notaris memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai kewenangan, tanggung jawab, dan perlindungan hukum bagi notaris, serta menciptakan transparansi dan stabilitas dalam sistem hukum Indonesia. Penguatan perlindungan terhadap profesi notaris akan mengurangi potensi kriminalisasi yang tidak berdasar, serta menegaskan peran notaris sebagai penjaga kepastian hukum dalam transaksi perdata. Penerapan asas lex specialis dan nullum delictum nulla poena sine lege memberi perlindungan hukum yang lebih jelas terhadap profesi notaris, serta membatasi ruang lingkup kriminalisasi yang tidak adil.

Merumuskan Kedudukan Hukum Notaris Sebagai Pejabat Umum
Perlindungan hukum terhadap profesi notaris di Indonesia menjadi isu yang semakin mendesak dalam sistem hukum yang sedang berkembang. Sebagai pejabat publik yang memiliki kewenangan atribusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), notaris memiliki peran penting dalam menjamin keabsahan transaksi perdata melalui akta autentik (Yusrizal 2024). Namun, meskipun fungsi vital ini diatur oleh hukum, dalam praktiknya, profesi notaris sering terjerat dalam potensi kriminalisasi, khususnya terkait dengan tindak pidana korupsi (tindak pidana korupsi atau tipikor) atau pencucian uang (tindak pidana pencucian uang atau TPPU), meskipun mereka tidak terlibat langsung dalam tindak pidana tersebut. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakjelasan dalam perlindungan hukum terhadap notaris, sehingga peran mereka dalam menjaga kepastian hukum dapat terganggu. Ketidakjelasan ini, jika tidak segera diatasi, berpotensi merusak integritas dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum Indonesia.

Secara yuridis normatif, ketentuan mengenai kewenangan notaris diatur dalam UUJN, yang memberikan dasar hukum yang kuat bagi notaris untuk melaksanakan tugas-tugasnya, seperti pembuatan akta otentik. Pasal-pasal yang terkandung dalam UUJN, seperti Pasal 15 yang mengatur kewenangan notaris dalam pembuatan akta, dan Pasal 16 yang mengharuskan notaris untuk bertindak dengan integritas, berperan penting dalam memastikan bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh notaris memiliki kekuatan hukum yang sah (Puspitasari dan Badriyah 2024). Namun, adanya celah dalam pengaturan ini, yang terlihat pada ketidakjelasan hubungan antara UUJN dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menyebabkan potensi kriminalisasi terhadap notaris yang hanya menjalankan tugas sesuai kewenangannya. Pendekatan lex specialis derogat legi generali menunjukkan bahwa apabila terjadi tumpang tindih antara hukum yang mengatur jabatan notaris dengan ketentuan dalam KUHP, ketentuan khusus dalam UUJN harus diutamakan. Dengan demikian, dalam perkara yang melibatkan notaris, ketentuan-ketentuan dalam UUJN harus menjadi acuan utama.

Dari perspektif filosofis hukum, tujuan sistem hukum adalah untuk menciptakan kepastian hukum, yang merupakan prinsip dasar dalam memberikan rasa aman bagi setiap individu dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Dalam hal ini, profesi notaris yang memberikan akta otentik harus mendapat perlindungan hukum yang jelas agar dapat menjalankan tugasnya tanpa takut terjerat dalam kasus pidana yang tidak berdasar (Rahmayanthi 2024). Ketidakjelasan mengenai perlindungan hukum terhadap notaris dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum, mengingat kehadiran notaris sebagai penjaga kepastian hukum dalam transaksi perdata. Oleh karena itu, untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan dapat dipercaya, revisi terhadap UUJN yang memperjelas perlindungan terhadap notaris sangat diperlukan. Hal ini selaras dengan asas officium nobile, yang menuntut notaris untuk menjalankan tugasnya dengan penuh integritas dan tanggung jawab.

Dalam membandingkan sistem hukum Indonesia dengan negara-negara yang memiliki sistem hukum civil law, seperti Prancis, Jerman, dan Belanda, terdapat pelajaran yang dapat diambil, yakni pentingnya pengawasan yang ketat dan independen terhadap profesi notaris. Di negara-negara tersebut, Maîtrise de Notaires atau lembaga pengawas memiliki peran yang signifikan dalam memastikan bahwa tindakan notaris selalu berada dalam koridor hukum yang benar sebelum masalah hukum berkembang lebih lanjut (Rahmayanthi 2024). Pengawasan independen ini dapat menjadi acuan penting bagi Indonesia dalam memperkuat perlindungan terhadap profesi notaris, serta mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan yang bisa merugikan profesi ini. Dengan mengadopsi model pengawasan yang lebih ketat dan independen, Indonesia dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif kepada notaris.
Selain itu, penguatan peran organisasi profesi seperti Ikatan Notaris Indonesia (INI) juga merupakan langkah yang penting dalam membela hak-hak notaris yang terancam kriminalisasi. INI dapat berperan dalam menyusun dan menetapkan standard operating procedures (SOP) yang jelas dan memberikan pembelaan hukum terhadap notaris yang terjerat dalam perkara hukum (Faisal Makna 2024). Hal ini juga berkaitan dengan asas officium fideliter exercebo, yang menuntut notaris untuk menjalankan tugas dengan setia kepada hukum dan kepentingan umum. Di sisi lain, untuk lebih memastikan bahwa notaris dapat menjalankan profesinya dengan penuh ketenangan, pelatihan bersama antara INI dan aparat penegak hukum sangatlah diperlukan. Pelatihan ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman aparat tentang tugas dan kewenangan notaris, sehingga dapat mengurangi potensi terjadinya kriminalisasi terhadap profesi ini.

Mengacu pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), yang menekankan perlindungan terhadap profesi hukum, Indonesia juga dapat memperkuat sistem perlindungannya dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip tersebut (Oetomo dan Latumeten 2024). Penegakan hukum yang lebih jelas dan tegas terhadap notaris yang terlibat dalam tindak pidana akan memberikan dasar yang kuat dalam melindungi profesi ini dari potensi kriminalisasi yang tidak adil. Dengan melakukan reformasi yang lebih jelas terhadap UUJN, yang mencakup pengaturan mengenai tanggung jawab pidana notaris, Indonesia akan semakin memperkuat sistem hukum yang melindungi kepentingan profesi ini.

Reformasi terhadap perlindungan hukum notaris di Indonesia sangat penting untuk menciptakan sistem hukum yang lebih adil dan transparan. Penyusunan regulasi yang lebih jelas dan terperinci mengenai kedudukan hukum notaris dan jaminan perlindungan hukum terhadap profesi ini harus segera dilakukan. Selain itu, penguatan peran lembaga pengawas notaris dan organisasi profesi seperti INI akan berperan penting dalam memberikan perlindungan yang lebih kuat kepada notaris. Pembentukan lembaga perlindungan hukum khusus bagi notaris juga menjadi langkah yang strategis untuk memastikan bahwa mereka dapat menjalankan tugas mereka tanpa ketakutan akan kriminalisasi yang tidak berdasar (Lubis, 2024).

Perlindungan hukum terhadap profesi notaris di Indonesia merupakan isu yang semakin mendesak, terutama dalam menghadapi potensi kriminalisasi yang dapat merusak integritas profesi ini. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), notaris memiliki kewenangan atribusi yang memberikan dasar hukum untuk melaksanakan tugasnya, seperti pembuatan akta otentik yang sangat penting dalam menjamin keabsahan transaksi perdata. Namun, dalam praktiknya, ketidakjelasan perlindungan hukum terhadap notaris menimbulkan potensi kriminalisasi, terutama terkait dengan tindak pidana korupsi (tipikor) atau tindak pidana pencucian uang (TPPU). Ketidakjelasan ini menyebabkan kerugian tidak hanya bagi profesi notaris, tetapi juga bagi sistem hukum secara keseluruhan, karena dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap akta autentik sebagai alat bukti yang sah dan dapat diandalkan. Oleh karena itu, perlu ada reformasi hukum yang menyeluruh untuk memperjelas perlindungan hukum terhadap notaris dan mencegah kriminalisasi yang tidak berdasar.

Dari perspektif yuridis, salah satu solusi yang dapat diusulkan adalah revisi terhadap UUJN untuk memastikan bahwa kewenangan notaris diatur secara lebih tegas dan tidak tumpang tindih dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pendekatan lex specialis derogat legi generali (hukum yang lebih khusus mengesampingkan hukum yang lebih umum) dapat diterapkan untuk memastikan bahwa ketentuan dalam UUJN, sebagai aturan khusus yang mengatur profesi notaris, lebih diutamakan dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHP. Selain itu, penguatan sistem pengawasan terhadap notaris juga sangat penting. Negara dapat mengadopsi model pengawasan independen seperti yang diterapkan di negara-negara dengan sistem hukum civil law, seperti Prancis, Jerman, dan Belanda, yang memiliki lembaga pengawas profesi notaris yang bertugas memastikan bahwa tindakan notaris selalu sesuai dengan hukum. Dengan pengawasan yang lebih ketat dan independen, Indonesia dapat meningkatkan perlindungan hukum terhadap profesi notaris, serta mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan notaris dan masyarakat secara luas.

Rekomendasi utama dalam pembahasan ini adalah perlunya pembaruan UUJN yang mencakup pengaturan yang lebih jelas tentang kewenangan dan tanggung jawab notaris, serta penguatan sistem pengawasan dan pembelaan hukum terhadap profesi ini. Pembentukan lembaga pengawas notaris yang independen, serta penguatan peran organisasi profesi seperti Ikatan Notaris Indonesia (INI), juga merupakan langkah yang sangat penting untuk menjaga integritas profesi ini. Selain itu, pelatihan bersama antara notaris dan aparat penegak hukum akan meningkatkan pemahaman mengenai kewenangan notaris dan mengurangi potensi kriminalisasi yang tidak berdasar. Mengadopsi prinsip-prinsip yang terkandung dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang menekankan perlindungan terhadap profesi hukum juga dapat menjadi dasar bagi penguatan perlindungan hukum terhadap notaris di Indonesia. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan sistem hukum Indonesia dapat menjadi lebih adil, transparan, dan dapat memberikan perlindungan yang memadai bagi semua pihak yang terlibat dalam transaksi hukum.

Sistem Hukum Yang Lebih Efisien, Transparan, Dan Berkeadilan
Covernote, sebagai dokumen administratif sementara, memainkan peranan penting dalam sejumlah sektor hukum di Indonesia, termasuk asuransi, perbankan, dan kenotariatan. Meskipun keberadaannya memberikan kemudahan administratif dalam berbagai transaksi, status hukum covernote dalam sistem hukum Indonesia sering kali dipandang sebagai ambigu. Hal ini terutama terkait dengan ketidakjelasan regulasi yang mengaturnya dan ketidakpastian yang ditimbulkan akibat fungsinya sebagai instrumen sementara, meskipun dokumen resmi yang mengikat belum diterbitkan. Oleh karena itu, rekonstruksi hukum terhadap penggunaan covernote sangat penting untuk memahami peranannya dalam praktik hukum Indonesia dari perspektif yuridis normatif dan filosofis (Lubis, 2024).

Secara yuridis normatif, penggunaan covernote diatur dalam sejumlah peraturan yang mengakui fungsinya sebagai dokumen administratif sementara, namun tetap membatasi kedudukannya sebagai instrumen yang tidak dapat menggantikan dokumen yang lebih sah dan mengikat secara hukum (Baskara, Dharsana, dan Astiti 2024). Sebagai contoh, dalam sektor asuransi, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 73/POJK.05/2016 menyebutkan bahwa covernote berfungsi sebagai bukti awal penerimaan polis asuransi oleh tertanggung, namun tidak menggantikan polis asuransi yang sah. Demikian pula, dalam sektor perbankan, POJK No. 34/POJK.03/2018 menyatakan bahwa covernote hanya berfungsi sebagai bukti administratif sementara dalam transaksi kredit. Dalam hal ini, meskipun covernote membantu memperlancar administrasi, ia tidak memiliki kedudukan hukum yang setara dengan dokumen resmi yang mengikat, seperti polis asuransi atau perjanjian kredit. Berdasarkan ratio legis dari ketentuan ini, tujuan utama adalah untuk memastikan bahwa transaksi yang melibatkan pihak-pihak yang terlibat memiliki keabsahan hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek atau BW), yang menyatakan bahwa suatu perjanjian baru dapat dianggap sah jika memenuhi syarat adanya kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat, objek yang jelas, dan sebab yang sah.

Dalam analisis filosofis, keberadaan covernote mencerminkan adanya ketidakseimbangan antara fungsinya sebagai alat administratif yang mempercepat proses transaksi dan kedudukannya yang terbatas dalam sistem hukum. Legal certainty, atau kepastian hukum, merupakan salah satu prinsip dasar dalam hukum yang sangat relevan dalam konteks ini (Lusia 2024). Covernote memberikan jaminan administratif sementara, namun tidak dapat menggantikan dokumen yang memiliki kekuatan hukum yang tetap. Keberadaan covernote, dalam hal ini, menimbulkan potensi ketidakpastian hukum, terutama jika pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi salah memahami status hukumnya. Dalam hal ini, terdapat perbedaan mendalam antara fungsi administratif yang mempercepat proses transaksi dan kedudukan hukum covernote yang belum memberikan jaminan hukum final. Oleh karena itu, dalam kerangka ratio legis, covernote dimaksudkan untuk memberikan kepastian administratif dalam jangka pendek, namun tidak boleh dianggap sebagai pengganti dokumen resmi yang memiliki status hukum yang lebih kuat .

Rekonstruksi hukum terhadap penggunaan covernote juga membawa implikasi lebih luas. Dalam sektor perbankan, misalnya, penggunaan covernote dapat mempercepat proses pengajuan kredit, tetapi hal ini menjadi problematik jika dokumen sementara tersebut disalahartikan sebagai pengganti perjanjian kredit yang sah (Zulfa 2024). Begitu pula dalam sektor asuransi, meskipun covernote memberikan perlindungan sementara, ia tidak dapat menjadi dasar klaim untuk risiko yang lebih besar hingga polis asuransi yang sah diterbitkan. Dalam konteks ini, regulasi yang lebih tegas dan jelas tentang status hukum covernote diperlukan untuk menghindari potensi penyalahgunaan yang dapat merugikan pihak-pihak yang terlibat. Sejalan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi, pengaturan yang lebih rinci mengenai kedudukan hukum covernote sangat diperlukan, terlebih di tengah dinamika transaksi digital yang semakin berkembang. Hal ini akan memberikan kepastian hukum yang lebih besar, mengurangi ketidakpastian, dan meningkatkan kepercayaan publik dalam sektor perbankan dan asuransi.

Dari sudut pandang sosial dan ekonomi, meskipun covernote dapat mempercepat transaksi, penggunaannya yang tidak tepat atau ketidaktahuan mengenai status hukum dokumen tersebut dapat menyebabkan masalah hukum. Sebagai contoh, jika covernote dianggap sebagai pengganti dokumen resmi seperti perjanjian kredit atau polis asuransi, maka dapat timbul sengketa hukum yang merugikan nasabah dan lembaga keuangan (Nadeak, Purba, dan Siahaan 2024). Oleh karena itu, penting untuk memberikan edukasi yang lebih baik kepada masyarakat dan pelaku hukum mengenai keterbatasan hukum covernote. Pengaturan yang lebih transparan dan jelas akan mengurangi ketidakpastian hukum dan memberikan perlindungan lebih baik bagi para pihak yang terlibat dalam transaksi.
Mengingat pentingnya status hukum covernote dalam praktik hukum Indonesia, rekonstruksi hukum terhadap kedudukannya perlu dilakukan dengan memperhatikan pengaturan yang lebih jelas dan komprehensif. Pengaturan ini harus mempertegas bahwa covernote adalah dokumen administratif sementara yang tidak dapat menggantikan dokumen resmi yang mengikat, seperti polis asuransi atau perjanjian kredit (Putra dkk. 2024). Di samping itu, perlu ada integrasi sistem digital untuk mempermudah verifikasi status transaksi dan mengurangi ketergantungan pada dokumen sementara ini. Secara lebih rinci, pembenahan terhadap kedudukan hukum covernote diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan kepercayaan terhadap sistem hukum Indonesia, memperkuat kejelasan status hukum dalam transaksi, serta mengurangi potensi penyalahgunaan yang merugikan pihak-pihak yang terlibat.

Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa sistem hukum Indonesia memerlukan rekonstruksi terhadap kedudukan hukum covernote dalam berbagai sektor hukum. Peraturan yang ada saat ini masih menyisakan ketidakjelasan mengenai status hukum covernote yang dapat berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, penting untuk melakukan perubahan regulasi yang memberikan pengaturan yang lebih tegas mengenai kedudukan hukum covernote sebagai dokumen administratif sementara, dengan tetap menegaskan bahwa ia tidak dapat menggantikan dokumen yang sah dan mengikat secara hukum.

Rekomendasi yang dapat diberikan adalah pertama, legislasi perlu segera mengklarifikasi posisi hukum covernote dalam sistem hukum Indonesia, dengan menetapkan pengaturannya secara lebih eksplisit agar tidak menimbulkan interpretasi yang salah. Kedua, penguatan sistem digital yang dapat mempercepat dan mempermudah verifikasi status transaksi, terutama yang berkaitan dengan hak tanggungan, akan meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketergantungan pada dokumen sementara. Ketiga, penting untuk menyusun pedoman yang jelas bagi praktisi hukum, khususnya notaris, mengenai peran covernote dalam transaksi hukum agar dapat mencegah kesalahpahaman yang dapat merugikan pihak-pihak yang terlibat.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan bahwa penggunaan covernote dalam sistem hukum Indonesia dapat lebih jelas kedudukannya, memberikan perlindungan hukum yang lebih baik, serta mendukung terciptanya sistem hukum yang lebih efisien, transparan, dan berkeadilan.
Kesimpulan dari pembahasan ini menunjukkan bahwa pentingnya rekonstruksi terhadap kedudukan hukum covernote dalam sistem hukum Indonesia sangat diperlukan. Meskipun covernote memainkan peranan penting dalam sektor asuransi, perbankan, dan kenotariatan sebagai dokumen administratif sementara, status hukumnya yang ambigu sering menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketidakjelasan ini dapat berpotensi menyebabkan penyalahgunaan atau kesalahpahaman di antara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi, seperti yang terlihat pada sektor asuransi dan perbankan. Oleh karena itu, pengaturan yang lebih tegas dan eksplisit mengenai kedudukan hukum covernote sebagai dokumen administratif yang tidak menggantikan dokumen yang sah dan mengikat sangat diperlukan. Dalam hal ini, lex specialis perlu diterapkan untuk menjamin bahwa setiap penggunaan covernote tetap dalam kerangka yang sah dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. Tidak hanya itu, integrasi sistem digital untuk mempermudah verifikasi status transaksi juga dapat mempercepat dan memperjelas kedudukan hukum dokumen administratif ini.

Rekomendasi utama dari hasil analisis ini adalah pertama, legislasi harus segera mengklarifikasi status hukum covernote dalam sistem hukum Indonesia melalui peraturan yang lebih eksplisit dan rinci, terutama terkait dengan peranannya dalam transaksi yang melibatkan pihak-pihak seperti nasabah dan lembaga keuangan. Kedua, penguatan sistem pengawasan dan pembelaan hukum terhadap profesi notaris juga perlu dilakukan, mengingat peran notaris dalam menyajikan alat bukti tertulis yang memiliki kekuatan hukum yang sempurna. Penambahan pengaturan yang lebih terperinci mengenai kewenangan notaris dalam menyusun covernote sebagai bagian dari tugas mereka akan meningkatkan perlindungan hukum terhadap profesi ini. Ketiga, dengan adanya peningkatan sistem digital, verifikasi transaksi yang berkaitan dengan covernote dapat dilakukan dengan lebih efisien, sehingga mengurangi potensi ketergantungan pada dokumen sementara yang tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan sistem hukum Indonesia akan menjadi lebih efisien, transparan, dan dapat memberikan kepastian hukum yang lebih besar bagi semua pihak yang terlibat.

Dalam perspektif aksiologi, rekonstruksi hukum terhadap kedudukan covernote ini sejalan dengan prinsip legal certainty (kepastian hukum), yang merupakan dasar dari setiap sistem hukum yang adil. Perlindungan hukum yang lebih baik terhadap profesi notaris dan kejelasan status hukum covernote akan mendukung terciptanya sistem hukum yang lebih kredibel dan dapat dipercaya oleh masyarakat. Oleh karena itu, pembaruan regulasi mengenai covernote, penguatan pengawasan terhadap profesi notaris, dan integrasi sistem digital untuk verifikasi transaksi merupakan langkah-langkah strategis yang perlu segera diambil untuk memastikan bahwa sistem hukum Indonesia semakin efisien dan berkeadilan. Hal ini juga menciptakan peluang untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap hukum di Indonesia, serta mengurangi potensi penyalahgunaan dokumen administratif yang dapat merugikan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi hukum.

Peran dan Tantangan Penerbitan Covernote oleh Notaris dalam Sistem Peradilan Indonesia
Penerbitan covernote oleh notaris memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam sistem hukum Indonesia, meskipun tidak termasuk sebagai akta autentik, dan diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Sebagai dokumen sementara, covernote berfungsi untuk memberikan kepastian hukum sementara terhadap transaksi atau perjanjian yang masih dalam proses, sehingga memberi ruang untuk kepastian status hukum pihak-pihak terkait selama menunggu penyelesaian formalitas dokumen yang lebih permanen (Satria Trisna, Faniyah, dan Arliman 2024). Meskipun demikian, penerbitan covernote tidak lepas dari potensi masalah hukum, terutama apabila informasi yang tercantum di dalamnya tidak akurat atau menyesatkan. Dalam konteks ini, peran notaris, yang bertindak sebagai officium nobile dan penjaga integritas hukum, menjadi sangat penting. Kesalahan dalam penerbitan covernote, baik yang disengaja maupun tidak, dapat berisiko mengarah pada sanksi pidana sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, seperti yang tercermin dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 5710 K/Pid-Sus/2023.

Keberadaan obligation of confidentiality yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN menegaskan kewajiban notaris untuk menjaga kerahasiaan dokumen dan informasi yang ia buat, termasuk covernote. Kewajiban ini tidak hanya berfungsi untuk melindungi privasi pihak yang terlibat dalam transaksi, tetapi juga untuk menjaga kepentingan hukum publik yang lebih luas (Nurwahjuni, Yuniarti, dan Waluyo 2024). Dalam penerbitan covernote, notaris harus memastikan bahwa setiap informasi yang tercantum adalah akurat dan tidak dapat disalahgunakan, karena ketidakakuratan dalam covernote dapat merugikan pihak-pihak yang terlibat serta merusak reputasi profesi notaris itu sendiri. Oleh karena itu, pengawasan yang lebih ketat terhadap penerbitan covernote, baik yang bersifat administratif maupun substansial, sangat penting untuk menjamin integritas jabatan notaris dan mencegah potensi kesalahan yang dapat berujung pada kerugian hukum yang signifikan.

Dalam konteks ini, prinsip due process of law menjadi relevan untuk dipertimbangkan, terutama terkait dengan mekanisme sanksi terhadap notaris yang melakukan kesalahan dalam penerbitan covernote. Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur tentang kemungkinan adanya novum atau bukti baru yang dapat digunakan dalam mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Selain itu, upaya hukum PK sebagai sarana untuk menilai ulang keputusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, memberikan peluang untuk mengoreksi kesalahan yang mungkin terjadi pada tahap persidangan sebelumnya. Dengan demikian, ratio legis dalam pengaturan PK dan novum adalah untuk menciptakan keadilan substantif yang lebih adil, dengan mempertimbangkan perubahan atau penemuan bukti yang relevan yang dapat mengubah hasil suatu putusan.
Filosofis, penerapan due process of law dalam sistem hukum Indonesia menggarisbawahi pentingnya keadilan yang tidak hanya dilihat dari aspek prosedural, tetapi juga dari substansi keputusan hukum. Kesalahan administratif yang dilakukan oleh notaris, meskipun tidak disengaja, harus tetap dipertimbangkan dengan hati-hati, mengingat peran penting yang diemban oleh profesi ini dalam menjamin legalitas transaksi hukum. Hal ini berkaitan dengan prinsip equality before the law yang memastikan bahwa setiap individu, termasuk notaris, harus diperlakukan secara adil di hadapan hukum tanpa adanya diskriminasi, baik dalam proses hukum maupun dalam penerapan sanksi. Penegakan hukum terhadap notaris harus tetap menjaga keseimbangan antara kepentingan hukum publik dan perlindungan terhadap hak asasi individu, dengan mengedepankan prinsip proportionality untuk memastikan bahwa sanksi yang diberikan sebanding dengan kesalahan yang dilakukan (Lubis, 2024).
penerbitan covernote oleh notaris memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem hukum Indonesia, meskipun statusnya sebagai dokumen sementara yang tidak setara dengan akta autentik. Covernote memberikan kepastian hukum sementara terhadap transaksi yang masih dalam proses formalitas. Namun, risiko kesalahan dalam penerbitannya, baik yang disengaja maupun tidak, dapat menimbulkan masalah hukum yang serius, baik bagi pihak yang terlibat maupun bagi reputasi profesi notaris itu sendiri. Dalam konteks ini, kewajiban notaris untuk menjaga kerahasiaan dan akurasi informasi yang tercantum dalam covernote menjadi hal yang sangat vital. Prinsip obligation of confidentiality yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN mengharuskan notaris untuk menjaga integritas informasi tersebut, guna mencegah penyalahgunaan yang dapat merugikan pihak-pihak yang terlibat.

Rekomendasi dari analisis ini adalah pentingnya penguatan pengawasan dan regulasi terhadap penerbitan covernote, serta perlunya penegakan hukum yang lebih tegas terhadap notaris yang melakukan kesalahan. Dalam hal ini, penerapan prinsip due process of law dan equality before the law dalam mekanisme hukum yang mengatur sanksi terhadap notaris harus dipertimbangkan dengan seksama. Misalnya, dalam penggunaan mekanisme Peninjauan Kembali (PK), yang memungkinkan adanya evaluasi ulang terhadap kesalahan dalam penerbitan covernote, dapat menjadi alat yang efektif untuk mencapai keadilan substantif. Pemberian sanksi harus mempertimbangkan prinsip proportionality, yang memastikan bahwa sanksi yang diberikan sebanding dengan kesalahan yang dilakukan. Oleh karena itu, legislasi harus menetapkan regulasi yang lebih jelas dan rinci terkait kedudukan hukum covernote dalam transaksi, serta menetapkan prosedur yang ketat untuk menghindari kesalahan administratif yang berpotensi merugikan pihak-pihak yang terlibat.
Secara filosofis, penerapan prinsip fairness dan non-discrimination dalam menangani kesalahan yang dilakukan oleh notaris, termasuk dalam penerbitan covernote, sangat penting. Penegakan hukum yang adil dan berimbang akan menciptakan iklim yang lebih transparan dan efisien dalam sistem peradilan Indonesia. Integrasi prinsip-prinsip ini dalam sistem hukum Indonesia akan mengurangi ketidakpastian hukum dan memperkuat integritas profesi notaris. Selain itu, penting untuk memperhatikan dinamika sosial dan ekonomi yang terus berkembang dalam proses penyesuaian regulasi, sehingga sistem hukum Indonesia dapat tetap relevan dan adaptif. Hal ini akan menciptakan kepercayaan yang lebih besar terhadap sistem hukum, serta memberikan perlindungan yang lebih baik bagi pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi hukum.

Kewajiban Ingkar (Duty Of Refusal) Dan Hak Ingkar (Right Of Refusal)
Perlindungan terhadap jabatan notaris sebagai officium nobile dalam sistem hukum Indonesia mencakup kewajiban untuk menjaga kerahasiaan dokumen yang disusunnya serta independensi dalam menjalankan tugasnya. Kewajiban ingkar (duty of refusal) dan hak ingkar (right of refusal) yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN dan Pasal 1909 Burgerlijk Wetboek (BW) merupakan pilar penting dalam melindungi integritas profesi ini. Kewajiban ingkar menuntut notaris untuk tidak mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia, sementara hak ingkar memberikan wewenang untuk menolak memberikan kesaksian atau informasi yang terkait dengan dokumen yang telah disusunnya, kecuali jika terdapat kewajiban hukum yang memaksa untuk membuka informasi tersebut (Lubis, 2020).
Kedua prinsip ini, baik kewajiban maupun hak ingkar, sangat relevan dalam menjaga profesionalisme notaris, yang berfungsi sebagai penjaga kepastian hukum dalam sistem peradilan Indonesia. Dalam tataran filosofis, kewajiban ingkar dan hak ingkar menggarisbawahi pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan individu yang dilindungi oleh kerahasiaan dokumen dan kebutuhan untuk memastikan kebenaran hukum dalam proses peradilan. Kewajiban ingkar dan hak ingkar ini bertujuan untuk menjaga profesionalisme notaris agar dapat beroperasi secara independen tanpa intervensi dari pihak luar yang tidak relevan dengan kepentingan hukum yang sah.

Penjelasan Perbedaan Kewajiban dan Hak Ingkar Notaris:
1. Kewajiban Ingkar Notaris mengacu pada suatu kewajiban bagi notaris untuk tidak melakukan tugas jika dalam penilaiannya tindakan tersebut melanggar ketentuan hukum yang berlaku, meskipun pihak yang mengajukan akta meminta untuk dibuat. Notaris memiliki kewajiban untuk menjaga integritas profesi dan mencegah transaksi yang tidak sah atau dapat merugikan pihak lain.
Kewajiban Ingkar Notaris (Duty of Refusal):
a. Pengertian: Kewajiban ingkar adalah tanggung jawab seorang notaris untuk menolak atau tidak mengesahkan suatu akta yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, atau yang mengandung unsur yang dapat merugikan pihak lain, misalnya dalam kasus transaksi yang tidak sah atau cacat hukum.
b. Dasar Filosofis: Prinsip integritas dan kepastian hukum mengharuskan notaris untuk bertindak dengan standar moral dan etika yang tinggi dalam menjaga validitas suatu transaksi. Hal ini mencakup penolakan terhadap transaksi yang tidak memenuhi syarat hukum yang berlaku.
c. Tujuan: Kewajiban ingkar bertujuan untuk melindungi kepentingan publik dengan memastikan bahwa setiap akta yang diterbitkan oleh notaris sah dan tidak merugikan pihak lain.
2. Hak Ingkar Notaris adalah hak untuk menolak atau tidak melaksanakan suatu tugas jika dirasa bertentangan dengan etika profesi atau kepentingan hukum yang lebih besar. Hal ini memberikan perlindungan bagi notaris agar tidak terpaksa terlibat dalam tindakan yang tidak sesuai dengan kewajiban moral atau hukum mereka.
Hak Ingkar Notaris (Right of Refusal):
a. Pengertian: Hak ingkar memberi wewenang kepada notaris untuk menolak melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum atau etika profesi, meskipun pihak yang mengajukan permintaan untuk membuat akta.
b. Dasar Filosofis: Hak ingkar didasarkan pada prinsip etika profesi dan kemandirian, yang memberikan ruang kepada notaris untuk menilai dan menolak melakukan tindakan yang mungkin merusak integritasnya sebagai pejabat umum.
c. Tujuan: Hak ingkar bertujuan untuk melindungi notaris dari tindakan yang tidak sesuai dengan kewajiban hukum dan etika profesi. Hal ini juga memastikan bahwa notaris tetap independen dalam menjalankan tugasnya tanpa adanya pengaruh eksternal yang tidak sah.
3. Integritas Hukum dalam Penerbitan Covernote:
a. Penerbitan covernote oleh notaris memegang peranan penting dalam memberikan kepastian hukum sementara terhadap transaksi yang belum selesai. Namun, ketidakakuratan informasi dalam covernote dapat menyebabkan kerugian hukum yang signifikan, baik bagi pihak yang terlibat maupun bagi reputasi profesi notaris itu sendiri. Oleh karena itu, pengawasan yang lebih ketat terhadap proses penerbitan covernote menjadi sangat penting untuk mencegah kesalahan yang dapat merusak sistem hukum.
4. Prinsip Due Process of Law:
a. Dalam hal kesalahan yang dilakukan oleh notaris dalam penerbitan covernote, penting untuk mengedepankan prinsip due process of law. Hal ini mencakup evaluasi yang adil terhadap tindakan notaris, terutama dalam mekanisme Peninjauan Kembali (PK), di mana terdapat ruang untuk peninjauan ulang bukti atau keputusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
b. Konsep ini bertujuan untuk mencapai keadilan substantif, yang lebih memperhatikan perubahan keadaan atau bukti yang relevan untuk keputusan hukum yang lebih tepat.
5. Peran Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkar dalam Sistem Hukum:
a. Kewajiban ingkar dan hak ingkar sangat relevan dalam menjaga profesionalisme notaris.
b. Kewajiban ingkar memastikan bahwa transaksi yang dilakukan tidak merugikan pihak lain, sementara hak ingkar memberikan perlindungan bagi notaris agar tetap dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan etika dan kemandirian profesinya tanpa tekanan eksternal.
6. Temuan:
a. Penekanan pada penerapan prinsip proportionality dalam pemberian sanksi terhadap kesalahan administratif notaris memberikan temuan baru dalam konteks penegakan hukum yang adil.
b. Perlunya keseimbangan antara kepentingan hukum publik dan perlindungan hak individu, yang mana dalam hal ini adalah notaris, dengan tetap memperhatikan kesalahan administratif yang tidak disengaja.
Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada sisi perintah (kewajiban) dan hak untuk menolak (hak ingkar). Kewajiban ingkar lebih menekankan pada tanggung jawab notaris untuk melindungi integritas hukum, sedangkan hak ingkar memberikan ruang bagi notaris untuk mengambil keputusan berdasarkan penilaian pribadi dan profesional mengenai apakah suatu tindakan layak untuk dilakukan. Kedua prinsip ini, meskipun memiliki fungsi yang serupa dalam melindungi integritas profesi notaris, mereka beroperasi dalam dua konteks yang berbeda: kewajiban ingkar berfokus pada tindakan proaktif yang diwajibkan oleh hukum, sementara hak ingkar berfokus pada perlindungan bagi notaris untuk mengambil keputusan berdasarkan integritas dan etika profesinya.

Aspek Hukum Peninjauan Kembali Putusan Mahkamah Agung No. 5710 K/Pid-Sus/2023
Peninjauan Kembali (PK) berfungsi sebagai mekanisme penting dalam sistem peradilan Indonesia untuk mencapai substantive justice, yaitu keadilan yang lebih mengutamakan kepastian hukum dan hak-hak individu berdasarkan fakta yang sesungguhnya. Sebagai sarana untuk mengoreksi kesalahan dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, PK juga mempertimbangkan adanya novum atau bukti baru, yang menjadi dasar perubahan keputusan yang telah dijatuhkan. Dalam hal ini, Pasal 263 ayat (2) KUHAP mengatur bahwa PK dapat diajukan jika terdapat bukti baru yang relevan dan sebelumnya tidak dapat ditemukan dalam proses persidangan (Lubis, 2024).
Putusan Mahkamah Agung No. 5710 K/Pid-Sus/2023 menggambarkan bagaimana mekanisme PK berfungsi untuk memperbaiki kesalahan yang mungkin terjadi dalam proses hukum sebelumnya, terutama dalam hal penerbitan covernote oleh notaris. Kasus ini menggarisbawahi pentingnya peran bukti baru dalam memperbaiki keputusan yang keliru dan mencerminkan upaya Mahkamah Agung untuk memastikan bahwa setiap keputusan hukum yang diambil mencerminkan keadilan yang substantif. Dengan mempertimbangkan novum, Mahkamah Agung memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan hukum, sekaligus memperlihatkan adanya ratio legis di balik perubahan hukum untuk mencapai keadilan yang lebih adil dan merata (Lubis, 2024).
Penerbitan covernote oleh notaris dalam sistem hukum Indonesia membutuhkan pengawasan yang lebih ketat untuk melindungi integritas jabatan notaris dan memastikan akurasi informasi yang terkandung di dalamnya. Sistem hukum Indonesia harus menguatkan perlindungan terhadap jabatan notaris melalui penguatan prinsip due process of law dan penerapan mekanisme Peninjauan Kembali (PK) untuk memperbaiki kesalahan yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi lebih lanjut terhadap regulasi yang ada, agar setiap keputusan hukum yang diambil dapat mencerminkan prinsip keadilan substantif yang berpihak pada kebenaran.

Rekomendasi yang diajukan mencakup perlunya perbaikan terhadap regulasi yang mengatur novum dalam PK, dengan memberikan kejelasan kriteria yang dapat diterima dalam penerapannya. Selain itu, hakim sebagai aparatur penegak hukum perlu diberikan pelatihan yang lebih mendalam tentang evaluasi bukti baru dalam konteks PK agar keputusan yang diambil dapat lebih mencerminkan keadilan yang sesungguhnya. Dengan demikian, sistem peradilan Indonesia dapat terus berkembang menjadi lebih adil, transparan, dan terpercaya bagi seluruh rakyat Indonesia.
Peran Bukti Baru (Novum) dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 5710 K/Pidsus/2023
Peninjauan Kembali (PK) merupakan mekanisme yang penting dalam sistem peradilan Indonesia yang bertujuan untuk memastikan tercapainya justice substantif atau keadilan yang tidak hanya berfokus pada prosedur dan formalitas hukum, tetapi juga pada keadilan material yang mengedepankan kebenaran berdasarkan fakta yang ada. Salah satu aspek yang menarik dalam mekanisme PK adalah peran bukti baru (novum), yang diatur dalam Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal ini memberikan peluang bagi pihak yang merasa tidak puas dengan putusan pengadilan untuk mengajukan PK, apabila ditemukan bukti baru yang belum terungkap dalam persidangan sebelumnya dan dapat mengubah substansi dari keputusan yang telah dijatuhkan. Relevansi novum dalam konteks hukum pidana dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 5710 K/Pidsus/2023, yang mencakup pembahasan mengenai penggunaan dokumen covernote sebagai salah satu bukti dalam perkara tindak pidana korupsi (Lubis, 2024).

Dalam perkara ini, terdakwa, yang merupakan seorang notaris, diadili atas tuduhan korupsi yang melibatkan dokumen yang disusun oleh pihak-pihak terkait dalam suatu transaksi yang melibatkan tindak pidana korupsi. Pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Medan memutuskan untuk membebaskan terdakwa dari beberapa dakwaan, namun pada dakwaan subsidair, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atas tindak pidana korupsi. Vonis ini dijatuhkan dengan pidana penjara selama satu tahun enam bulan dan denda sebesar Rp100.000.000,00. Selanjutnya, pada tingkat banding pada Pengadilan Tinggi Medan memutuskan Terdakwa Noname, S.H., M.Kn., terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi secara bersama-sama” sebagaimana dalam Dakwaan Subsidair Kedua, dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. Namun, pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung mengubah putusan tersebut dengan menjatuhkan pidana penjara selama delapan tahun dan denda Rp400.000.000,00. Kasus ini kemudian menarik perhatian pada aspek penggunaan novum, terutama mengenai dokumen covernote yang menjadi bagian dari bukti dalam perkara tersebut (Lubis, 2024).

Penting untuk dicermati bahwa mekanisme PK, yang berbasis pada novum, membuka peluang untuk merevisi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, apabila ditemukan bukti baru yang relevan dan substansial yang sebelumnya tidak diketahui atau tidak dapat diajukan di tingkat pengadilan yang lebih rendah. Dalam konteks ini, novum tidak hanya terbatas pada bukti fisik yang baru, tetapi juga mencakup bukti yang dapat memberikan penafsiran baru terhadap fakta yang ada. Hal ini mengharuskan adanya pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara novum dan aspek-aspek hukum lainnya, terutama dalam kaitannya dengan asas res judicata atau kekuatan mengikat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, serta hubungan antara asas lex specialis derogat legi generali yang sering muncul dalam konteks penerapan hukum pidana. Dalam kasus ini, meskipun covernote digunakan sebagai bukti yang mengarah pada perubahan substansi putusan, maka novum harus diuji dalam konteks apakah bukti tersebut dapat mengubah pandangan terhadap fakta hukum yang telah diputuskan sebelumnya (Lubis, 2024).

Lebih lanjut, perlu dilakukan analisis terhadap keterkaitan antara berbagai pasal yang mengatur Peninjauan Kembali dengan prinsip-prinsip hukum lainnya yang mendasari sistem peradilan pidana Indonesia. Pasal 263 ayat (2) KUHAP yang mengatur tentang syarat-syarat PK menjadi landasan utama dalam menilai apakah sebuah permohonan PK dapat diterima atau tidak. Pembahasan ini menghubungkan antara novum dan ratio legis yang mendasari kebijakan hukum dalam memberikan ruang bagi revisi putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Pendekatan yuridis normatif perlu memperhatikan alasan perubahan hukum tersebut, termasuk apakah perubahan ini dimaksudkan untuk lebih menegakkan keadilan substantif dengan menggali lebih dalam mengenai fakta yang mungkin terabaikan atau tertutup pada saat putusan pertama dijatuhkan. Dalam perspektif filosofis, kebijakan hukum mengenai novum mengandung unsur refleksi terhadap hakikat keadilan yang tidak hanya formal, tetapi juga material, yang harus mempertimbangkan nilai-nilai keadilan sosial dan ekonomi (Lubis, 2024).

Selain itu, analisis terhadap hubungan antar norma dalam sistem hukum Indonesia juga mengharuskan pemahaman mengenai konfigurasi hukum yang melibatkan variabel, parameter, karakter, asas, dan postulat hukum. Misalnya, hubungan antara novum dengan asas aequitas yang menuntut adanya keseimbangan antara hak-hak terdakwa dan pencarian kebenaran materiil dalam perkara pidana. Dengan demikian, setiap langkah yang diambil dalam proses PK harus mempertimbangkan dampaknya terhadap keseimbangan antara penegakan hukum yang tegas dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, terutama hak untuk mendapatkan peradilan yang adil (Lubis, 2024).
Dari perspektif teori dan praktik, implementasi hukum dalam peninjauan kembali ini dapat memberikan dampak signifikan terhadap sistem peradilan pidana Indonesia. Keberadaan novum sebagai instrumen untuk melakukan koreksi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat menjadi sarana untuk menegakkan keadilan substantif, namun sekaligus mengandung risiko terhadap kepastian hukum. Di sisi lain, dalam praktik, penerimaan terhadap novum yang diusulkan oleh terdakwa atau pihak lain harus tetap memerhatikan adanya kesesuaian dengan bukti-bukti yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini menjadi tantangan dalam menerapkan prinsip due process of law yang harus dijaga dalam setiap tahap peradilan (Lubis, 2024).

Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa mekanisme Peninjauan Kembali yang memungkinkan perubahan keputusan melalui penerimaan novum memiliki implikasi hukum yang sangat penting dalam menjaga keadilan substantif di Indonesia. Sebagai langkah koreksi atas putusan yang dianggap tidak mencerminkan kebenaran materiil, PK memberikan ruang untuk memperbaiki ketidakadilan yang mungkin terjadi, terutama jika novum yang diajukan memiliki relevansi signifikan dalam mengubah substansi perkara. Oleh karena itu, meskipun PK menjadi instrumen penting dalam sistem peradilan pidana, perlu ada kehati-hatian dalam penerapannya, agar tidak mengancam kepastian hukum. Berdasarkan pembahasan ini, direkomendasikan agar pengaturan lebih lanjut tentang penerimaan novum dalam PK dapat disusun secara lebih rinci dan jelas, dengan memperhatikan keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif. Selain itu, implementasi praktik hukum ini perlu disesuaikan dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat, guna menciptakan sistem peradilan yang lebih responsif terhadap dinamika kebutuhan keadilan di Indonesia.
Hasil Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia
Dalam kasus ini, pada tingkat Peninjauan Kembali (PK), Mahkamah Agung RI memberikan putusan yang mengubah keputusan yang telah dijatuhkan sebelumnya oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Medan. Berdasarkan Putusan PK Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1673 K/Pid-Sus/2024 tanggal 9 Oktober 2024, terdakwa yang sebelumnya divonis bersalah atas tindak pidana korupsi pada tingkat kasasi, dalam keputusan Peninjauan Kembali kali ini, ternyata dinyatakan tidak terbukti bersalah atas dakwaan primer, dan akhirnya dibebaskan dari dakwaan tersebut. Namun, dalam dakwaan subsidair, terdakwa tetap dinyatakan bersalah atas pembantuan dalam tindak pidana korupsi.

Adapun amar putusan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1673 K/Pid-Sus/2024 tanggal 9 Oktober 2024 adalah sebagai berikut:
1. Mahkamah Agung menyatakan bahwa terpidana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah atas dakwaan primer yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Oleh karena itu, terdakwa dibebaskan dari dakwaan primer tersebut.
2. Dalam dakwaan subsidair, terpidana tetap terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembantuan dalam tindak pidana korupsi, meskipun tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara langsung.
3. Mahkamah Agung menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan dan pidana denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Apabila denda tersebut tidak dibayar, maka denda tersebut akan diganti dengan pidana kurungan selama satu bulan.
4. Mahkamah Agung menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh terpidana dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
5. Mengenai barang bukti, Mahkamah Agung memutuskan untuk mengembalikan barang bukti nomor urut 1 sampai dengan nomor urut 360 kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain yang melibatkan pihak terkait.
6. Terpidana dibebankan untuk membayar biaya perkara pada tingkat Peninjauan Kembali sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah).
Mekanisme Peninjauan Kembali (PK) memiliki peran penting dalam menegakkan keadilan substantif, di mana Mahkamah Agung Republik Indonesia mampu melakukan revisi terhadap putusan sebelumnya dengan mempertimbangkan bukti baru dan penafsiran lebih mendalam terhadap fakta-fakta yang ada. Dalam putusan PK Mahkamah Agung Nomor 1673 K/Pid-Sus/2024 tanggal 9 Oktober 2024, terdapat perubahan yang signifikan, terutama dalam hal pengurangan pidana yang lebih ringan dibandingkan dengan putusan kasasi sebelumnya. Hal ini seharusnya menjadi momentum untuk membebaskan terpidana dari segala dakwaan dan/atau melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum yang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Ini menegaskan adanya penerapan prinsip officium fideliter (tugas yang dilaksanakan dengan setia) dan officium nobile (tugas yang dilaksanakan dengan martabat) oleh aparat penegak hukum, yang mencerminkan pengaruh dari penilaian yang cermat terhadap novum atau bukti baru yang muncul. Penerapan prinsip officium trust (tugas yang dilaksanakan dengan kepercayaan) dalam konteks ini juga menunjukkan komitmen Mahkamah Agung dalam menjaga integritas peradilan dan memberikan putusan yang berimbang, mengingat hak-hak terdakwa dan kepentingan hukum masyarakat.

Berdasarkan pembahasan ini, terdapat beberapa rekomendasi untuk pengembangan sistem peradilan Indonesia, terutama terkait dengan penerapan prinsip-prinsip yang mendasari Peninjauan Kembali. Pertama, perlu adanya penegasan lebih lanjut mengenai kriteria dan prosedur penerimaan novum, agar terdapat kepastian hukum yang tidak merugikan pihak tertentu. Kedua, sistem peradilan perlu terus berkembang dengan mengedepankan aspek keadilan materiil, yang tidak hanya terfokus pada formalitas hukum, tetapi juga pada nilai-nilai keadilan yang lebih luas. Ketiga, penting untuk memperkuat pemahaman mengenai bagaimana novum yang diajukan dalam setiap kasus dapat memberikan pengaruh terhadap penerapan hukum yang lebih adil dan relevan dengan dinamika sosial serta filosofi hukum yang berkembang. Keempat, integrasi antara aspek aksiologi hukum dan teori hukum positif dalam praktek peradilan perlu ditingkatkan, dengan terus menciptakan ruang untuk inovasi dalam sistem hukum pidana Indonesia yang dapat menjaga keseimbangan antara penegakan hukum yang tegas dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Kelima, jika memang terbukti bahwa dakwaan primer tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan, maka putusan PK seharusnya memberikan kebebasan penuh kepada terpidana dari segala tuntutan hukum, sehingga tercapai keadilan yang substantif dan tidak sekadar formal. Keenam dan terakhir, situasi di mana ada perbuatan, tetapi bukan perbuatan pidana adalah “geen strafbaar feit” atau sebagai “bukan perbuatan pidana”, maka seharusnya putusan PK mempertimbangkan dengan merujuk pada kondisi di mana terpidana melakukan suatu tindakan yang secara faktual ada, tetapi tindakan terkait dengan penggunaan dan penerbitan covernote, yang merupakan dokumen administratif sementara tidak memenuhi unsur-unsur yang diperlukan untuk dianggap sebagai tindak pidana menurut hukum yang berlaku. Dengan kata lain, meskipun perbuatan tersebut dilakukan terpidana, perbuatan itu tidak memenuhi kriteria atau syarat hukum untuk dikenakan pidana, karena bisa saja tidak ada unsur melawan hukum atau tidak ada niat jahat (mens rea) yang terkait dengan tindakan tersebut. Tegasnya, putusan PK seharusnya menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana karena tidak memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Penerapan Novum Dalam Sistem Peradilan Indonesia
Penerapan mekanisme novum dalam proses Peninjauan Kembali (PK) memiliki peran yang sangat penting dalam memastikan tercapainya keadilan substantif. Konsep novum, yang mengacu pada bukti baru yang tidak diketahui sebelumnya dan dapat mengubah substansi suatu putusan, merupakan instrumen yang memungkinkan perbaikan atas keputusan yang telah dijatuhkan. Pasal 263 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan dasar hukum bagi penerimaan novum sebagai bukti yang relevan dalam proses peradilan, dengan tujuan untuk memperbaiki keputusan yang tidak mencerminkan kebenaran faktual yang sesungguhnya. Dalam hal ini, penerapan prinsip officium fideliter (tugas yang dilaksanakan dengan setia) dan officium nobile (tugas yang dilaksanakan dengan martabat) menjadi sangat relevan, karena pengadilan, khususnya Mahkamah Agung, diharapkan untuk bekerja dengan penuh kehati-hatian dan integritas dalam menilai novum yang diajukan, serta menegakkan prinsip officium trust (tugas yang dilaksanakan dengan kepercayaan) dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.

Pentingnya memperjelas kriteria dan prosedur penerimaan novum dalam proses Peninjauan Kembali untuk menghindari ketidakpastian hukum yang berpotensi merugikan pihak-pihak yang terlibat. Selain itu, sistem peradilan Indonesia perlu menegaskan perbedaan antara kesalahan administratif dan tindak pidana, sehingga kesalahan prosedural yang tidak merugikan hak-hak pihak lain dapat diakomodasi dengan bijaksana. Dalam konteks ini, prinsip in dubio pro reo yang mengutamakan keraguan untuk membebaskan terdakwa harus diintegrasikan lebih dalam dalam proses hukum, guna memastikan bahwa sistem hukum benar-benar memberikan keadilan substantif. Dengan demikian, penerapan novum tidak hanya berfungsi untuk memperbaiki keputusan hukum, tetapi juga untuk menciptakan keputusan yang lebih adil dan tepat, mencerminkan kebenaran faktual yang lebih komprehensif, dan menghindari ketidakadilan yang timbul akibat keterbatasan bukti pada saat sidang pertama. Hal ini akan berkontribusi terhadap pengembangan hukum yang lebih responsif dan dinamis dalam sistem peradilan pidana Indonesia.

Penerapan Prinsip Proportionality, Due Process Of Law, Dan Equality Before The Law
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5710 K/Pid-Sus/2023 terhadap Noname, seorang notaris yang terlibat dalam penyusunan dokumen covernote, menimbulkan permasalahan signifikan terkait penerapan prinsip keadilan substantif dalam hukum pidana Indonesia. Salah satu isu utama yang muncul adalah penerapan prinsip ultra petita, yaitu pemberian hukuman yang lebih berat daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang bertentangan dengan asas nullum crimen sine lege dan prinsip proportionality. Pemberian hukuman lebih berat ini melanggar prinsip principle of legality yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Putusan ini juga menggambarkan ketidaksesuaian antara hukum yang diterapkan dengan peran serta tanggung jawab yang seharusnya dipikul oleh terdakwa dalam kerangka keadilan substantif. Oleh karena itu, penerapan novum dalam pengajuan Peninjauan Kembali menjadi relevan untuk memperbaiki keputusan yang ada dengan memasukkan bukti baru yang dapat membuktikan bahwa Noname hanya menjalankan fungsi administratif tanpa keterlibatan langsung dalam tindak pidana korupsi, dan tidak menyebabkan kerugian negara.
Rekomendasi pembahasan ini adalah agar sistem peradilan Indonesia memberikan perhatian lebih terhadap prinsip proportionality dalam penjatuhan hukuman, terutama dalam kasus di mana terdakwa berperan administratif dan tidak menyebabkan kerugian yang signifikan. Selain itu, perlu diperkuat pengaturan tentang penerimaan novum dalam Peninjauan Kembali, untuk memastikan bahwa setiap putusan hukum yang telah dijatuhkan mencerminkan keadilan substantif. Novum yang relevan, seperti bukti bahwa Noname tidak terlibat langsung dalam kejahatan yang menyebabkan kerugian negara, seharusnya dipertimbangkan kembali dalam menentukan hukuman yang sesuai dengan peran terdakwa dalam peristiwa pidana tersebut. Penerapan prinsip ratio legis sangat penting agar setiap keputusan hukum tidak hanya didasarkan pada teks hukum yang kaku, tetapi juga pada nilai-nilai keadilan yang lebih luas, mengakomodasi aspek kemanusiaan dan proporsionalitas dalam hukum pidana.
Secara filosofis, penerapan hukum dalam kasus ini mencerminkan pentingnya memperhatikan aspek humanitarian law dalam menilai keadilan substantif, dengan mempertimbangkan faktor pribadi terdakwa, seperti kesehatan dan kondisi sosial. Hal ini sesuai dengan prinsip equality before the law yang termaktub dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menuntut perlakuan setara di hadapan hukum tanpa diskriminasi. Ketidaksetaraan dalam pemberian hukuman terhadap Noname, yang hanya menjalankan tugas administratif, menandakan adanya ketidakadilan dalam penerapan hukuman. Oleh karena itu, reformasi dalam sistem peradilan pidana Indonesia sangat diperlukan, dengan menekankan pada prinsip proportionality dan keadilan substantif yang lebih mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan serta kepentingan sosial yang lebih luas, untuk menciptakan keadilan yang lebih merata dan sesuai dengan hakikat hukum itu sendiri.

Dengan demikian, Putusan Mahkamah Agung No. 5710 K/Pid-Sus/2023 mengungkapkan pentingnya evaluasi mendalam dalam penerapan prinsip proportionality, due process of law, dan equality before the law dalam sistem peradilan Indonesia. Penerapan ultra petita dalam pemberian hukuman yang lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum serta penerapan novum dalam proses Peninjauan Kembali menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara hukum yang diterapkan dengan prinsip-prinsip keadilan substantif. Oleh karena itu, reformasi dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang mengedepankan keadilan substantif, prinsip proportionality, dan memperhatikan kondisi sosial serta kesehatan terdakwa sangat diperlukan untuk memastikan bahwa hukum tidak hanya berlaku secara formal, tetapi juga memenuhi nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi dasar utama dalam penegakan hukum yang adil dan berimbang (Lubis, 2024).
Putusan Mahkamah Agung No. 5710 K/Pid-Sus/2023 yang melibatkan notaris Noname dalam kasus korupsi perjanjian kredit senilai Rp 39,5 miliar mencerminkan penerapan hukum yang tidak adil dalam sistem hukum pidana Indonesia. Meskipun Noname hanya berperan sebagai pejabat administratif yang membuat akta perjanjian kredit, ia dijatuhi hukuman yang lebih berat dibandingkan pelaku utama yang secara langsung terlibat dalam penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara. Kasus ini memperlihatkan pelanggaran terhadap prinsip sentencing parity dan proportionality yang mengharuskan pemidanaan dilakukan berdasarkan peran dan kontribusi masing-masing individu dalam tindak pidana. Dalam hal ini, pemidanaan terhadap Noname bertentangan dengan prinsip keadilan substantif (substantive justice) yang mengedepankan nilai-nilai moral dan sosial, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan teori-teori kriminologi yang menekankan keadilan setara (Lubis, 2024).
Dalam kerangka sistem hukum pidana Indonesia, Peninjauan Kembali (PK) sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi remedium extraordinarium untuk mengoreksi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), apabila ditemukan keadaan baru (novum) yang relevan. Instrumen ini seharusnya berfungsi sebagai wujud pengejawantahan dari prinsip substantive justice, yang menekankan pada keadilan sejati dan bukan sekadar keadilan prosedural (formal justice). Namun, dalam implementasinya, banyak kendala konseptual dan praktis yang menghambat tercapainya keadilan substantif, terutama dalam kasus-kasus pidana yang menyentuh jabatan publik seperti notaris.
Putusan Mahkamah Agung No. 5710 K/Pid.Sus/2023, yang menghukum seorang notaris (Noname, S.H., M.Kn.) karena keterlibatannya dalam perkara korupsi kredit perbankan, menimbulkan problematika hukum yang mendalam, baik dari sudut pandang legal reasoning maupun dari sisi moralitas hukum. Notaris tersebut hanya menjalankan kewajiban administratif melalui penerbitan covernote, sebuah dokumen sementara yang digunakan dalam praktik hukum untuk memberikan jaminan informasi kepada kreditur mengenai status sertifikat tanah yang menjadi objek agunan. Meskipun tidak setara dengan akte otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata, covernote memiliki fungsi praktis yang signifikan dalam menjembatani kebutuhan transaksi yang belum rampung secara formal.

Penerbitan covernote oleh notaris, meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), tetap sah secara normatif karena bersumber dari prinsip rechtsvermoeden van bevoegdheid (dugaan wewenang yang sah) dan didasarkan pada Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN yang menekankan kehati-hatian dan kepatutan dalam pelaksanaan jabatan. Notaris dalam hal ini bertindak berdasarkan kebiasaan hukum (customary practice) yang telah berulang kali diakui oleh dunia perbankan dan lembaga keuangan. Namun, yang menjadi titik kritis adalah pengkualifikasian tindakan administratif ini sebagai perbuatan pidana, padahal mens rea atau niat jahat sebagai elemen utama dalam doktrin pertanggungjawaban pidana (criminal liability) tidak dapat dibuktikan secara sah. Dalam doktrin hukum pidana klasik, unsur actus reus harus selalu diiringi dengan mens rea agar suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Ketika hanya ada actus tanpa mens, maka terjadi pelanggaran terhadap asas nullum crimen sine culpa dan asas culpability.
Ketidakjelasan dalam penegakan hukum ini menciptakan ketimpangan yuridis dan mereduksi prinsip equality before the law, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Tidak hanya itu, penerapan sanksi pidana terhadap pejabat publik yang menjalankan tugas administratif tanpa keuntungan pribadi juga melanggar prinsip proportionality of punishment dan sentencing parity, yang menjadi tolak ukur penting dalam sistem hukum pidana modern. Dalam hal ini, analogi dengan praktik hukum internasional dapat digunakan, seperti yang diatur dalam European Court of Human Rights (ECHR), yang menekankan pada kesetaraan antara hukuman dan tingkat kesalahan individual. Dalam konteks putusan ini, terlihat adanya sentencing disparity yang mencolok, di mana peran notaris yang bersifat administratif diperlakukan setara dengan pelaku utama korupsi yang secara langsung mengakibatkan kerugian negara.

Secara filosofis, kasus ini mencerminkan benturan antara legal positivism, yang menitikberatkan pada penerapan hukum positif secara kaku, dan natural law theory, yang mengedepankan nilai keadilan universal sebagai sumber keabsahan hukum. Rasio legis dari hukum pidana adalah untuk menjaga ketertiban dan keadilan dalam masyarakat, bukan untuk menghukum secara sembarangan. Oleh karena itu, dalam perspektif axiological jurisprudence, hukum pidana harus diarahkan untuk menciptakan manfaat sosial maksimal (utilitarianism), sebagaimana diteorikan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Jika penerapan hukum pidana malah menimbulkan ketidakadilan yang mendalam terhadap individu yang tidak memiliki niat jahat, maka sistem hukum tersebut harus dievaluasi.
Dalam hal ini, peran novum menjadi penting sebagai dasar res judicata revisitation. Fakta baru berupa putusan perdata yang menyatakan bahwa tidak ada kerugian negara akibat penerbitan covernote harus dipandang sebagai dasar kuat untuk membatalkan putusan pidana yang sebelumnya dijatuhkan. Ini sejalan dengan prinsip favor defensionis dan in dubio pro reo, yang menyatakan bahwa keraguan harus diinterpretasikan untuk kepentingan terdakwa. Oleh karena itu, mekanisme PK harus diperlakukan sebagai bentuk legal corrective mechanism, bukan sekadar sarana formalistik yang terkungkung oleh rigiditas hukum positif. Dalam hal ini, PK menjadi simbol dari living law, hukum yang hidup dan berkembang berdasarkan keadilan aktual di masyarakat.

Selanjutnya, penting untuk mengelaborasi hubungan antar norma dalam kerangka systematic legal theory. Keberadaan Pasal 263 KUHAP harus dibaca bersama dengan Pasal 16 dan Pasal 37 UUJN serta Pasal 1868 KUHPerdata. Korelasi antar norma ini menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia menganut struktur hierarki terbuka, di mana norma dari berbagai cabang hukum saling berinteraksi. Dalam sistem ini, terjadi proses harmonisasi antara hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi kenotariatan. Hal ini menegaskan perlunya pendekatan interdisipliner dalam menganalisis persoalan hukum yang kompleks, sehingga tidak terjadi pemidanaan yang bertentangan dengan logika hukum yang sehat dan prinsip rechtsstaat.

Pemidanaan terhadap notaris dalam kasus ini menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia masih belum sepenuhnya mengadopsi pendekatan restorative justice, yang menekankan pemulihan atas kerugian dan hubungan sosial yang rusak, ketimbang balas dendam legalistik. Pemidanaan semestinya menjadi upaya terakhir (ultimum remedium) dan bukan jalan pertama. Penerapan sanksi administratif oleh organisasi profesi atau otoritas pengawas, seperti pencabutan izin, teguran, atau penonaktifan sementara, harus didahulukan sesuai prinsip lex specialis derogat legi generali. Dalam konteks jabatan notaris, UUJN sebagai lex specialis seharusnya memiliki peran dominan dibandingkan instrumen hukum pidana umum.
Pada akhirnya, pendekatan hukum pidana yang humanis dan kontekstual sangat diperlukan. Negara tidak boleh menghukum seseorang yang hanya menjalankan tugas berdasarkan prosedur yang berlaku tanpa adanya niat jahat, terlebih jika tidak terbukti adanya kerugian riil. Dengan menggunakan prinsip geen strafbaar feit zonder schuld, maka pelaku tanpa kesalahan tidak layak dikenakan pidana. Dalam hal ini, PK merupakan jalan untuk mengoreksi dan mengembalikan keadilan substantif kepada yang semestinya. Sistem hukum Indonesia harus merefleksikan dinamika nilai sosial yang berkembang dan menjadikan hukum sebagai sarana social engineering yang adaptif terhadap keadilan sosial.

Kesimpulan
Pertama, penerapan hukum pidana terhadap notaris dalam kasus covernote sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Agung No. 5710 K/Pid.Sus/2023 mencerminkan adanya legal misdirection dalam memahami peran administratif notaris. Ketiadaan mens rea serta tidak adanya kerugian negara menunjukkan bahwa penerapan pidana terhadap notaris dalam hal ini tidak memenuhi unsur pidana secara hukum maupun filosofis. Dalam konteks ini, mekanisme PK yang mempertimbangkan novum menjadi sangat penting untuk mengembalikan keseimbangan keadilan.
Kedua, kajian ini menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia masih menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan prinsip legal certainty, justice, dan expediency. Pemidanaan terhadap perbuatan administratif tanpa itikad jahat menyalahi prinsip nulla poena sine culpa dan due process of law. Oleh karena itu, perlu ada pembaruan hukum (legal reform) terhadap mekanisme pemidanaan dalam profesi notaris agar lebih adaptif dan proporsional, termasuk melalui penguatan regulasi terkait penggunaan covernote dalam UUJN.
Ketiga, subtansi dari kajian ini terletak pada dorongan untuk memperluas ruang lingkup substantive justice dalam hukum pidana Indonesia melalui pembacaan normatif dan filosofis atas hubungan antara norma-norma lintas sektoral. Dalam kerangka hukum yang ideal, PK tidak boleh dipandang sebagai judicial redundancy, melainkan sebagai sarana koreksi berkeadilan terhadap putusan yang keliru. Dengan demikian, sistem hukum Indonesia dapat bergerak menuju sistem hukum yang lebih just, equitable, and humane.

Tabel Analisis Hukum
Topik Rujukan Dasar Hukum Variabel Hukum Parameter yang Relevan Tinjauan Kritis Keterangan
Covernote dalam Praktik Kenotariatan – UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN), khususnya Pasal 15 ayat (1)
– Prinsip living law dalam hukum Indonesia – Fleksibilitas hukum
– Legalitas dokumen kenotariatan
– Ratio legis UUJN – Tidak diatur eksplisit dalam UUJN
– Berfungsi memberi kepastian sementara
– Tidak setara dengan akta autentik Praktik penggunaan Covernote menunjukkan fleksibilitas hukum yang adaptif terhadap kebutuhan masyarakat, tetapi berpotensi menyebabkan ketidakpastian hukum karena tidak adanya dasar hukum eksplisit. Kajian ini menunjukkan pentingnya living law dalam pengisian celah hukum, serta urgensi pembaruan regulasi agar memberikan kepastian hukum bagi dokumen non-akta yang sering digunakan dalam praktik.
Perlindungan Hukum terhadap Notaris dalam Sistem Peradilan Pidana – Putusan MA No. 5710 K/Pid-Sus/2023
– UUD 1945 Pasal 27 ayat (1)
– UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA (Pasal 67 huruf b)
– SEMA No. 4 Tahun 2016 – Due process of law
– Ultra petita
– Equality before the law
– Officium nobile, officium fideliter – Tidak adanya bukti kerugian negara
– Putusan melebihi tuntutan JPU
– Bukti baru (novum) sebagai dasar PK Putusan MA melanggar asas due process dan equality before the law. Notaris dijadikan objek pemidanaan tanpa pembuktian yang sah. Ini menunjukkan penyimpangan dari prinsip hukum dan mengganggu kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Mengangkat kebutuhan mendesak akan perlindungan hukum struktural dan substansial terhadap notaris sebagai pejabat publik, serta urgensi mereformasi praktik pemidanaan yang tidak berbasis pembuktian sah.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Perlindungan hukum terhadap notaris di Indonesia menjadi isu sentral yang perlu mendapatkan perhatian serius. Notaris sebagai pejabat publik memegang peranan yang sangat penting dalam pembuatan akta otentik dan penyelenggaraan pelayanan hukum kepada masyarakat. Tugas yang diemban oleh notaris memiliki risiko besar, baik dari potensi sengketa hukum dengan pihak ketiga maupun akibat kelalaian atau kesalahan administratif dalam pembuatan akta. Oleh karena itu, perlindungan hukum yang memadai bagi notaris dalam melaksanakan tugasnya sangat penting untuk menjaga independensi dan integritas profesi ini.
Berdasarkan analisis terhadap regulasi yang ada, seperti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, ditemukan bahwa meskipun terdapat ketentuan hukum yang mengatur jabatan notaris, masih terdapat celah dalam perlindungan hukum terhadap notaris yang menghadapi risiko hukum, terutama terkait dengan kesalahan atau kelalaian dalam pelaksanaan tugasnya. Oleh karena itu, diperlukan pembaruan regulasi yang dapat memperkuat perlindungan terhadap notaris dalam menghadapi gugatan hukum yang timbul akibat kesalahan administratif dalam pembuatan akta. Dalam konteks ini, prinsip rule of law dan due process of law harus dijaga tidak hanya dalam melindungi hak-hak masyarakat, tetapi juga dalam memberikan perlindungan terhadap pejabat publik seperti notaris yang memiliki tanggung jawab berat dalam menjalankan profesinya.

Dalam perspektif yuridis, variabel hukum yang relevan dalam pembahasan ini mencakup peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan notaris, baik secara substantif maupun prosedural. Di antaranya adalah kewajiban notaris untuk menjaga kerahasiaan data, melakukan verifikasi yang teliti terhadap data yang diterimanya, serta tanggung jawab terhadap keabsahan dokumen yang dibuatnya. Meski demikian, pengawasan terhadap pelaksanaan tugas notaris masih perlu diperkuat. Sebagai contoh, dalam konteks covernote, dokumen administratif sementara yang sering digunakan dalam transaksi hukum, perlu adanya penegasan mengenai kedudukannya dalam sistem hukum Indonesia agar tidak disalahartikan sebagai dokumen dengan kekuatan hukum yang setara dengan akta notaris. Ambiguitas semacam ini dapat merusak independensi profesi notaris dan menyebabkan ketidakpastian hukum bagi notaris yang terlibat dalam proses pembuatan dokumen.
Dari segi filosofi hukum, pembahasan ini menekankan pentingnya mengintegrasikan prinsip legal certainty (kepastian hukum) dan protection of rights (perlindungan hak). Sebagai pejabat publik, notaris seharusnya diberikan perlindungan hukum yang memadai, termasuk akses terhadap pendampingan hukum apabila menghadapi tuntutan hukum terkait dengan akta yang dibuatnya. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar pacta sunt servanda, yaitu bahwa setiap kontrak atau perjanjian yang dibuat secara sah oleh pihak-pihak yang berkompeten harus dihormati dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, untuk memastikan notaris dapat menjalankan tugasnya dengan penuh integritas, perlu ada pengaturan yang lebih jelas dan komprehensif mengenai perlindungan hukum yang diberikan kepada profesi ini.

Sebagai rekomendasi pertama, perlu adanya pembaruan dalam regulasi yang mengatur jabatan notaris untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih komprehensif. Salah satunya adalah dengan memperkuat mekanisme perlindungan bagi notaris yang menghadapi gugatan hukum atau tuntutan yang timbul akibat kesalahan dalam menjalankan tugasnya. Perlindungan tersebut harus mencakup adanya pendampingan hukum bagi notaris dalam menghadapi proses hukum yang mungkin terjadi akibat sengketa perdata atau pidana yang melibatkan akta yang dibuatnya. Selain itu, perlu adanya sistem pengawasan yang lebih jelas untuk memastikan bahwa tugas notaris dapat dijalankan dengan penuh tanggung jawab tanpa rasa takut akan risiko hukum yang tidak adil.
Selain itu, dalam menghadapi ketidakjelasan terkait covernote, perlu ada penegasan bahwa dokumen ini hanya berfungsi sebagai instrumen administratif sementara dan tidak dapat dipergunakan sebagai dasar penuntutan pidana, kecuali jika terbukti ada unsur penipuan atau pelanggaran hukum lainnya yang melibatkan notaris. Penegasan ini penting untuk menjaga independensi notaris dan mengurangi ambiguitas yang dapat merugikan profesi ini. Prinsip nullum crimen sine lege yang mengharuskan adanya aturan hukum yang jelas sebelum seseorang dapat dipidana perlu ditegakkan untuk menghindari penerapan hukum yang tidak semestinya terhadap profesi notaris.

Rekomendasi lainnya adalah untuk memperjelas peran dan tanggung jawab setiap pihak yang terlibat dalam proses pembuatan perjanjian, termasuk notaris. Pembenahan ini tidak hanya penting dari sisi legal-formal, tetapi juga krusial dalam mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum Indonesia yang lebih transparan, adil, dan proporsional. Hal ini sangat relevan dengan prinsip aequitas (keadilan), yang menuntut agar setiap tindakan hukum, termasuk yang dilakukan oleh notaris, harus dipertimbangkan dengan memperhatikan konteks sosial dan moral yang ada.

Dengan memperhatikan aspek aksiologi hukum, perlu dicatat bahwa penerapan sistem hukum di Indonesia harus mengedepankan keadilan substantif, yang lebih menekankan pada nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas dalam pelaksanaan hukum, daripada hanya terpaku pada formalitas prosedural semata. Hal ini sejalan dengan filosofi hukum officium fideliter dan officium nobile, yang menekankan tanggung jawab moral dan profesional seorang notaris dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, penegakan hukum terhadap notaris harus mengedepankan keseimbangan antara penegakan sanksi pidana dan penghormatan terhadap hak-hak profesi yang dimilikinya sebagai pejabat publik.
Akhirnya, pembahasan ini menekankan bahwa sistem hukum Indonesia perlu memberikan perlindungan hukum yang lebih memadai bagi notaris untuk menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan tanpa takut terhadap tuntutan hukum yang tidak berdasar. Selain itu, penting untuk memperjelas kedudukan hukum covernote dan memastikan bahwa dokumen ini tidak disamakan dengan akta notaris dalam konteks hukum pidana. Perlindungan hukum terhadap notaris harus dijaga melalui penguatan regulasi yang ada dan pemberian pendampingan hukum yang efektif. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan sistem hukum Indonesia dapat mencapai keseimbangan antara perlindungan hak-hak masyarakat dan penghargaan terhadap hak-hak jabatan notaris, serta memperkuat posisi notaris sebagai aktor kunci dalam sistem peradilan dan pembuatan dokumen hukum yang sah. []

Daftar Pustaka
Abdillah, Muhammad Nur Fikri. 2024. “Etika Profesi Hukum Notaris Ditinjau Dari Pemikiran Tiga Nilai Dasar Hukum Gustav Radbruch.” Jurnal Ilmiah Nusantara 1(4):208–2016. doi: https://doi.org/10.61722/jinu.v1i4.1702.
Anuddin, Ihramsyah, dan Edi Siswanto. 2024. “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014.” Future Academia : The Journal of Multidisciplinary Research on Scientific and Advanced 2(4):684–90. doi: 10.61579/future.v2i4.239.
Apriliani, Karen, dan Fully Handayani Ridwan. 2024. “Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Penerima Protokol Notaris Lain Yang Telah Meninggal Dunia.” Unes Law Review 7(2):708–20. doi: https://doi.org/10.31933/unesrev.v7i2.2357.
Arianto, Martin Rich, dan Gunawan Djajaputra. 2025. “Perlindungan Hukum Bagi Pihak Ketiga dalam Sengketa Akta Autentik (Kajian Terhadap Tanggung Jawab Notaris).” Ranah Research : Journal of Multidisciplinary Research and Development 7(2):786–91. doi: https://doi.org/10.38035/rrj.v7i2.
Baskara, Gede Indra Fredy, I. Made Pria Dharsana, dan Ni Gusti Ketut Sri Astiti. 2024. “Covernote Notaris dalam Perjanjian Kredit Perspektif Hukum Jaminan (Studi Kasus PN Kab. Kediri Nomor 107/Pdt.G/2020/PN Gpr).” Jurnal Analogi Hukum 6(1):39–43. doi: 10.22225/jah.6.1.2024.39-43.
Dino Rafly Priatna. 2024. “Dasar Kewenangan Notaris dalam Membuat Covernote.” Aliansi: Jurnal Hukum, Pendidikan dan Sosial Humaniora 1(4):342–51. doi: 10.62383/aliansi.v1i4.331.
Diva Murbarani, Annisa, dan Beatrix Benni. 2024. “Pertimbangan Penyidik Dalam Penetapan Notaris Sebagai Tersangka Pada Tindak Pidana Korupsi Kredit Fiktif Perbankan.” Unes Journal of Swara Justisia 8(3):689–97. doi: 10.31933/qx7qqh24.
Dwestyola, Cinantya, dan Nada Amira. 2024. “Tanggung Jawab Notaris dalam Menjalankan Persekutuan Perdata Notaris.” Majelis: Jurnal Hukum Indonesia 1(4):102–12. doi: https://doi.org/10.62383/majelis.v1i4.328.
Faisal Makna, Muhammad. 2024. “Kedudukan Ikatan Notaris Indonesia sebagai Organisasi Profesi untuk Profesi Notaris di Indonesia.” El-Mujtama: Jurnal Pengabdian Masyarakat 4(6). doi: 10.47467/elmujtama.v4i6.4573.
Farhan, Amanullah Muhammad Noor. 2025. “Analisis tanggung jawab saksi instrumenter dalam hal ikut serta menjaga kewajiban notaris melindungi kerahasiaan isi akta otentik.” Jurnal Ilmiah Hukum 4(1):9–27. doi: https://doi.org/10.55904/cessie.v4i1.1427.
Feonda, Fenny Allisha. 2024. “Akibat Hukum Pencairan Kredit Yang Didasarkan Pada Covernote Yang Berdampak Menimbulkan Kerugian Keuangan Negara (studi Putusan Nomor 1233 K/Pid.sus/2019).” Andalas Notary Journal 1(2):210–22.
Ginting, M. Hendra Pratama, dan Rica Gusmarani. 2025. “Peran dan Tanggung Jawab Notaris dalam Melindungi Pihak Ketiga Terkait dengan Pembuatan Akta Otentik.” Jurnal Kolaboratif Sains, 8(1):691–95. doi: 10.56338/jks.v8i1.6681.
Hafudz, Ma’ruf, dan Sri Lestari Poernomo. 2024. “Efektivitas Hukum Terkait Besaran Honorarium Notaris Dalam Pembuatan Akta.” Journal of Lex Theory 5(2):496–510.
Karma Resen, Made Gde Subha. 2023. “Surat Keterangan Notaris Dalam Konteks Labeling Cover Note.” Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) 12(2):330. doi: 10.24843/JMHU.2023.v12.i02.p08.
Lubis, Ikhsan. (2020, September 6). Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Notaris. DOMAIN HUKUM. https://domainhukum.com/2020/09/06/penerapan-prinsip-mengenali-pengguna-jasa-notaris/
Lubis, Ikhsan. (2021, Desember 19). Paradigma Notaris sebagai Pejabat Umum. DOMAIN HUKUM. https://domainhukum.com/2021/12/19/paradigma-notaris-sebagai-pejabat-umum/
Lubis, Ikhsan. (2024, Juli 10). Transformasi Pelaksanaan Fungsi, Tugas dan Kewenangan Pembinaan dan Pengawasan Terhadap Jabatan Notaris. DOMAIN HUKUM. https://domainhukum.com/2024/07/10/transformasi-pelaksanaan-fungsi-tugas-dan-kewenangan-pembinaan-dan-pengawasan-terhadap-jabatan-notaris/
Lubis, Ikhsan. (2024, November 6). Penerbitan Covernote dalam Sistem Hukum Indonesia. DOMAIN HUKUM. https://domainhukum.com/2024/11/06/penerbitan-covernote-dalam-sistem-hukum-indonesia/
Lubis, Ikhsan, & Lubis, A. H. (2024, November 13). Paradigma Baru RUU Hukum Acara Perdata. DOMAIN HUKUM. https://domainhukum.com/2024/11/13/paradigma-baru-ruu-hukum-acara-perdata/
Lubis, Ikhsan. (2025, Januari 21). Peran Legal Certainty dan Corporate Governance dalam Rekonsiliasi Kepengurusan Organisasi Ikatan Notaris Indonesia. DOMAIN HUKUM. https://domainhukum.com/2025/01/21/peran-legal-certainty-dan-corporate-governance-dalam-rekonsiliasi-kepengurusan-organisasi-ikatan-notaris-indonesia/
Lubis, Ikhsan, Duma Indah Sari Lubis, dan Andi Hakim Lubis. 2025a. “Rekonstruksi Hukum Cyber Notary Law Untuk Menjaga Kepercayaan, Integritas dan Keadilan Dalam Sistem Hukum.” Notaire 8(1):65–82. doi: 10.20473/ntr.v8i1.64253.
Lubis, Ikhsan, Duma Indah Sari Lubis, dan Andi Hakim Lubis. 2025b. “Rekonstruksi Hukum Cyber Notary Law Untuk Menjaga Kepercayaan, Integritas dan Keadilan Dalam Sistem Hukum.” Notaire 8(1):65–82. doi: 10.20473/ntr.v8i1.64253.
Lubis, Ikhsan, Tarsisius Murwadji, Sunarmi Sunarmi, dan Detania Sukarja. 2023. “Legal Consequences of Making a Notary’s Cover Note in the Implementation of Notary’s Duties.” SASI 29(3):557. doi: 10.47268/sasi.v29i3.1292.
Lubis, Ikhsan, Taufik Siregar, Duma Indah Sari Lubis, dan Andi Hakim Lubis. 2024. “Transformasi Penegakan Prinsip Tabellionis Officium Fideliter Exercebo Bagi Jabatan Notaris Dari Mesir Kuno Hingga Sistem Hukum Indonesia.” Law Jurnal 5(1):1–11. doi: 10.46576/lj.v5i1.5494.
Lusia, Liana Tirta Anda. 2024. “Kewenangan Dan Tanggungjawab Notaris Atas Penerbitan Covernote Yang Klausulnya Tidak Sesuai Dengan Fakta Sebenarnya (studi Kasus Putusan Nomor 3801 K/Pid.sus/2022).” Jurnal Prisma Hukum 8(12):121–28.
Malini, Malini, Dijan Widijowati, dan Yurisa Martanti. 2023. “Kepastian Hukum isi Surat Keterangan (Covernote) Terhadap Objek yang diproses Berdasarkan Akta yang dibuat oleh Notaris.” Jurnal Multidisiplin Indonesia 2(2):337–55. doi: 10.58344/jmi.v2i2.164.
Medianto, Mukhlisa Ilman Nafiah, dan Aad Rusyad Nurdin. 2024. “Keabsahan Covernote Yang Dikeluarkan Oleh Notaris Dalam Perjanjian Kredit Yang Digunakan Untuk Pencairan Kredit.” Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora 7(2):437–46.
Nadeak, Larasati Angelica, Hasim Purba, dan Rudy Haposan Siahaan. 2024. “Tanggung Jawab Hukum Atas Covernote Yang Dikeluarkan Oleh Notaris Dalam Perjanjian Kredit.” Kultura: Jurnal IlmuHukum, Sosial, dan Humaniora 2(10):726–36.
Nurarifah, Raden Ajeng Herning, dan Luqman Hakim. 2024. “Perlindungan Hukum Dari Negara Terhadap Notaris Yang Diakui Sebagai Officium Nobile.” Socius: Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial 1(9):100–104. doi: 10.5281/ZENODO.11067821.
Nurhadi, Dedi. 2024. “Kepastian Hukum Terhadap Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Pewarisan Berdasarkan Akta Pembagian Hak Waris.” Jurnal Hukum Sasana 10(2):191–204. doi: 10.31599/sasana.v10i2.2980.
Nurwahjuni, Yuniarti, dan Felia Ramadhanty Waluyo. 2024. “Perlindungan Hukum Bagi Notaris Dalam Menerapkan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Terhadap Keterangan yang Diperolehnya Dalam Pembuatan Akta.” Notaire 7(3):445–62. doi: 10.20473/ntr.v7i3.60321.
Nurwianti, Wiwin, Rielly Lontoh, dan Amelia Nur Widyanti. 2025. “Tanggung Jawab Notaris Terkait Minuta Akta Yang Hilang Ditinjau Dari Undang-Undang Jabatan Notaris.” Journal of Innovation Research and Knowledge 4(10):7515–24.
Oetomo, Ivana Budiani, dan Pieter E. Latumeten. 2024. “Notaris Sebagai Subyek Hukum Pidana Dalam Sistem Peradilan Indonesia.” Jurnal Ilmiah Galuh Justisi 12(2):209. doi: 10.25157/justisi.v12i2.12803.
Phasya, Reza Fadli, dan Hasim Purba. 2025. “Analisis Yuridis Tanda Tangan Terhadap Akta Penjualan Dan Pembelian Yang Dibuat Oleh Notaris (studi Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 641/Pdt/2022/Pt Mdn).” Juris Prudentia: Jurnal Hukum Ekselen 7(1):14–30.
Poetra, Dewatoro Suryaningrat, Fendi Setyawan, dan Bhim Prakoso. 2024. “Perbandingan Hukum Tugas dan Kewenangan Notaris di Negara dengan Sistem Hukum Civil Law dan Common Law.” As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga 6(3):1465–77. doi: 10.47467/as.v6i3.6796.
Pratama, Erick, Nursyamsi Ichsan, dan Andi Fatmawaty Syam. 2024. “Peran Notaris/PPAT Dalam Jual Beli Tanah Dan Bangunan Dengan Sistem Kredit Melalui Pembiayaan Bank Di Kabupaten Luwu Timur.” Vifada Assumption Journal of Law 2(2):26–39. doi: 10.70184/61pp0553.
Puspitasari, Maridza, dan Siti Malikhatun Badriyah. 2024. “Pertanggungjawaban Notaris dalam Akta Perjanjian Agar Mempunyai Kepastian Hukum.” Notarius 17(3):2143–58. doi: https://doi.org/10.14710/nts.v17i3.57707.
Putra, Restu Adi, Dominikus Rato, Bayu Dwi Anggono, dan Gentur Cahyo Setiono. 2024. “Pertanggung Jawaban Notaris Terhadap Penerbitan Covernote Ditinjau Dari Perspektif Undang-Undang Jabatan Notaris.” UNES Law Review 6(3):8729–35. doi: 10.31933/unesrev.v6i3.1772.
Rahmayanthi, Gayatri. 2024. “Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Pengganti Terkait Pemanggilan Dirinya Atas Akta Yang Dibuatnya Terlibat Dalam Proses Peradilan.” Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan 9(3):586–99. doi: 10.24843/AC.2024.v09.i03.p10.
Robed, Gede Odhy Suryawiguna, dan I. Gede Yusa. 2024. “Kewenangan Notaris Dalam Menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasanya Pada Permenkumham Nomor 9 Tahun 2017.” Jurnal Interpretasi Hukum 5(2):994–1002. doi: 10.22225/juinhum.5.2.10467.994-1002.
Rohmah, Nadia Siti, Cicilia Julyani Tondy, dan Anriz Nazaruddin Halim. 2023. “Perlindungan Hukum Kreditur Atas Surat Keterangan Notaris/Covernote Terhadap Proses Pencairan Kredit.” SENTRI: Jurnal Riset Ilmiah 2(9):3766–78. doi: 10.55681/sentri.v2i9.1531.
Salsabila, Lolita, Dhimas Nur M. Ruata, dan Kren Saesar Tauhid Akbar. 2024. “Akibat Hukum Pemberhentian Tidak Hormat Kepada Notaris Terhadap Akta-Akta yang Telah Dibuatnya.” UNES Law Review 7(1):208–19. doi: https://doi.org/10.31933/unesrev.v7i1.
Satria Trisna, Iqbal, Iyah Faniyah, dan Laurensius Arliman. 2024. “Pertanggungjawaban Hukum Notaris Atas Penerbitan Covernote.” Jurnal Sakato Ekasakti Law Review 3(3):110–22. doi: 10.31933/7s125m44.
Sean, Cedric, Novyta Uktolseja, dan Nancy Silvana Haliwela. 2023. “Kekuatan Hukum Covernote Notaris Dalam Proses Takeover Perjanjian Kredit.” KANJOLI Bisiness Law Review 1(2):113–24. doi: https://doi.org/10.47268/kanjoli.v1i2.12082.
Sembiring, Riani. 2024. “Kedudukan Covernote yang Dibuat oleh Notaris.” Jurnal Ilmu Hukum, Humaniora Dan Politik 4(5):1213–21. doi: https://doi.org/10.38035/jihhp.v4i5.2199.
Setyawan, Muhammad Adry, dan Ery Agus Priyono. 2024. “Analisis Yuridis Pasal 3 huruf h dan Pasal 13 Undang-Undang Jabatan Notaris Ditinjau dari Perspektif UUD 1945 dan Asas Hukum.” JIIP – Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan 7(8):8577–85. doi: 10.54371/jiip.v7i8.5040.
Sigit Kamseno. 2023. “Jurnal Hukum Makna Asas Legalitas Sebagai Pengakuan Terhadap Hukum Pidana Adat dan Penerimaan Norma-Norma Hukum Tradisonal.” ALADALAH: Jurnal Politik, Sosial, Hukum dan Humaniora 1(2):357–66. doi: 10.59246/aladalah.v1i2.1060.
Sinaga, Nikson Rinaldi, dan Bambang Eko Turisno. 2024. “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Covernote yang Dibuat Sebagai Pengganti Jaminan Atas Utang.” Notarius 17(2):625–42. doi: https://doi.org/10.14710/nts.v17i2.49143.
Sipayung, Sonia Christy. 2025. “Peran Etika Profesi Notaris Dalam Pembuatan Akta.” Jurnal Rectum 7(1):209–16. doi: http://dx.doi.org/10.46930/jurnalrectum.v7i1.5400.
Siregar, Muqtashidin Hidayat, dan Henry Sinaga. 2024. “Analisis Sanksi Bagi Notaris Yang Melakukan Pelanggaran Kode Etik Dalam Undang- Undang Jabatan Notaris (studi Putusan Nomor:491/Pdt/2022/Pt.mdn).” Buletin Konstitusi 5(1):14–51. doi: https://doi.org/10.30596/konstitusi.v5i1.19717.
Sterisa, Raden Roro Nadia, dan Achmad Arifulloh. 2025. “Legal Force of Electronic Signatures as a Valid Evidence in Authentic Deeds.” TABELLIUS Journal of Law 3(1):50–70.
Tabitha, Jeane Grace, dan Ocha Nirmala Sari. 2025. “Covernote Dalam Perjanjian Jaminan Hak Tanggungan.” Jurnal Ilmu Hukum 2(2):335–39. doi: https://doi.org/10.62017/syariah.v2i2.3893.
Talango, Asfariyani A., Roy Marthen Moonti, dan Ibrahim Ahmad. 2025. “Etika Profesi Notaris dalam Perspektif Hukum.” Sosial Simbiosis: Jurnal Integrasi Ilmu Sosial dan Politik 2(1):77–88. doi: https://doi.org/10.62383/sosial.v2i1.1255.
Thyawarta, Charlie, dan Markoni. 2024. “Studi Kasus Pertanggungjawaban Hukum Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik Ditinjau Dari Prinsip Kehati-Hatian.” Jurnal Review Pendidikan dan Pengajaran 7(1):1791–1800. doi: https://doi.org/10.31004/jrpp.v7i1.25443.
Yusrizal, Muhammad. 2024. “Peran Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam Pendirian Dan Perubahan Badan Hukum Koperasi.” Sanksi 3(1):348–59.
Zulfa, Azkiya Auliya. 2024. “Penyalahgunaan Keadaan Oleh Notaris Dalam Pembuatan Covernote Sebagai Condition Precedence Pencairan Kredit.” Jurnal Kertha Semaya 12(5):858–69. doi: https://doi.org/10.24843/KS.2024.v12.i05.p08.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed