oleh

Artikel: Meningkatkan Peran Komisi Yudisial

-OPINI-370 views

PENINGKATAN PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM MEWUJUDKAN PERADILAN YANG BERKEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

 Oleh :
Dr. KRA. MJ. Widijatmoko SH Sp.N
Dosen Universitas Djuanda Bogor

Abstrak

Makalah ini menganalisis urgensi peningkatan peran Komisi Yudisial (KY) dalam mewujudkan peradilan yang berkeadilan di Indonesia, dengan landasan filosofis Ketuhanan Yang Maha Esa. Peradilan yang bersih, mandiri, dan berintegritas adalah pilar utama negara hukum.

Namun, tantangan seperti korupsi, intervensi, dan rendahnya moralitas hakim masih menjadi hambatan. KY, sebagai lembaga pengawas eksternal, memiliki peran krusial dalam menjaga kehormatan dan martabat hakim serta menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Makalah ini membahas bagaimana prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menekankan keadilan, kejujuran, dan pertanggungjawaban moral, dapat menjadi fondasi spiritual bagi peradilan yang berkeadilan.

Selanjutnya, diuraikan strategi peningkatan peran KY, termasuk penguatan kewenangan, peningkatan kapasitas, dan sinergi dengan lembaga lain, demi terwujudnya peradilan yang tidak hanya adil secara prosedural tetapi juga bermoral dan berintegritas.

1. Pendahuluan.

1.1 Latar Belakang Masalah.

Peradilan merupakan salah satu pilar utama dalam menegakkan hukum dan keadilan di sebuah negara. Di Indonesia, cita-cita peradilan yang merdeka, mandiri, dan berintegritas telah diamanatkan oleh konstitusi.

Namun, realitas menunjukkan bahwa sistem peradilan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan serius, mulai dari isu korupsi, intervensi kekuasaan, hingga dugaan pelanggaran kode etik oleh oknum hakim. Kondisi ini meruntuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, padahal peradilan yang kredibel adalah prasyarat mutlak bagi tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia.

Komisi Yudisial (KY) didirikan sebagai respons terhadap kebutuhan akan pengawasan eksternal terhadap perilaku hakim. KY memiliki mandat untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Namun, dalam perjalanannya, peran KY seringkali masih dianggap belum optimal dan menghadapi berbagai kendala, baik dari sisi kewenangan, sumber daya, maupun dukungan politik.

Di sisi lain, Pancasila sebagai dasar negara menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Prinsip ini tidak hanya relevan dalam konteks kehidupan beragama, tetapi juga harus menjadi landasan moral dan etika bagi seluruh penyelenggaraan negara, termasuk dalam praktik peradilan. Keadilan yang sejati, dalam perspektif Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak hanya berarti keadilan prosedural berdasarkan hukum positif, tetapi juga keadilan substantif yang berlandaskan pada nilai-nilai moral, kejujuran, dan pertanggungjawaban spiritual.

Oleh karena itu, peradilan yang berkeadilan harus senantiasa mencerminkan nilai-nilai luhur Ketuhanan Yang Maha Esa.

1.2 Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peran Komisi Yudisial dalam menjaga kehormatan dan martabat hakim serta menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim di Indonesia?
2. Bagaimana prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dapat menjadi landasan filosofis dan etis bagi peradilan yang berkeadilan?
3. Strategi apa yang dapat ditempuh untuk meningkatkan peran Komisi Yudisial dalam mewujudkan peradilan yang berkeadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa?

1.3 Tujuan Penelitian.

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
* Menganalisis peran Komisi Yudisial dalam menjaga kehormatan dan martabat hakim serta menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim di Indonesia.
* Menjelaskan relevansi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan filosofis dan etis bagi peradilan yang berkeadilan.
* Merumuskan strategi peningkatan peran Komisi Yudisial dalam mewujudkan peradilan yang berkeadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

1.4 Manfaat Penelitian.

Manfaat dari penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi:
* Secara Teoritis: Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum tata negara dan etika profesi hukum, serta memperkaya kajian mengenai peran Komisi Yudisial.
* Secara Praktis: Memberikan rekomendasi konkret bagi perumusan kebijakan terkait penguatan Komisi Yudisial dan peningkatan kualitas peradilan di Indonesia.
* Bagi Masyarakat: Meningkatkan pemahaman publik tentang pentingnya peran Komisi Yudisial dan urgensi peradilan yang berintegritas.

2. Peran dan Tantangan Komisi Yudisial dalam Pengawasan Hakim.

2.1 Kedudukan, Fungsi, dan Wewenang Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial (KY) adalah lembaga negara mandiri yang dibentuk berdasarkan Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945. Pembentukan KY merupakan respons terhadap tuntutan reformasi hukum pasca-Orde Baru yang menginginkan adanya mekanisme pengawasan eksternal terhadap lembaga peradilan guna mewujudkan peradilan yang bersih dan berwibawa.

Fungsi utama KY meliputi:
* Pengawasan Perilaku Hakim: Menerima laporan dari masyarakat mengenai dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, melakukan investigasi, serta merekomendasikan sanksi.
* Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim: Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
* Seleksi Calon Hakim Agung: Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.
* Peningkatan Kapasitas Hakim: Melakukan upaya peningkatan kapasitas dan profesionalisme hakim.

Wewenang KY dalam menjalankan fungsinya mencakup:
* Menerima laporan atau pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim.
* Meminta informasi dan data dari pengadilan terkait laporan.
* Melakukan pemeriksaan dan investigasi terhadap dugaan pelanggaran.
* Memanggil hakim yang diduga melanggar untuk dimintai keterangan.
* Membuat rekomendasi sanksi kepada Mahkamah Agung atas pelanggaran kode etik.

2.2 Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagai Fondasi Integritas.

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) adalah seperangkat norma moral, etika, dan tata perilaku yang wajib ditaati oleh setiap hakim. KEPPH menjadi fondasi penting bagi integritas dan profesionalisme profesi hakim.

Dokumen ini memuat prinsip-prinsip dasar seperti kemandirian, integritas, kejujuran, keadilan, profesionalisme, dan kesopanan. KEPPH berperan vital karena:
* Menjadi Pedoman Perilaku: Memberikan arah bagi hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
* Melindungi Marwah Profesi: Menjaga kehormatan dan keluhuran martabat profesi hakim dari tindakan-tindakan tercela.
* Membangun Kepercayaan Publik: Menjamin bahwa hakim bertindak secara objektif, adil, dan tidak memihak, sehingga masyarakat percaya pada putusan pengadilan.
* Dasar Pengawasan: Menjadi tolok ukur bagi KY dalam melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim.

Pelanggaran terhadap KEPPH, seperti praktik suap, intervensi, kolusi, atau sikap yang tidak pantas, tidak hanya merusak citra individu hakim, tetapi juga melemahkan seluruh sistem peradilan dan meruntuhkan kepercayaan publik.

2.3 Tantangan dan Hambatan dalam Pelaksanaan Tugas Komisi Yudisial.

Meskipun memiliki mandat yang jelas, KY tidak lepas dari berbagai tantangan dan hambatan dalam melaksanakan tugasnya, antara lain:
* Keterbatasan Kewenangan: UU KY masih sering ditafsirkan membatasi kewenangan KY hanya pada pengawasan aspek etik, bukan pada substansi putusan hakim. Ini menimbulkan perdebatan dan tumpang tindih kewenangan dengan Mahkamah Agung (MA) yang juga memiliki pengawasan internal. KY tidak memiliki kewenangan eksekutorial langsung terhadap sanksi yang direkomendasikan, sehingga masih bergantung pada MA.
* Resistensi Internal Lembaga Peradilan: Adanya pandangan dari sebagian internal lembaga peradilan yang menganggap pengawasan eksternal KY sebagai bentuk intervensi terhadap kemandirian hakim. Ini seringkali menghambat proses investigasi dan tindak lanjut rekomendasi KY.
* Keterbatasan Sumber Daya: KY masih menghadapi keterbatasan dalam hal anggaran, jumlah sumber daya manusia, dan fasilitas pendukung yang memadai untuk melakukan investigasi yang komprehensif di seluruh wilayah Indonesia.
* Dukungan Politik dan Legislasi: Proses legislasi untuk penguatan KY seringkali berjalan lambat atau tidak sesuai harapan, menunjukkan kurangnya dukungan politik yang konsisten dari DPR dan pemerintah.
* Penerimaan Publik yang Beragam: Meskipun KY adalah lembaga yang dibentuk untuk publik, pemahaman dan penerimaan publik terhadap peran KY masih bervariasi. Beberapa rekomendasi KY yang kontroversial atau tidak ditindaklanjuti secara efektif dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga ini.

3. Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Fondasi Peradilan yang Berkeadilan.

3.1 Makna Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Konteks Bernegara.

Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, bukanlah sekadar pengakuan akan adanya Tuhan, tetapi merupakan fondasi filosofis dan moral bagi seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Sila ini mengandung nilai-nilai universal yang melampaui sekat-sekat agama, yaitu:
* Moralitas dan Etika Luhur: Mengandung prinsip bahwa setiap tindakan manusia harus berlandaskan pada nilai-nilai kebaikan, kebenaran, dan keadilan yang bersumber dari Yang Maha Tinggi.
* Tanggung Jawab Spiritual: Mengingatkan bahwa setiap individu, terutama penyelenggara negara, memiliki pertanggungjawaban tidak hanya kepada hukum dan manusia, tetapi juga kepada Tuhan atas setiap perbuatan.
* Kemanusiaan dan Universalitas: Menjunjung tinggi martabat setiap manusia sebagai ciptaan Tuhan, yang berarti harus diperlakukan secara adil dan bermartabat.
* Kejujuran dan Kebenaran: Mendorong pencarian kebenaran sejati dan menjauhi praktik kebohongan atau manipulasi.

Dalam konteks bernegara, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar bagi terciptanya masyarakat yang berakhlak mulia, menjunjung tinggi toleransi, dan menjamin keadilan sosial.

3.2 Implikasi Ketuhanan Yang Maha Esa terhadap Etika dan Moral Hakim.

Bagi seorang hakim, internalisasi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki implikasi yang sangat mendalam terhadap etika dan moralitasnya dalam menjalankan profesi.

Seorang hakim yang menghayati sila pertama akan menyadari bahwa:
* Keadilan adalah Perintah Ilahi: Memutuskan perkara dengan adil bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga perintah dari Tuhan Yang Maha Esa. Ini menuntut hakim untuk bersikap objektif, tidak memihak, dan tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau pihak manapun.
* Integritas dan Kejujuran Mutlak: Menjauhi segala bentuk korupsi, suap, atau praktik tercela lainnya karena menyadari bahwa setiap tindakan diawasi oleh Tuhan. Integritas menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar.
* Pertanggungjawaban Ganda: Hakim bertanggung jawab kepada rakyat, negara, dan juga kepada Tuhan atas setiap putusan yang diambil. Hal ini mendorong hakim untuk selalu berhati-hati, cermat, dan berlandaskan pada hati nurani.
* Empati dan Kebijaksanaan: Mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan keadilan substantif dalam setiap putusan, bukan hanya terpaku pada teks undang-undang semata. Kebijaksanaan diperlukan untuk mencapai keadilan yang sejati.
* Kemuliaan Profesi: Menyadari bahwa profesi hakim adalah profesi mulia yang mengemban amanah besar untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di dunia.

Dengan demikian, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi benteng moral terkuat bagi hakim, yang akan membimbing mereka untuk selalu berpihak pada kebenaran dan keadilan, bahkan di tengah godaan dan tekanan.

3.3 Peradilan yang Berkeadilan dalam Perspektif Ketuhanan Yang Maha Esa.

Peradilan yang berkeadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah peradilan yang tidak hanya sekadar menjalankan prosedur hukum secara formal, tetapi juga:
* Keadilan Substantif: Berusaha mencapai keadilan yang sesungguhnya bagi para pihak, bukan hanya keadilan prosedural. Ini berarti putusan hakim harus mencerminkan nilai-nilai kebenaran, kemanusiaan, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
* Bermoral dan Berintegritas: Seluruh proses peradilan, dari penyidikan, penuntutan, hingga putusan, dilakukan dengan menjunjung tinggi moralitas dan integritas. Tidak ada ruang bagi praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) atau rekayasa kasus.
* Menjunjung Tinggi Hak Asasi Manusia: Memperlakukan setiap pihak yang berperkara dengan martabat dan menghormati hak-hak dasar mereka, tanpa diskriminasi.
* Transparan dan Akuntabel: Proses peradilan dapat diakses dan diawasi oleh publik, serta setiap putusan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum.
* Orientasi pada Kebaikan Bersama: Putusan peradilan tidak hanya menyelesaikan sengketa individual, tetapi juga berkontribusi pada kebaikan bersama dan ketertiban masyarakat.

Dalam pandangan ini, KY memiliki peran penting tidak hanya sebagai pengawas formal, tetapi juga sebagai penjaga moral dan etika para hakim, memastikan bahwa praktik peradilan senantiasa sejalan dengan nilai-nilai luhur Ketuhanan Yang Maha Esa.

4. Peningkatan Peran Komisi Yudisial dalam Mewujudkan Peradilan yang Berkeadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Untuk meningkatkan peran KY dalam mewujudkan peradilan yang berkeadilan berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, diperlukan strategi komprehensif yang meliputi beberapa aspek:

4.1 Penguatan Kewenangan dan Mandat Komisi Yudisial.

Penguatan kewenangan KY adalah langkah fundamental untuk meningkatkan efektivitas pengawasannya. Ini bisa dicapai melalui:
* Revisi Undang-Undang KY: Merevisi UU KY untuk memperjelas dan memperluas kewenangan KY, termasuk kemungkinan pemberian kewenangan eksekutorial langsung terhadap sanksi pelanggaran kode etik tertentu. Ini akan mengurangi ketergantungan KY pada Mahkamah Agung dalam penindaklanjutan rekomendasi.
* Harmonisasi Aturan: Memastikan tidak ada tumpang tindih atau konflik kewenangan antara KY dan MA dalam hal pengawasan hakim, dengan menekankan bahwa KY adalah pengawas eksternal yang independen dan komplementer.
* Kewenangan Memeriksa Keabsahan Proses Seleksi Hakim Lain: Selain Hakim Agung, KY perlu diberikan kewenangan yang lebih jelas dalam mengawasi proses seleksi hakim di semua tingkatan, memastikan objektivitas dan integritas sejak awal.

4.2 Peningkatan Kapasitas dan Profesionalisme Anggota Komisi Yudisial.

Kualitas kerja KY sangat bergantung pada kapasitas dan profesionalisme anggotanya. Langkah-langkah yang perlu diambil meliputi:
* Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan: Menyediakan program pendidikan dan pelatihan yang komprehensif bagi anggota dan staf KY, mencakup aspek hukum, investigasi, analisis forensik, psikologi, serta etika dan moralitas. Pelatihan harus juga mencakup pemahaman mendalam tentang KEPPH dan implikasi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
* Rekrutmen Berbasis Meritokrasi dan Integritas: Memperkuat proses rekrutmen anggota KY agar lebih transparan, akuntabel, dan berbasis pada kompetensi serta integritas moral yang tinggi. Kandidat harus memiliki rekam jejak yang bersih dan pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai Pancasila.
* Penguatan Mekanisme Pengawasan Internal: Menerapkan kode etik yang ketat bagi anggota KY sendiri dan memiliki mekanisme pengawasan internal yang efektif untuk memastikan integritas dan akuntabilitas mereka.
4.3 Sinergi dan Kolaborasi Antar Lembaga Penegak Hukum
Kerja sama yang erat antarlembaga penegak hukum sangat penting untuk menciptakan sistem peradilan yang terpadu dan kuat:
* Koordinasi Strategis dengan Mahkamah Agung: Membangun mekanisme koordinasi yang lebih efektif dan transparan dengan Mahkamah Agung dalam penanganan laporan pelanggaran kode etik hakim, termasuk penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) bersama.
* Kerja Sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): Meningkatkan sinergi dengan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan, termasuk pertukaran informasi dan penanganan kasus bersama.
* Kolaborasi dengan Kejaksaan Agung dan Kepolisian: Membangun kemitraan strategis dengan Kejaksaan Agung dan Kepolisian dalam penegakan hukum terhadap oknum hakim yang terlibat dalam tindak pidana.
* Melibatkan Organisasi Profesi Hukum dan Masyarakat Sipil: Membuka ruang partisipasi yang lebih besar bagi organisasi profesi hukum (seperti PERADI, Ikatan Hakim Indonesia) dan masyarakat sipil dalam pengawasan peradilan, termasuk melalui mekanisme pelaporan dan advokasi.

4.4 Internalisasi Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pengawasan dan Etika Peradilan.

Untuk memastikan peradilan yang berkeadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, penting untuk mengintegrasikan nilai-nilai ini secara lebih mendalam:
* Pendidikan Etika Berbasis Agama/Moral: Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan etika yang menekankan nilai-nilai spiritual dan moralitas universal bagi seluruh hakim secara berkala. Ini dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, atau program pengembangan diri yang mengintegrasikan aspek spiritualitas dalam menjalankan profesi.
* Pengembangan Pedoman Perilaku yang Lebih Eksplisit: Merumuskan dan mensosialisasikan pedoman perilaku hakim yang secara eksplisit memuat derivasi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dalam setiap aspek tugas dan tanggung jawab hakim.
* Kampanye Kesadaran Publik: Mengadakan kampanye dan sosialisasi secara masif kepada masyarakat tentang pentingnya integritas peradilan dan peran Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan moral, serta mendorong masyarakat untuk berani melaporkan pelanggaran.
* Penghargaan dan Apresiasi: Memberikan penghargaan kepada hakim atau lembaga peradilan yang menunjukkan integritas dan profesionalisme tinggi sebagai bentuk apresiasi dan motivasi.

5. Penutup.

5.1 Kesimpulan.

Makalah ini menyimpulkan bahwa peningkatan peran Komisi Yudisial sangat fundamental dalam mewujudkan peradilan yang berkeadilan di Indonesia. KY, sebagai lembaga pengawas eksternal, memiliki potensi besar untuk menjaga integritas dan martabat hakim.

Namun, untuk mencapai efektivitas maksimal, KY masih menghadapi tantangan dalam hal kewenangan, sumber daya, dan dukungan.

Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya relevan sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai fondasi moral dan etika bagi peradilan yang berkeadilan. Peradilan yang didasari oleh Ketuhanan Yang Maha Esa adalah peradilan yang menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran, integritas, dan bertanggung jawab tidak hanya kepada hukum positif tetapi juga kepada Tuhan.

Penguatan KY memerlukan strategi komprehensif, yaitu: penguatan kewenangan dan mandat, peningkatan kapasitas dan profesionalisme anggota, sinergi dan kolaborasi antarlembaga penegak hukum, serta internalisasi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa secara lebih mendalam dalam setiap aspek pengawasan dan etika peradilan.

5.2 Saran.

Berdasarkan kesimpulan, beberapa saran yang dapat diajukan antara lain:
* Melakukan revisi undang-undang yang berkaitan dengan Komisi Yudisial untuk memperkuat kewenangan KY, termasuk mempertimbangkan pemberian kewenangan eksekutorial langsung terhadap sanksi pelanggaran kode etik tertentu.
* Meningkatkan anggaran dan sumber daya manusia KY secara signifikan untuk mendukung operasional dan investigasi yang komprehensif di seluruh wilayah Indonesia.
* Membangun forum koordinasi yang lebih intensif dan formal antara KY, Mahkamah Agung, KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian untuk menciptakan sistem pengawasan dan penegakan hukum yang terpadu terhadap oknum hakim.
* Mengintegrasikan pendidikan etika dan moral yang berbasis nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa secara berkelanjutan dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi calon hakim dan hakim aktif, serta seluruh aparat peradilan.
* Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi perilaku hakim dan melaporkan dugaan pelanggaran kepada KY, serta memastikan perlindungan bagi pelapor.

Secara detail peran KY, tantangannya, serta bagaimana Ketuhanan Yang Maha Esa dapat menjadi fondasi moral untuk peningkatan peran KY, yang tidak hanya menyentuh aspek hukum dan kelembagaan, tetapi juga aspek etika dan spiritual.

Penting untuk diingat bahwa “peradilan yang berkeadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” bukan berarti peradilan harus mengadili berdasarkan hukum agama tertentu. Melainkan, ini menekankan bahwa nilai-nilai universal yang terkandung dalam Ketuhanan Yang Maha Esa (seperti keadilan, kejujuran, dan integritas) harus menjadi landasan moral bagi setiap hakim dan proses peradilan secara keseluruhan, di luar batasan hukum positif semata. Ini adalah upaya untuk membangun karakter hakim yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga luhur secara moral dan spiritual.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed