oleh

Opini: Paula Verhoeven

Perceraian antara pesohor Baim Wong dan Paula Verhoeven menyisakan sebuah pertanyaan: apakah memang demikian kasar sebuah akhir persidangan sebuah perceraian? Pertanyaan ini kita lontarkan terutama pada hakim yang memutus dan pihak-pihak, termasuk mantan suami Paula, Baim Wong yang pernyataannya menggiring publik untuk menistakan mantan istrinya, ibu dari dua anaknya.

Satu hari setelah majelis hakim memutus Paula sebagai istri durhaka -demikian menurut hakim- publik dikejutkan dengan hasil dari persidangan yang menyebut Paula terkena HIV -sesuatu yang tentu saja menyudutkan Paula dan menimbulkan banyak pertanyaan: apakah ini benar atau sebuah kebohongan. Dalam sistem peradilan yang bobrok ini -seperti diperlihatkan tiga hakim PN Jakarta Selatan yang ditangkap kejaksaan karena menerima suap puluhan miliar rupiah dalam kasus ekspor minyak sawit, publik bisa bertanya juga, sejauh mana kejujuran hakim dalam menyidangkan kasus perceraian Baim-Paula itu.

Persidangan perceraian adalah sebuah persidangan yang tertutup karena menyangkut kerahasiaan sebuah pasangan. Dampak dari perceraian, yang paling terluka adalah anak. Karena itulah hasil persidangan, fakta persidangan yang bisa saja membuka aib seseorang harus ditutup rapat. Dalam era digital seperti sekarang, semua jejak perceraian Baim dan Paula kelak akan bisa dilihat, dibaca atau dilacak anak mereka. Dalam titik ini yang sangat rugi adalah Paula. Dapatkah kita bayangkang apa yang terjadi dalam anak mereka jika ia menelan mentah-mentah informasi ibu mereka mengidap HIV.
Kita belum tahu apakah Paula memang mengidap HIV atau tidak. Bisa saja itu tidak benar. Kalau pun benar, bisa saja itu karena hal lain -bukan karena hubungan seksual, hal yang selalu diasosiakan demikian. Atau bisa saja semua adalah rekayasa.

Kita sesalkan putusan, diksi majelis hakim yang demikian vulgar, menggunakan idiom “durhaka” untuk Paula, predikat yang menunjuk istri benar-benar tak layak diampuni, wanita nista. Perceraian adalah hal tidak akan pernah dikehendaki oleh pasangan yang sejak awal memimpikan rumah tangga yang harmonis. Kecuali jika salah satu pasangan tersebut, dalam perjalanannya kemudian memiliki tujuan lain. Dan untuk tujuan itu ia bisa melampiaskan dengan segala cara yang disusun tidak hanya untuk menendang pasangannya juga menghukum dan memperhinakan pasangannya seumur hidup. Kita melihat hakim terikut gendang ini. (domainhukum.com)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed