oleh

Artikel: Reformulasi Legalitas Koorporasi di Indonesia

-OPINI-558 views

REFORMULASI LEGALITAS KORPORASI DI INDONESIA

(Antara Formilitas Hukum, Moralitas Prosedural, dan Integritas Institusional)

Oleh: Dr. H. Ikhsan Lubis, SH, SpN, M.Kn

(Ketua Pengwil Sumut Ikatan Notaris Indonesia dan Akademisi di Bidang Hukum Kenotariatan) dan Andi Hakim Lubis (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara)

 

Batas Tanggung Jawab Notaris Dalam Prosedur Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas

Perubahan Anggaran Dasar (AD) Perseroan Terbatas (PT) merupakan proses hukum yang memadukan aspek formal-administratif dan kewenangan kelembagaan yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) serta Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN). Tulisan ini mengkaji secara normatif dan filosofis batas tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta perubahan AD PT, khususnya dalam situasi kompleks seperti dualisme kepemilikan saham dan kepengurusan perusahaan. Kajian ini menegaskan bahwa peran notaris bersifat terbatas pada fungsi administratif dan formil, bukan sebagai penilai substansi materiil perubahan ataupun penyelesai konflik internal perusahaan. Perubahan AD diawali oleh inisiasi pemegang saham atau pengurus melalui forum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), yang keputusannya dituangkan ke dalam draft perubahan AD. Draft ini menjadi dasar bagi notaris dalam menyusun akta perubahan. Sebagai pejabat publik (public official), notaris wajib memastikan dokumen yang diserahkan sah secara administratif, memverifikasi identitas para pihak, serta membacakan dan menjelaskan akta secara terbuka, sesuai Pasal 16 ayat (1) UUJN. Namun, notaris tidak memiliki mandat menilai keabsahan materi keputusan RUPS atau legalitas pengurus ketika terjadi sengketa internal, kecuali terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, akta yang dibuat notaris tidak otomatis batal meskipun terjadi konflik internal atau dualisme pemegang saham.

Selanjutnya, dari perspektif filosofis, posisi notaris harus dilihat dalam kerangka prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan asas kepercayaan publik (public trust). Notaris berperan sebagai officium fidēlis, penjaga integritas hukum formil yang menjembatani transaksi hukum agar memperoleh legitimasi formal. Prinsip ini sejalan dengan asas kepastian hukum (legal certainty), di mana keabsahan formal akta harus dihormati sampai ada pembuktian sebaliknya melalui mekanisme peradilan. Dengan demikian, tindakan notaris yang berpedoman pada fakta hukum lahiriah dan dokumen resmi tidak dapat dianggap melanggar hukum atau etika jabatan kecuali terdapat bukti mens rea, yaitu niat jahat atau manipulasi yang disengaja.

Selain itu, berdasarkan pendekatan hermeneutik digunakan dalam analisis ini untuk menginterpretasikan norma hukum yang multitafsir akibat konflik internal korporasi. Norma Pasal 16 UUJN serta Pasal 21 dan 23 UU PT dimaknai secara sistemik dan proporsional. Meski perubahan AD belum mendapat pengesahan Kementerian Hukum dan HAM, status akta tetap sah secara internal antar pihak, meskipun belum mengikat pihak ketiga. Keterlambatan atau kegagalan pengesahan administratif bukan merupakan kesalahan notaris selama prosedur dan prinsip kehati-hatian telah dijalankan sesuai UUJN. Analisis skema prosedur perubahan AD memperlihatkan bahwa akta notaris merupakan bagian dari sistem hukum yang melibatkan banyak aktor—pemegang saham, pengurus, hingga lembaga administratif negara. Dengan demikian, dalam sistem ini, notaris berperan sebagai penghubung antara kehendak para pihak dan validasi formal akta. Notaris tidak berfungsi sebagai pengendali akhir keabsahan struktur internal korporasi. Oleh karenanya, menyalahkan notaris atas konflik internal atau dualisme kepengurusan merupakan pembacaan hukum yang reductionist dan berpotensi merusak integritas sistem hukum. Jabatan notaris bukanlah legal arbiter, melainkan registrar formal dalam struktur hukum Indonesia. Secara praktis, penegasan batas tanggung jawab ini penting untuk mencegah kriminalisasi pejabat publik yang menjalankan tugas sesuai prosedur, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang menggunakan jasa kenotariatan. Lebih jauh lagi, dalam konteks kebijakan, regulator dan aparat penegak hukum perlu merumuskan pedoman eksplisit yang membedakan tanggung jawab administratif notaris dari tanggung jawab substantif domain pengadilan atau otoritas administratif.

Merujuk kepada skema prosedur perubahan AD telah jelas mengalokasikan tanggung jawab yang tidak dapat disubstitusikan kepada pihak lain, dan  oleh sebab itu, keinginan untuk membebankan kesalahan administratif atau konflik internal pada notaris merupakan pendekatan hukum yang keliru dan bertentangan dengan prinsip keadilan prosedural (procedural justice). Selain itu, dengan membangun pemahaman lebih ratio legis  mengenai batas tanggung jawab notaris dalam perubahan AD PT. adalah merupakan tujuan utama dari pokok bahasan ini. Pembahasan ratio legis ini akan mendukung kebutuhan sistem hukum Indonesia untuk memastikan peran dan fungsi setiap aktor hukum secara jelas, sehingga menghindari over-criminalization pejabat publik yang bertugas berdasarkan prinsip good faith, due diligence, dan professional integrity. Dengan demikian, notaris tetap menjadi bagian penting dalam sistem peradilan dan administrasi hukum, namun dalam batas kewenangan yang diatur UUJN dan prinsip hukum umum.

Integrasi Partijen Acte dan Relas Acte dalam Konteks Tanggung Jawab Notaris

Pembahasan lebih lanjut menyoroti klasifikasi akta otentik menjadi partijen acte dan relas acte yang relevan dalam menentukan ruang lingkup tanggung jawab notaris, khususnya dalam pembuatan akta perubahan AD PT. Sebagaimana diketahui, dalam sistem hukum Indonesia, pemahaman jenis akta ini memiliki konsekuensi normatif dan filosofis yang signifikan terkait intensitas tanggung jawab jabatan notaris. Partijen acte adalah akta yang memuat pernyataan kehendak hukum para pihak yang secara aktif menghadap notaris. Akta perubahan AD PT yang disusun berdasarkan keputusan sah RUPS merupakan contoh partijen acte, karena mencerminkan manifestasi kehendak subyektif pihak berwenang secara hukum. Sebaliknya, relas acte adalah akta yang mencatat fakta objektif suatu peristiwa atau keadaan hukum yang dialami atau disaksikan notaris tanpa didasarkan pada pernyataan kehendak para pihak.

Perbedaan ini bukan hanya teknis, melainkan berdampak pada aspek tanggung jawab hukum notaris. selanjutnya, dalam partijen acte, tanggung jawab notaris terbatas pada pemenuhan prosedur administratif, seperti verifikasi identitas dan kelengkapan dokumen, serta memastikan pemahaman isi akta oleh pihak-pihak yang menghadap. Notaris tidak bertanggung jawab atas kebenaran materiil isi akta selama tidak ada bukti keterlibatan aktif dalam rekayasa fakta atau mens rea. Ratio legis yang dibangun dalam pembahasan ini sesuai Pasal 16 dan Pasal 44 UUJN serta yurisprudensi Mahkamah Agung (Putusan No. 702 K/Sip/1973) yang menegaskan tanggung jawab formal, bukan substantif, dalam partijen acte.

Sebagai ilustrasi, dalam contoh kasus PT. X, sekiranya akta perubahan yang disusun berdasarkan keputusan RUPS yang memenuhi syarat formil merupakan partijen acte. Oleh karenanya, tanggung jawab notaris terbatas pada aspek administratif formal, dan sengketa internal mengenai keabsahan keputusan RUPS menjadi ranah yudisial, bukan tanggung jawab notaris. Sebaliknya, akan berbeda akibat hukumnya dalam relas acte yang mencatat fakta objektif, notaris bertanggung jawab pada keakuratan pencatatan fakta. Kesalahan dalam pencatatan, meskipun tanpa niat jahat, dapat menimbulkan tanggung jawab hukum yang bersifat administratif, karena akurasi observasi merupakan kewajiban objektif notaris. Oleh sebab itu, pembedaan jenis akta ini memegang peranan penting dalam menentukan ruang lingkup kewenangan, beban hukum, dan perlindungan jabatan notaris.

Lebih jauh lagi, dari sisi filosofis, tanggung jawab notaris berlandaskan prinsip objective trust atau kepercayaan publik terhadap jabatan notaris sebagai pelaksana kewenangan negara menjaga integritas formil akta. Notaris bukan adjudikator konflik internal korporasi, melainkan registrar yang memastikan prosedur dan format hukum terpenuhi. Dengan demikian, interpretasi tanggung jawab notaris yang proporsional mencerminkan perlindungan asas kepastian hukum (legal certainty), proses hukum yang adil (due process of law), dan integritas jabatan. Analisis ini juga berimplikasi nyata terhadap praktik hukum kenotariatan maupun kebijakan hukum, dan secara teoritis pembahasannya dapat memperluas basis argumen bahwa legal liability harus dikonstruksi berdasarkan jenis akta dan fungsi normatif notaris. Meskipun demikian, secara praktis, keadaan ini juga seharusnya dapat mengarahkan aparat penegak hukum dan otoritas administrasi untuk membedakan tegas antara kesalahan prosedural dan substantif dalam penyusunan akta. Akhirnya, diperlukan kebijakan hukum terkait perlu menetapkan pedoman teknis yang eksplisit membedakan standar tanggung jawab notaris dalam partijen acte dan relas acte guna mencegah overcriminalization terhadap notaris.

Secara sistemik, integrasi jenis akta dalam analisis tanggung jawab notaris menjadi kunci memahami validitas dan kekuatan pembuktian akta, serta posisi hukum notaris dalam sistem peradilan. Dengan demikian, berdasarkan analisis hukum ratio legis diatas, terutama dikaitkan dengan perubahan AD PT, notaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas substansi keputusan RUPS selama kewajiban administratif UUJN telah dipenuhi dan tidak terbukti pelanggaran etik atau hukum. Pembedaan ini menjamin keadilan, proporsionalitas, dan kesesuaian dengan asas negara hukum demokratis.

Integrasi Fungsi Verleijden dalam Pelaksanaan Tanggung Jawab Notaris

Tulisan ini juga menegaskan kembali posisi strategis fungsi verleijden dalam tanggung jawab jabatan notaris, khususnya pada akta perubahan AD PT. Fungsi verleijden—istilah Belanda yang secara teknis berarti pengesahan resmi akta otentik oleh pejabat berwenang—merupakan dasar normatif eksistensi dan kekuatan hukum akta otentik, membedakannya dari akta di bawah tangan (onderhands). Fungsi ini bukan sekadar aktivitas administratif, melainkan manifestasi peran konstitusional notaris sebagai instrumen negara dalam menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selanjutnya, dalam akta perubahan AD, fungsi verleijden sangat krusial karena menegaskan formalitas kehendak para pihak serta menghubungkan dimensi privat perjanjian korporasi dengan pengakuan publik melalui administrasi hukum negara. Fungsi ini mewajibkan notaris melakukan verifikasi identitas, keabsahan dokumen, kesesuaian prosedur, serta membacakan dan menjelaskan isi akta sebelum penandatanganan, sesuai Pasal 16 UUJN yang menghendaki  Notaris harus bertindak jujur, mandiri, tidak memihak, dan menyimpan minuta akta secara tertib sebagai bentuk tanggung jawab etik dan hukum.

Menurut kajian ini, pelaksanaan fungsi verleijden oleh notaris harus dimaknai secara yuridis-filosofis sebagai bentuk tanggung jawab prosedural-formal yang melekat pada jabatan, di mana notaris bertindak sebagai pelaksana formal atas kehendak hukum para pihak tanpa turut menilai atau mengafirmasi isi substansialnya, kecuali terdapat indikasi manipulasi hukum yang menuntut kehadiran judgemental discretion dari notaris; dalam hal akta sebagai partijen acte, fungsi verleijden terbatas pada bentuk legalisasi formal kehendak subyektif, sedangkan dalam konteks relas acte, tanggung jawab notaris menjadi lebih substantif karena berhubungan langsung dengan fungsi constatering yang menekankan objektivitas pencatatan fakta, sehingga notaris dituntut untuk memastikan kebenaran keadaan secara faktual dan aktual, bukan hanya prosedural. Selain itu, fungsi verleijden notaris adalah tanggung jawab prosedural yang melekat dalam partijen acte, tanpa menilai substansi kecuali terdapat indikasi manipulasi hukum, sedangkan dalam relas acte, fungsi ini bersinergi dengan constatering, menuntut objektivitas observasi dan tanggung jawab substantif atas kebenaran fakta.

Pelaksanaan fungsi verleijden notaris secara tepat menentukan kekuatan pembuktian akta sesuai Pasal 1868 KUH Perdata, dan karenanya suatu akta yang memenuhi fungsi ini memiliki kekuatan pembuktian sempurna (perfecte bewijskracht) dan tidak dapat diganggu gugat semata karena adanya konflik substansi. Putusan Mahkamah Agung No. 451 K/Pid/2018 dan No. 458 K/Pid/2020 menegaskan bahwa notaris hanya dapat dimintai pertanggungjawaban jika fungsi verleijden notaris dilanggar secara nyata, seperti tidak membacakan akta, pemalsuan tanda tangan, atau manipulasi substansi dengan keterlibatan aktif notaris. Sebagai contoh dalam ilustrasi kasus PT. X, yaitu dalam posisi kasus di mana akta perubahan yang sah dan disahkan notaris melalui fungsi verleijden notaris tetap berlaku walaupun terjadi dualisme kepengurusan. Notaris dalam kedudukan jabatannya tidak berkewajiban menyelidiki atau menyelesaikan konflik substansi internal selama prosedur formal terpenuhi. Oleh karenanya, konflik internal tidak menghilangkan kekuatan hukum akta dan tidak menjadi dasar tuduhan kelalaian jabatan notaris.

Secara filosofis, fungsi verleijden notaris juga mencerminkan prinsip public trust terhadap notaris sebagai pelaksana kewenangan negara dalam memberikan legitimasi hukum terhadap kehendak privat. Sejalan dengan itu, dalam perspektif rechtsstaat, fungsi ini merupakan implementasi prinsip negara hukum, menjadikan akta sebagai instrumen hukum yang dapat diverifikasi, dapat ditelusuri, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Fungsi ini tidak sekadar prosedur teknis, melainkan wujud perlindungan hukum warga negara di bidang keperdataan sekaligus penjaga integritas sistem hukum nasional.

Pembatasan konseptual antara tanggung jawab formil dan materiil notaris penting untuk mencegah overcriminalization, khususnya dalam sengketa multidimensional, sehingga diperlukan pedoman teknis jabatan berbasis fungsi verleijden notaris dan constatering dalam kerangka kompetentiebegrenzing. Pernyataan ini secara yuridis-filosofis menegaskan bahwa distingsi antara tanggung jawab formil dan materiil notaris harus didasarkan pada pemahaman konseptual terhadap fungsi verleijden sebagai pelaksanaan kehendak hukum para pihak secara prosedural, dan fungsi constatering sebagai pencatatan fakta secara objektif; oleh karena itu, pembatasan tanggung jawab notaris harus dijalankan berdasarkan prinsip kompetentiebegrenzing, untuk menjamin kepastian hukum dan mencegah perluasan tanggung jawab jabatan secara ultra vires, terutama dalam konteks sengketa hukum lintas bidang yang berpotensi menimbulkan overcriminalization terhadap tindakan administratif yang bukan merupakan delictum hukum.

Dengan demikian, integrasi fungsi verleijden dalam pelaksanaan tanggung jawab notaris terhadap akta perubahan AD meneguhkan bahwa keabsahan akta diukur dari ketepatan prosedur formal, bukan dari hasil akhir keputusan korporasi. Penegasan ini menguatkan sistem hukum yang menempatkan notaris secara adil, proporsional, dan terukur dalam sistem nasional, sekaligus menjamin bahwa otentisitas akta tetap terlindungi sesuai prinsip legalitas dan keadilan prosedural.

Tanggung Jawab Formil Notaris  Antara Verleijden, Kewenangan, dan Kepastian Hukum

Tulisan ini menyimpulkan bahwa tanggung jawab notaris dalam akta perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas bersifat formeel dan administratif berdasarkan fungsi verleijden, sehingga tidak mencakup keabsahan substansi RUPS, kecuali terdapat pelanggaran hukum atau etik; pemetaan tanggung jawab jabatan berdasarkan klasifikasi akta diperlukan untuk mencegah overcriminalisering dalam praktik hukum korporasi. Pernyataan tersebut secara yuridis dan filosofis menegaskan bahwa tanggung jawab notaris dalam akta perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas bersifat formeel dan terbatas pada fungsi verleijden dalam kapasitasnya sebagai openbaar ambtenaar, sehingga tidak mencakup aspek materiële waarheid, kecuali bila terdapat pelanggaran etik atau indikasi rekayasa hukum, yang secara prinsip harus dibedakan secara sistematis melalui pendekatan hermeneutisch-functioneel demi menjaga rechtszekerheid dan mencegah overcriminalisering dalam jabatan notaris.

Selanjutnya, tulisan ini menyajikan analisis komprehensif terhadap tanggung jawab jabatan notaris dalam proses perubahan Anggaran Dasar (AD) Perseroan Terbatas (PT), dengan menelaahnya melalui pendekatan yuridis normatif, kerangka filosofis, serta tafsir hermeneutik atas norma-norma hukum yang berlaku. Pembahasan menitikberatkan pada batas tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta perubahan AD PT, khususnya dalam situasi kompleks seperti dualisme kepengurusan, konflik antar pemegang saham, dan sengketa legitimasi keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Kajian ini bertujuan menjawab pertanyaan krusial tentang sejauh mana akta yang dibuat notaris dapat dianggap sah dan mengikat, serta apakah notaris dapat dimintai pertanggungjawaban ketika muncul konflik substansi setelah akta dibuat, yaitu:

  1. Dimensi Yuridis: Fungsi Formil dan Batas Kewenangan

Secara normatif, tanggung jawab notaris dalam perubahan AD PT berakar pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), yang mengatur bahwa notaris wajib menjalankan tugas secara jujur, mandiri, tidak memihak, serta menyimpan minuta akta dan menjaga kerahasiaan isi akta. Dalam konteks ini, notaris berfungsi sebagai openbaar ambtenaar (pejabat umum), yang berwenang menuangkan kehendak hukum para pihak ke dalam bentuk akta otentik melalui prosedur yang dikenal sebagai verleijden. Fungsi ini menjadikan akta yang dihasilkan memiliki kekuatan pembuktian sempurna menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Selain itu, dalam hal perubahan AD PT, validitas akta notaris ditentukan oleh terpenuhinya syarat formil, yaitu: kehadiran pihak-pihak yang sah, verifikasi identitas, legalitas dokumen pendukung, serta pembacaan akta secara terbuka. Notaris tidak berkewajiban menilai keabsahan substansi keputusan RUPS atau menyelidiki konflik internal pemegang saham, kecuali apabila terdapat putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya. Oleh karena itu, selama akta dibuat sesuai prosedur, maka keberadaan dualisme kepengurusan tidak secara otomatis membatalkan keabsahan akta perubahan AD tersebut.

  1. Pendekatan Filosofis: Legal Certainty dan Due Process

Pendekatan filosofis memperkuat batas kewenangan notaris dengan menempatkan perannya dalam kerangka rechtsstaat (negara hukum), di mana prinsip legal certainty dan due process of law menjadi pondasi utama. Dalam sistem hukum yang menjunjung asas kepastian hukum, notaris tidak ditugaskan sebagai penafsir kebenaran materiil, melainkan sebagai penjaga validitas formil dari suatu peristiwa hukum. Peran notaris sebagai officium nobile (jabatan mulia) memberikan dimensi etik dan institusional terhadap kewajibannya untuk bertindak in bona fide dan ex officio, yaitu hanya berdasarkan fakta dan dokumen yang disampaikan kepadanya dalam kapasitas jabatan. Pembebanan tanggung jawab substansi di luar kewenangan notaris berpotensi merusak asas proporsionalitas dan keadilan prosedural dalam sistem hukum.

Posisi ini sejalan dengan teori trias officium yang sebelumnya pernah penulis kemukakan dengan  mengklasifikasikan jabatan notaris ke dalam tiga dimensi utama, yaitu: officium fidei (tanggung jawab moral/etik), officium legis (tanggung jawab normatif berdasarkan hukum), dan officium publicum (tanggung jawab administratif sebagai pejabat umum). Menurut kajian ini, pembatasan tanggung jawab notaris dalam perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas secara formil dan prosedural—yakni sebatas fungsi verleijden notaris dan tidak menjangkau kebenaran substansi keputusan RUPS—merupakan manifestasi dari officium legis. Notaris bertindak ex officio berdasarkan keabsahan formal dokumen dan fakta yang secara administratif dapat diverifikasi. Di sisi lain, keharusan notaris untuk bertindak jujur, tidak memihak, dan beritikad baik mencerminkan aktualisasi officium fidei. Adapun posisinya sebagai openbaar ambtenaar yang menciptakan akta otentik atas nama negara adalah wujud konkret dari officium publicum, yang mengharuskan notaris tunduk pada norma hukum dan prosedur kenotariatan secara ketat. Dengan demikian, pembebanan tanggung jawab di luar ranah verleijden, seperti keabsahan substansi RUPS atau konflik internal pemegang saham, bertentangan dengan batas ontologis jabatan yang telah ditegaskan melalui teori trias officium. Hal ini juga berpotensi merusak asas proporsionalitas dan keadilan prosedural, serta membuka ruang overcriminalisering terhadap jabatan notaris. Oleh sebab itu, penting adanya pembakuan pedoman teknis dan penyempurnaan regulasi berbasis officium doctrine, agar penegakan tanggung jawab jabatan tetap sejalan dengan prinsip rechtszekerheid, legitimasi hukum, dan perlindungan etik institusional dalam sistem hukum modern.

  1. Tafsir Hermeneutik: Adaptasi Terhadap Realitas Hukum yang Kompleks

Tidak dapat dipungkiri, dalam praktik, realitas hukum sering kali menghadirkan situasi abu-abu, terutama ketika terjadi konflik internal perusahaan, seperti dualisme pemegang saham atau ketidakjelasan struktur kepengurusan. Pendekatan hermeneutik dibutuhkan untuk menafsirkan norma-norma hukum secara kontekstual dan fungsional, termasuk Pasal 21, 23, dan 29 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) serta Pasal 44 UUJN. Dalam kerangka ini, akta perubahan AD tetap memiliki legitimasi selama dibuat sesuai prosedur formil, meskipun substansi RUPS yang mendasarinya kemudian disengketakan. Penafsiran hermeneutik terhadap norma kenotariatan menegaskan bahwa keabsahan akta bukan ditentukan oleh konsensus substansi, tetapi oleh validitas proses formil yang dijalankan notaris. Dengan demikian, tindakan notaris harus dibaca dalam konteks jabatan administratif hukum, bukan dalam ruang adjudikatif atau peradilan internal korporasi.

Menurut kajian ini, Penafsiran hermeneutik terhadap norma kenotariatan menegaskan bahwa keabsahan akta perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas bergantung pada prosedur formil, bukan konsensus substansi; notaris bertindak dalam ranah administratif, bukan adjudikatif. Dengan demikian, dalam konteks konflik internal korporasi yang kompleks dan sering kali menghadirkan grey area normatif, pendekatan hermeneutika hukum diperlukan untuk menafsirkan tanggung jawab notaris secara kontekstual dan fungsional, di mana keabsahan akta perubahan Anggaran Dasar bukan bergantung pada kesepakatan materiil RUPS, melainkan pada validitas prosedural yang dijalankan sesuai dengan kewenangan jabatan administratif notaris sebagaimana diatur dalam lex specialis kenotariatan dan hukum perseroan.

  1. Klasifikasi Akta: Partijen Acte dan Relas Acte

Pembedaan antara partijen acte dan relas acte merupakan prinsip dasar dalam struktur tanggung jawab jabatan notaris yang bersifat formal dan administratif. Dalam partijen acte, notaris menjalankan fungsi verleijden, yaitu memformalkan kehendak hukum para pihak ke dalam akta otentik tanpa memasuki wilayah keabsahan materiil dari substansi kesepakatan. Sebaliknya, dalam relas acte, tanggung jawab notaris sedikit lebih luas karena berkaitan dengan fungsi constateren atas peristiwa yang secara faktual disaksikan, namun tetap berada dalam ranah pembuktian formil dan bukan interpretasi hukum substantif.

Secara yuridis, validitas akta bergantung pada kepatuhan terhadap prosedur yang ditentukan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan bukan pada kebenaran materiil isi pernyataan para pihak. Oleh karena itu, bahkan dalam situasi adanya dualisme kepengurusan atau konflik internal dalam perseroan sebagaimana terjadi dalam kasus PT X, akta yang disusun notaris tetap memiliki kekuatan hukum selama disusun sesuai prosedur, tidak melanggar ketentuan administratif, dan tidak terdapat bukti rekayasa atau manipulasi yang dilakukan notaris secara culpa lata.

Selanjutnya, dalam perspektif filosofis, posisi notaris sebagai officium nobile mewajibkan pelaksanaan tugas yang in bona fide dan ex officio, hanya berdasarkan dokumen serta pernyataan hukum para pihak yang disampaikan secara terbuka dalam kapasitas resmi. Penuntutan tanggung jawab materiil atas isi yang tidak dalam kuasa notaris bertentangan dengan asas due process dan keadilan prosedural (procedural justice) dalam rechtsstaat. Notaris bukanlah penafsir kebenaran, melainkan penjaga validitas formal sebagai bagian dari sistem legal yang menjunjung asas legalitas, kepastian hukum, dan proporsionalitas kewenangan.

Dengan demikian, hasil kajian ini memperlihatkan bahwa beban tanggung jawab jabatan harus diletakkan secara proporsional sesuai karakter akta autentik, tanpa menarik notaris ke dalam ruang sengketa substansi yang berada di luar fungsi formal administratif. Hal ini bukan semata prinsip legal, melainkan cerminan inner morality of law yang menghendaki keteraturan, keadilan, dan akuntabilitas jabatan dalam tatanan hukum modern. “Dalam hukum, keadilan bukan lahir dari keberpihakan pada isi, tetapi dari kejujuran dalam prosedur dan ketulusan dalam jabatan; karena kebenaran dapat diperdebatkan, tetapi integritas dalam menjalankan hukum harus ditegakkan.”

  1. Implikasi Normatif dan Praktis

Tanggung jawab jabatan notaris memiliki sifat yang terbatas dalam koridor formil-prosedural, sebagaimana ditentukan oleh norma positif dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN). Dalam kerangka hukum yang berpijak pada asas rechtsstaat, posisi notaris tidak ditujukan untuk menilai atau menanggung konsekuensi dari kebenaran materiil substansi pernyataan para pihak, melainkan untuk memastikan bahwa setiap proses formalisasi dilakukan sesuai prosedur yang ditentukan secara legal. Oleh karena itu, batas antara tanggung jawab administratif dan substantif perlu ditegaskan secara doktrinal dan kelembagaan agar tidak terjadi distorsi atau perluasan tanggung jawab yang tidak proporsional.

Secara yuridis normatif, kegagalan untuk membedakan klasifikasi akta—antara partijen acte dan relas acte—serta fungsi yang melekat pada masing-masing, dapat mendorong terjadinya overcriminalization, yaitu kecenderungan mempidanakan notaris atas kesalahan substantif yang berada di luar kendali jabatannya. Realitas ini menunjukkan urgensi penyusunan pedoman teknis yang tidak hanya mendukung due diligence dan professional integrity, tetapi juga memastikan keberlangsungan sistem hukum yang adil dan fungsional.

Dari sudut filosofis, hal ini mencerminkan pentingnya prinsip good faith dalam jabatan hukum. Notaris sebagai officium nobile harus ditempatkan sebagai penjaga keabsahan formal dalam lalu lintas hukum perdata, bukan sebagai pengendali hasil akhir dari suatu kehendak hukum para pihak. Dengan menjaga proporsionalitas kewenangan dan tanggung jawab, sistem hukum dapat memelihara kepercayaan publik dan menjamin perlindungan terhadap jabatan hukum dari beban moral yang tidak seharusnya. Lex semper loquitur propter rationem legis — “Hukum selalu berbicara melalui nalar yang melandasinya.” Maka keadilan tidak dilahirkan dari beban yang tidak layak, tetapi dari kejelasan batas, kejujuran prosedur, dan kehormatan jabatan. Dengan demikian, hasil kajian ini menawarkan peta konseptual yang terintegrasi antara kerangka normatif dan landasan filosofis, yang menuntut restrukturisasi pedoman pengawasan dan pembinaan jabatan notaris agar selaras dengan prinsip proporsionalitas tanggung jawab, efektivitas kelembagaan, serta nilai-nilai dasar rule of law dalam sistem hukum modern.

Berdasarkan uraian dan analisis mendalam dalam hasil kajian ini, dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas (AD PT) bersifat formil dan administratif, serta terbatas pada pelaksanaan fungsi verleijden sebagai bagian dari tugas kenotariatan. Selama prosedur telah dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan, dan tidak ditemukan adanya pelanggaran hukum atau etik, maka notaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kebenaran materiil keputusan RUPS yang mendasari pembuatan akta.

Secara akademik, hasil kajian ini memberikan kontribusi ilmiah melalui integrasi pendekatan yuridis normatif, kerangka filosofis, serta tafsir hermeneutik dalam membingkai secara proporsional batas tanggung jawab notaris sebagai openbaar ambtenaar. Kesimpulan hasil dari kajian ini terletak pada pemetaan sistemik tanggung jawab jabatan berdasarkan klasifikasi akta dan diferensiasi fungsi verleijden notaris dan constateren, khususnya dalam dinamika konflik internal korporasi yang kerap menimbulkan implikasi hukum multidimensional. Selanjutnya, dalam rangka penguatan sistem hukum dan perlindungan jabatan, hasil kajian ini merekomendasikan:

  1. Penyusunan pedoman teknis nasional yang secara eksplisit membedakan jenis tanggung jawab jabatan notaris berdasarkan klasifikasi akta (partijen acte dan relas acte) dan fungsi yang melekat (verleijden vs constatering), guna menghindari perluasan tanggung jawab yang tidak proporsional (overextension of liability).
  2. Penguatan sistem perlindungan hukum dan kelembagaan terhadap notaris, melalui reformulasi kebijakan Majelis Pengawas dan pembentukan forum etik yang responsif terhadap sengketa jabatan yang timbul akibat konflik internal perusahaan.
  3. Peningkatan literasi hukum korporasi di kalangan pemegang saham, pengurus perseroan, dan pihak ketiga, agar memahami batas kewenangan notaris secara objektif, serta tidak mencampuradukkan tanggung jawab formal administratif notaris dengan kewenangan substantif organ perseroan.

Dengan implementasi saran tersebut, sistem hukum Indonesia akan semakin mampu menjamin legal certainty, fairness, dan proportional protection bagi para pelaku hukum, termasuk notaris yang memegang posisi strategis dalam tata kelola keperdataan dan korporasi. “Hukum tidak hidup dalam kertas, tetapi dalam keadilan yang terwujud dari kepatuhan pada batas dan kehormatan terhadap fungsi.” Demikianlah, pembatasan tanggung jawab notaris bukan bentuk pelepasan kewajiban, melainkan perwujudan asas rechtszekerheid dan perlindungan jabatan publik dalam struktur hukum yang adil dan rasional.

Tanggung Jawab Notaris dan Validitas

Merujuk analisis pembahasan dalam sistem hukum korporasi Indonesia, validitas suatu akta perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas (statutenwijziging) tidak semata-mata bergantung pada terpenuhinya syarat formil kenotariatan, melainkan terletak dalam integrasi multi-tiered legal process yang melibatkan otoritas internal (RUPS), pelaksanaan jabatan oleh notaris, dan rekognisi eksternal oleh negara melalui pengesahan Menteri Hukum RI. Secara yuridis normatif, peran notaris hanya mencakup domain administratif dan formalitas prosedural yang diatur secara limitatif dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), termasuk verifikasi identitas, pembacaan akta, serta pembuatan minuta sesuai ketentuan hukum positif.

Selanjutnya, dalam kerangka filosofis, posisi notaris harus dilihat sebagai officium nobile yang berfungsi bukan sebagai pengadil kebenaran materiil, tetapi sebagai pengawal legal formality dalam tatanan negara hukum (rechtsstaat). Oleh karena itu, menempatkan notaris dalam ruang pertanggungjawaban atas konflik substansi keputusan korporasi adalah bentuk disorientasi peran dan bertentangan dengan asas proporsionalitas tanggung jawab jabatan publik. Pemisahan tegas antara kewenangan administratif notaris dan wilayah otonomi organ perseroan mencerminkan konsep division of institutional responsibility, yang dalam doktrin kenotariatan menghindari terjadinya overcriminalization terhadap tindakan jabatan yang sejatinya telah dilaksanakan sesuai prosedur hukum. Hal ini juga sekaligus menegaskan bahwa tanggung jawab hukum haruslah diletakkan pada pihak yang secara legal construct memiliki kapasitas dan kontrol atas substansi peristiwa hukum, dan Dalam dunia hukum, keabsahan bukanlah hasil dari kehendak sepihak, melainkan hasil dari pertemuan tertib antara bentuk, fakta, dan pengakuan.

Dengan demikian, dalam konteks perubahan anggaran dasar PT, tanggung jawab notaris tidak meliputi aspek substansial keputusan korporasi, melainkan berhenti pada validitas prosedur. Penilaian terhadap kebenaran materiil, legalitas forum RUPS, maupun eksistensi konflik kepengurusan merupakan wilayah hukum korporasi substantif yang harus diselesaikan melalui mekanisme adjudikatif atau administratif yang berwenang. Dalam hal ini, keadilan hukum tidak diukur dari siapa yang menyusun akta, melainkan dari apakah sistem telah memberi ruang proporsional bagi setiap jabatan untuk bertanggung jawab sesuai batas fungsinya, dan berikut analisis lebih mendalam:

  1. Dimensi Yuridis‑Normatif

Hasil kajian ini menegaskan bahwa dalam konstruksi hukum positif Indonesia, kedudukan dan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas (PT) harus dibaca secara strictly normative dalam batasan peraturan yang mengatur jabatan kenotariatan. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) secara eksplisit mewajibkan notaris untuk menjalankan tugas dengan integritas, independensi, dan good faith, serta untuk menjaga ketertiban dan kerahasiaan minuta akta. Fungsi verleijden sebagai proses penguatan formal kehendak para pihak, ketika dilakukan oleh notaris dalam kapasitasnya sebagai openbaar ambtenaar, menghasilkan akta otentik yang memiliki kracht van bewijs sempurna sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata.

Namun demikian, kekuatan hukum tersebut bersifat formil, yaitu bergantung pada terpenuhinya unsur-unsur prosedural seperti kehadiran pihak yang sah, verifikasi identitas, legalitas dokumen, dan pembacaan akta. Dalam kerangka ini, tanggung jawab notaris tidak meluas pada aspek substansi dari keputusan RUPS, kecuali apabila terdapat putusan pengadilan inkracht yang membuktikan keterlibatan notaris dalam mens rea atau material falsification. Ketidakterpenuhan aspek administratif berupa pengesahan oleh negara bukan merupakan culpa notaris, tetapi merupakan akibat hukum dari ketidakterlengkapan syarat konstitutif yang tidak berada dalam ranah kendali notaris.

Selanjutnya, dapat disimpulkan akta yang disusun secara formil dan sah tetap memiliki validitas internal dalam struktur korporasi, meskipun tidak memiliki binding effect terhadap pihak ketiga tanpa pengesahan negara. Hal ini mencerminkan prinsip dasar bahwa kesahihan formil adalah domain tanggung jawab notaris, sementara keabsahan substansial adalah tanggung jawab korporasi dan otoritas negara. Dalam hukum, kejujuran prosedural adalah penjaga utama keadilan; dan jabatan yang setia pada prosedur adalah tiang yang menegakkan kepercayaan publik. Oleh karena itu, hasil kajian ini menekankan pentingnya tidak mencampuradukkan ranah tanggung jawab jabatan dengan kewenangan substantif korporasi. Perlindungan terhadap integritas jabatan notaris harus dijamin melalui penerapan norma secara objektif, bukan berdasarkan konsekuensi hukum yang berada di luar wewenangnya. Pendekatan yuridis normatif yang ketat justru memastikan bahwa fungsi notaris tetap menjadi penjaga netral tertib hukum, bukan objek kriminalisasi ketika norma dilanggar oleh pihak lain.

  1. Landasan Teori: Accessorium Sequitur Principale dan Separation of Legal Duty and Outcome

Tatanan hukum privat klasik yang menjadi fondasi sistem hukum Indonesia, validitas suatu akta derivatif—terutama dalam konteks perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas (PT)—memiliki ketergantungan mutlak terhadap keabsahan akta induk sebagai sumber legitimasi. Ketentuan Pasal 21 dan Pasal 23 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) menyatakan secara tegas bahwa perubahan AD baru memperoleh kekuatan hukum penuh setelah memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM. Sebelum itu, akta perubahan tersebut hanya memiliki internal validity, yang mengikat secara intra-korporasi, tetapi belum externally binding terhadap pihak ketiga atau sistem hukum secara luas.

Selanjutnya, dari perspektif normatif, asas separation of formal duty and legal outcome menjadi sangat relevan. Prinsip ini menegaskan bahwa tanggung jawab notaris dibatasi secara ketat pada domain formal duties, yaitu memastikan bahwa semua prosedur pembuatan akta telah dijalankan sesuai dengan norma jabatan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selama tidak terdapat pelanggaran prosedur, mens rea, atau misrepresentation, notaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas dampak hukum lanjutan yang merupakan konsekuensi administratif dari kegagalan korporasi untuk memenuhi syarat konstitutif.

Pendekatan filosofis memperdalam pandangan ini dengan menempatkan posisi notaris dalam kerangka rechtsstaat (negara hukum) yang menjunjung tinggi asas kepastian hukum (legal certainty) dan proporsionalitas tanggung jawab. Dalam kerangka tersebut, notaris bertindak sebagai officium nobile—jabatan yang mengemban integritas hukum—bukan sebagai adjudikator atas substansi kehendak para pihak. Pembebanan tanggung jawab substantif kepada notaris atas akta yang belum memperoleh pengesahan negara akan melanggar asas keadilan prosedural dan mereduksi nilai jabatan sebagai pelayan publik yang netral dan terbatas.  Selanjutnya, tanggung jawab jabatan bukan ditakar dari akibat yang di luar kuasanya, melainkan dari kesetiaan pada prosedur yang membentuk legitimasinya.

Dengan demikian, hasil kajian ini memberikan pijakan normatif yang kuat bahwa keabsahan formil akta merupakan domain tanggung jawab notaris, sedangkan keabsahan substantif dan legalisasi administratif tetap berada dalam lingkup otoritas negara dan kewenangan internal perseroan. Integrasi pendekatan normatif dan filosofis ini menghindarkan notaris dari praktik overcriminalization, serta memperkuat jaminan hukum atas jabatan yang bersifat prosedural, netral, dan profesional.

  1. Perspektif Filosofis: Legal Certainty, Due Process, dan Officium Fidēlis

Sebagaimana diketahui, dalam struktur rechtsstaat, keberlakuan dan legitimasi suatu akta perubahan Anggaran Dasar (AD) Perseroan Terbatas tidak hanya ditentukan oleh kehendak para pihak, tetapi oleh penghormatan terhadap prosedur hukum yang ditetapkan secara normatif. Notaris, sebagai officium nobile dalam sistem hukum, menjalankan peran sebagai penjaga formalisasi hukum, yang tugas utamanya bukan menilai substansi, tetapi menjamin bahwa setiap peristiwa hukum dituangkan dalam bentuk yang sah melalui prosedur yang telah ditentukan. Asas due process of law menegaskan bahwa setiap legalitas harus merupakan hasil dari pelembagaan yang sah—bukan sekadar ekspresi kehendak privat, melainkan hasil dari struktur hukum yang terorganisir dan dijalankan melalui jalur administratif yang absah. Dalam konteks ini, apabila suatu akta gagal memenuhi prosedur administratif yang bersifat constitutive, seperti pengesahan dari Menteri Hukum RI, maka akta tersebut mengalami ontological defect—cacat keberlakuan yang bukan berasal dari kesalahan isinya atau notaris yang menyusunnya, melainkan dari absennya rekognisi institusional yang memberi daya ikat eksternal.

Selain itu, dari pendekatan yuridis normatif, kegagalan administratif tidak serta-merta mengimplikasikan culpa pada notaris, sepanjang seluruh prosedur verleijden telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 16 dan Pasal 44 Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN). Sedangkan dari sudut pandang filosofis, kegagalan legitimasi akta lebih merupakan fenomena kegagalan sistem dalam memenuhi struktur hukum ideal, bukan kegagalan moral atau profesional notaris. Legitimasi hukum bukan sekadar perkara tanda tangan dan stempel, melainkan lahir dari kesetiaan terhadap proses yang membentuk keabsahan dalam sistem hukum.

Dengan demikian, hasil kajian ini memberikan pemahaman sistemik bahwa akta yang tidak memperoleh pengesahan negara hanya beroperasi dalam ruang privat (internally valid), dan tidak menimbulkan efek hukum publik. Tanggung jawab notaris tetap terbatas pada ruang formil administratif, dan sistem hukum dituntut untuk membedakan secara presisi antara error in procedure dan error in substance dalam menilai validitas serta pertanggungjawaban hukum.

  1. Pendekatan Hermeneutik: Tafsir Hukum Kontekstual dalam Realitas Korporasi yang Kompleks

Hasil kajian ini menegaskan bahwa dalam konteks konflik internal perseroan—seperti dualisme kepengurusan atau sengketa RUPS—penafsiran terhadap Pasal 21, 23, dan 29 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) serta Pasal 44 Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) harus dilakukan secara adaptif melalui pendekatan hermeneutik hukum. Penafsiran semacam ini mengakui bahwa norma hukum tidak dapat dilepaskan dari realitas faktual dan sosial yang melingkupinya. Makna hukum bersifat context-sensitive dan harus dibaca dalam terang peristiwa konkret serta struktur hukum yang berlaku. Selain itu, dalam kondisi di mana notaris menjalankan fungsi verleijden berdasarkan dokumen lahiriah yang sah, dan tidak terdapat pelanggaran terhadap kewajiban etik maupun hukum, maka legitimasi formil akta yang dihasilkan tetap harus diakui, meskipun substansi dari keputusan RUPS yang mendasarinya sedang disengketakan. Norma tidak dapat diberlakukan dalam ruang hampa, melainkan melalui pembacaan sistemik yang mempertimbangkan fungsi jabatan dan batas kewenangan.

Dari perspektif yuridis normatif, tindakan notaris yang telah sesuai dengan prosedur perundang-undangan memiliki presumption of legality, kecuali dibuktikan sebaliknya oleh pengadilan. Sementara itu, pendekatan filosofis melalui tafsir hermeneutik menjelaskan bahwa hukum yang hidup adalah hukum yang mampu beradaptasi terhadap fakta, dan bukan semata dogma yang beku dalam teks. Ketika realitas berubah, hukum tidak boleh membisu. Dalam ketidakpastian, prosedur yang dijalankan dengan itikad baik adalah jangkar legitimasi.

Dengan demikian, hasil kajian ini menggarisbawahi pentingnya distingsi antara validitas formil dan kebenaran substansial dalam menilai peran serta tanggung jawab notaris. Peneguhan legitimasi akta dalam situasi konflik internal korporasi menunjukkan bahwa sistem hukum harus bersandar pada prosedur yang dapat diverifikasi secara objektif, bukan pada ekspektasi materiil yang melampaui batas fungsi jabatan.

Berdasarkan pembahasan dan alasan-alasan pertimbangan dan pembahasan diatas, maka hasil kajian ini menempatkan tanggung jawab notaris dalam koridor hukum formal yang ketat, dengan dasar utama Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan Pasal 21, 23, serta 29 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT). Dalam konteks pembuatan akta perubahan Anggaran Dasar (AD) PT, peran notaris terletak pada fungsi verleijden sebagai openbaar ambtenaar, yang bertanggung jawab secara administratif dan prosedural, bukan substansial.

Ratio legis yang dikembangkan adalah akta notaris yang tergolong partijen acte memiliki validitas hukum selama dibuat berdasarkan verifikasi identitas para pihak, kehadiran yang sah, legalitas dokumen pendukung, dan pembacaan akta secara terbuka. Ketika unsur-unsur formil ini dipenuhi, maka akta memperoleh perfecte bewijskracht (kekuatan pembuktian sempurna) sebagaimana ditegaskan Pasal 1868 KUH Perdata. Oleh karena itu, ketika akta yang telah disusun secara sah tidak memperoleh pengesahan administratif dari Kementerian Hukum RI, maka kekuatan hukumnya hanya internally valid, tetapi externally non-binding—dan tidak serta merta mencerminkan adanya kesalahan atau mens rea dari notaris.

Secara normatif, notaris tidak diberi kewenangan untuk menguji keabsahan substansi keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau untuk menyelidiki konflik internal antara pemegang saham. Tugas tersebut merupakan wewenang lembaga peradilan atau otoritas administratif, bukan jabatan notaris. Penegasan pemisahan tanggung jawab ini selaras dengan prinsip separation of formal duty and legal outcome, yang memastikan bahwa jabatan publik tidak dipertanggungjawabkan atas hasil hukum yang lahir dari tindakan pihak lain di luar ruang kendalinya.

Secara filosofis, posisi notaris dalam kerangka rechtsstaat menuntut pengakuan terhadap asas legal certainty dan due process of law, yang memandang hukum sebagai sistem normatif yang beroperasi berdasarkan prosedur yang sah dan bukan pada interpretasi subjektif atas maksud dan tujuan materiil para pihak. Ketika notaris bertindak ex officio sesuai hukum, dan tidak terdapat bukti pelanggaran etik atau hukum, maka tanggung jawab hukum tidak dapat diarahkan kepadanya. Inilah titik di mana hukum menolak untuk menilai jabatan publik berdasarkan teleological outcome, dan hanya mengukur berdasarkan procedural legitimacy.

Pendekatan hermeneutik yang diadopsi dalam hasil kajian ini memperkaya perspektif yuridis dengan membuka ruang interpretasi kontekstual terhadap norma dalam situasi konkret, seperti dualisme kepengurusan atau konflik antarpemegang saham. Norma-norma Pasal 21, 23, 29 UU PT dan Pasal 44 UUJN perlu dibaca bukan secara tekstual semata, tetapi dalam terang struktur hukum yang dinamis dan berinteraksi dengan fakta sosial. Dalam kerangka ini, akta yang disusun berdasarkan dokumen formal yang sah tetap memperoleh legitimasi, selama officium nobile notaris dijalankan dengan itikad baik dan tanpa pelanggaran.

Contoh konkret, sebagaimana ditunjukkan sebagaimana diilustrasikan sebelumnya juga memperlihatkan bahwa ketidakterpenuhan proses pengesahan administratif oleh pihak perusahaan bukan disebabkan oleh kesalahan notaris, sehingga tidak menciptakan material falsification. Dengan demikian, akta tersebut tetap sah dalam relasi hukum antar subjek, walaupun belum memiliki kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.

Kontribusi ilmiah dari hasil kajian ini terletak pada penyusunan konstruksi konseptual baru yang mengintegrasikan tiga dimensi—normative law, legal philosophy, dan hermeneutic method—dalam mengidentifikasi dan membedakan tanggung jawab notaris secara sistemik berdasarkan jenis akta dan konteks jabatan. Kebaruan ini belum banyak dijabarkan secara metodologis dalam literatur hukum Indonesia dan menjadi fondasi bagi reformasi pengawasan jabatan serta standard operational framework yang lebih adil. Hukum yang adil bukan hanya yang mampu menghukum yang bersalah, tetapi juga yang mampu melindungi mereka yang telah bertindak benar. Dengan demikian, hasil kajian ini mengajukan seruan rasional dan normatif agar sistem hukum nasional membangun arsitektur tanggung jawab jabatan yang adil, berbasis fungsi dan prosedur, bukan persepsi atau tekanan akibat konflik korporasi. Jabatan notaris perlu dilindungi dari praktik overcriminalization, dan diberi fondasi etik serta perlindungan institusional agar dapat terus menjadi instrumen kepercayaan publik dalam penyelenggaraan administrasi hukum privat.

Void ab Initio: Analisis Interdisipliner atas Ketidakabsahan

Hasil kajian ini memperlihatkan relevansi penting antara ketertiban hukum formal dan makna substansial dari eksistensi dokumen korporasi dalam struktur hukum nasional. Secara yuridis normatif, disimpulkan bahwa keberlakuan perubahan anggaran dasar tidak cukup hanya bertumpu pada kesepakatan para pemegang saham, melainkan harus bersandar pada pemenuhan prosedural yang sah sebagaimana diatur dalam ius constitutum—terutama melalui mekanisme pengesahan atau pemberitahuan pada Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pelanggaran terhadap prosedur ini bukan sekadar irregularity, melainkan menciptakan ontological defect dalam status hukum akta itu sendiri.

Secara filosofis, hasil kajian ini menempatkan hukum bukan sebagai sekadar aturan teknis, melainkan sebagai symbolic order yang mewadahi legitimasi dan rasionalitas tindakan hukum. Oleh karena itu, ketidakabsahan akta yang tidak disahkan oleh otoritas yang berwenang mencerminkan kegagalan negara dalam menjaga kesakralan legalitas formal. Pandangan ini sejalan dengan legal hermeneutics, yang mengajarkan bahwa pemaknaan norma harus dibaca dalam konteks tujuan moral dan struktur fungsional hukum secara keseluruhan. Doctrine of nullity, yang menyatakan bahwa sesuatu yang cacat sejak awal tidak dapat menghasilkan akibat hukum, menjadi pusat analisis terhadap keberlakuan akta-akta yang bersumber dari dokumen induk yang telah dibatalkan secara hukum.

Lebih lanjut, pendekatan integratif yang ditawarkan dalam hasil kajian ini menunjukkan bahwa keterpaduan antara norma tertulis, struktur kelembagaan, dan nilai etis dalam filsafat hukum, merupakan kunci untuk membentuk sistem hukum yang tidak hanya coherent, tetapi juga legitimate dan responsive. Dengan demikian, gagasan hukum dalam konteks korporasi tidak cukup berhenti pada black-letter law, melainkan harus dikembangkan melalui pendekatan yang mengakui dinamika sosial, kebutuhan sistemik, dan prinsip due process of law.

Sebagai kontribusi terhadap legal scholarship, hasil kajian ini tidak hanya memperkenalkan penggunaan asas accessorium sequitur principale dalam konteks hubungan genealogis akta hukum, tetapi juga mengusulkan pembentukan mekanisme validity control dalam sistem administrasi hukum nasional, guna mencegah false legality yang dapat merusak public trust. Dalam terang pemikiran ini, hukum bukan hanya instrumen kekuasaan, tetapi refleksi dari tanggung jawab moral kolektif dalam menjaga keadilan dan kepastian hukum. Legalitas sejati bukan terletak pada bentuk dokumennya, melainkan pada proses sah yang melahirkannya; karena hukum bukan sekadar apa yang tertulis, tetapi apa yang dijalankan dengan integritas.

Dengan memadukan legal dogmatics, philosophy of law, dan interpretative analysis, hasil kajian ini membuka ruang dialog kritis terhadap praktik hukum korporasi yang sering kali mengabaikan legitimasi struktural. Dalam tatanan hukum modern, di mana administrative discretion kerap bersinggungan dengan kepentingan privat, diperlukan suatu kerangka teoritik yang menjamin bahwa setiap tindakan hukum lahir dari sistem yang sah, transparan, dan akuntabel. Selanjutnya, dalam tatanan rechtsstaat, perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas hanya memperoleh legitimasi hukum apabila seluruh prosedur formal—termasuk persetujuan melalui Akta notaris dan pengesahan oleh Menteri Hukum RI sebagaimana diatur dalam Pasal 21 dan 23 UU PT—telah terpenuhi. Hasil kajian menegaskan bahwa notaris berfungsi sebagai penjaga formalisasi hukum (officium legis dan officium nobile), hanya bertanggung jawab atas verifikasi prosedur seperti kehadiran para pihak, verifikasi identitas, dan pembacaan akta tanpa menjangkau substansi keputusan RUPS.

Jika dokumen perubahan AD tidak memperoleh pengesahan administratif, maka posisinya hanya internally valid dan tidak externally binding. Ini menegaskan prinsip yuridis klasik accessorium sequitur principale, serta asas separation of formal duty and legal outcome: notaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kegagalan legalisasi korporasi yang berada di luar batas kewenangannya. Filosofisnya, hukum yang sah adalah hukum yang melewati proses konstitutif, bukan sekadar hasil kehendak privat—karena prosedur formal adalah fondasi ontologis keberadaan entitas hukum, dan legalitas bukanlah produk deklaratif, tetapi hasil pelembagaan yang sah. Legitimasi hukum terbangun bukan dari isi suara, tetapi dari kesetiaan pada tata cara yang memberi makna hukum. Dengan demikian, hasil kajian ini menawarkan pandangan yang kuat bahwa tanggung jawab notaris hanya bisa dimaknai secara formil-prosedural, bukan substansial—sebuah pemahaman yang menghindarkan praktik overcriminalization terhadap jabatan notaris dan memperkuat rule of law serta kepercayaan publik terhadap sistem administrasi hukum korporat nasional.

Asas Accessorium Sequitur Principale dalam Validitas Akta Korporasi

Hasil kajian ini menegaskan esensi asas accessorium sequitur principale sebagai pijakan utama dalam menilai validitas dokumen hukum korporasi yang bersifat hierarkis dan kausal. Dalam konteks pembatalan yudisial terhadap akta induk, konsekuensi hukumnya tidak dapat dipandang parsial, melainkan harus dipahami secara sistemik sebagai void ab initio yang menular ke seluruh akta turunannya. Pendekatan integratif antara doktrin hukum perdata klasik, analytical jurisprudence, dan legal hermeneutics membuka paradigma baru dalam memahami legalitas perseroan yang tidak hanya berorientasi pada formalisme administratif, tetapi juga pada prinsip keadilan substantif dan kepastian hukum yang berkelanjutan.

Selain itu, dari perspektif normatif, pengabaian prosedur formal yang diwajibkan oleh Pasal 21 dan 23 UUPT bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan menimbulkan nullity yang fundamental, membatalkan seluruh rantai legalitas korporasi yang bersandar pada akta tersebut. Secara filosofis, konsep legal fiction yang tetap mempertahankan keberadaan akta batal dalam sistem administrasi negara merupakan suatu false legality yang berpotensi merusak rule of law, sehingga memerlukan penguatan mekanisme validity control yang bersifat substantif dan historis sebagai instrumen korektif.

Selanjutnya, hasil kajian ini memperluas dimensi pengertian res judicata pro veritate habetur, bukan sekadar menghormati putusan pengadilan, tetapi juga sebagai alat integrasi antara doktrin hukum dan administrasi negara guna menjaga konsistensi legalitas korporasi. Dengan demikian, fungsi Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) harus diperkuat sebagai gatekeeper terhadap keabsahan akta, menembus sekat formalitas dan menyentuh esensi proses hukum yang sah. Selain itu, dalam ranah filosofis, refleksi ini mengingatkan kita pada adagium klasik hukum: ex iniusta non oritur ius—dari sesuatu yang tidak sah tidak dapat lahir hak yang sah. Prinsip ini menjadi landasan filosofis yang menegaskan bahwa legitimasi hukum tidak mungkin dibangun di atas fondasi yang cacat, baik formil maupun materiil. Hukum bukan sekadar produk bentuk (form), melainkan hasil dari proses yang adil, transparan, dan berintegritas. Sebagaimana pernah dikatakan oleh Montesquieu: “Ubi societas, ibi jus”—di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Artinya, hukum harus mencerminkan realitas sosial yang berkeadilan, bukan sekadar rekayasa administratif yang menciptakan illusio juris atau ilusi hukum.

Relevansi Keabsahan Formil dalam Validitas Hukum Perseroan atas Legalitas Akta dan Struktur Korporat

Keberadaan perseroan sebagai entitas hukum bersandar pada legitimasi formil melalui prosedur hukum yang sah, bukan pada pengakuan sosial atau praktik faktual semata. Hasil kajian ini menegaskan bahwa validitas hukum perseroan tidak cukup dipahami sebagai formalitas administratif, melainkan sebagai fondasi ontologis keberadaan badan hukum, yang menjadi syarat konstitutif atas legalitas akta dan struktur korporat. Secara normatif, ketentuan dalam UU No. 40 Tahun 2007 (UU PT) yang mewajibkan pengesahan akta pendirian dan perubahan anggaran dasar oleh Menteri Hukum dan HAM (Pasal 7, 10, 21, dan 23) bukan sekadar prosedur administratif, melainkan merupakan constitutive requirement yang menentukan legal validity. Ketidakterpenuhan prosedur ini menghasilkan void ab initio, sehingga dokumen tersebut tidak pernah memperoleh kekuatan hukum. Sebagaimana dimuat dalam kajian sebelumnya dengan membatalkan akta induk dan seluruh akta turunannya yang tidak sah secara formil, sesuai asas accessorium sequitur principale.

Sejalan dengan itu, dari sudut pandang teori hukum, pandangan H.L.A. Hart dalam legal positivism relevan dengan menegaskan bahwa keberlakuan norma hukum tergantung pada rule of recognition—prosedur hukum yang mengesahkan keberadaan entitas hukum. Pengesahan Menteri Hukum RI berperan sebagai secondary rule yang menandai “kelahiran” badan hukum. Tanpa pengesahan, entitas korporat hanya merupakan legal fiction tanpa juridical force, dan keberadaannya tidak bisa dibenarkan melalui legitimasi faktual atau pencatatan administratif dalam Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH).

Secara filosofis, keberadaan entitas hukum merupakan konstruksi normatif (constructed legal reality) yang menuntut proses hukum yang sah sebagai sumber legitimasi, sebagaimana ditegaskan oleh John Rawls dalam teori procedural justice. Kegagalan memenuhi syarat formil menimbulkan ontological void dalam sistem hukum, menyebabkan seluruh akta turunan kehilangan legitimasi. Hal ini secara konseptual menghindarkan kita dari ilusi legalitas (normative illusion) yang dapat mendorong penyalahgunaan kekuasaan dan perbuatan melawan hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, terlebih jika disertai niat jahat.

Yurisprudensi Mahkamah Agung (Putusan No. 1951 K/Pdt/2017 dan No. 243 K/Pdt/2014) mengonfirmasi bahwa dokumen tanpa keabsahan formil tidak dapat menjadi dasar tindakan hukum yang sah dan tidak menimbulkan hak atau kewajiban. Hal ini mempertegas pentingnya verifikasi formal sebagai fondasi legalitas. Selain itu, dalam aspek normatif dan struktural, diperlukan rekonstruksi badan hukum melalui pengembalian legal standing pada akta pendirian yang sah,  sekaligus pembenahan sistem SABH agar berfungsi sebagai gatekeeper yang tidak hanya mencatat secara administratif tetapi juga melakukan verifikasi substantif dan delisting otomatis berdasarkan putusan pengadilan. Keadilan prosedural dan ketaatan pada hukum formal adalah tiang utama yang menopang integritas sistem hukum, tanpa kompromi terhadap keabsahan formil yang menjadi fondasi eksistensi badan hukum.

Antara Formalitas Kenotariatan dan Kebenaran Substansial dalam Sistem Hukum Korporasi

Tulisan ini membahas secara komprehensif tanggung jawab notaris dalam konteks validitas akta korporasi, dengan fokus pada ketegangan antara formalitas kenotariatan dan kebenaran substansial dalam sistem hukum perseroan terbatas di Indonesia. Validitas akta tidak dapat semata-mata dipahami dari aspek formalisme prosedural, melainkan harus dianalisis secara mendalam melalui perspektif yuridis normatif dan filosofi hukum yang integral. Hasil pembahasan dalam kajian ini menegaskan bahwa akta memenuhi persyaratan formal kenotariatan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 44 Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), meliputi kehadiran para pihak, penyusunan minuta, serta pencatatan protokol. Oleh karena itu, secara prosedural, akta tersebut valid dan tidak terdapat indikasi keadaan atau keterangan palsu pada tingkat formalitas, yang biasa disebut prima facie. Namun demikian, validitas formil ini tidak otomatis berimplikasi pada keberlakuan substantif akta sebagai instrumen hukum yang efektif dalam hukum perseroan terbatas.

Selain itu, dalam konteks hukum korporasi, perubahan anggaran dasar perseroan harus melalui pengesahan dan pendaftaran oleh Menteri Hukum dan HAM sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 21 dan Pasal 23 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Pengesahan ini merupakan elemen konstitutif yang menentukan rechtseffectiviteit atau daya ikat hukum akta terhadap pihak ketiga dan masyarakat luas. Tanpa proses ini, akta, meskipun valid secara formal, kehilangan kekuatan mengikat dan fungsi pembuktian substantif dalam hubungan hukum korporasi. Pendekatan normatif ini konsisten dengan teori hierarki norma Hans Kelsen yang menekankan perlunya norma hukum berjenjang dan berlandaskan pada norma superior agar memiliki keberlakuan. Filosofi hukum Gustav Radbruch mempertegas bahwa validitas hukum tidak hanya terpaku pada keberadaan formal dokumen, tetapi harus berakar pada keadilan dan legalitas institusional yang diakui. Dengan demikian, akta yang tidak disahkan menjadi legal fiction—sebuah dokumen formal yang “hidup di atas kertas” namun mati secara hukum. Pernyataan “kebenaran hukum tidak semata ditulis di atas kertas, tetapi ditakar oleh kesesuaian antara bentuk legal dan nilai legalitas” menggarisbawahi pentingnya integrasi antara form dan substansi dalam validitas hukum akta korporasi.

Validitas Akta dan Peran Notaris: Antara Administrasi Formal dan Legalitas Substantif

Sebagaimana dimaklumi, dalam konteks hukum perseroan Indonesia, fungsi notaris merupakan lex specialis dari pejabat publik yang dibatasi oleh kerangka normatif Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN). Hasil kajian ini menegaskan bahwa notaris bertindak sebagai penjaga formalitas (guardian of formality), yang berwenang memastikan terpenuhinya prosedur pembuatan akta secara administratif, namun tidak memikul tanggung jawab atas keabsahan substantif yang bersumber dari pengesahan atau pendaftaran dalam Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH). Berdasarkan ketentuan yang  diatur dalam Pasal 15 UUJN, kewenangan notaris mencakup pencatatan pernyataan para pihak secara autentik, tetapi bukan pengujian terhadap substansi hukum korporasi, termasuk ketaatan pada ketentuan Pasal 21 dan 23 UU PT tentang pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM. Oleh karena itu, kegagalan suatu akta dalam memperoleh juridical status yang sah bukanlah delictual liability dari notaris, sepanjang ia telah memenuhi standar prosedural dan verifikasi formil.

Namun, dari perspektif hukum perseroan, akta yang tidak memperoleh pengesahan konstitutif tetap tidak memiliki binding force terhadap pihak ketiga. Ia sekadar menjadi dokumen administratif—tanpa legal efficacy—dan tidak dapat dijadikan dasar perubahan struktur hukum perseroan. Ketidakterpenuhan unsur konstitutif ini mengakibatkan voidness ab initio, menciptakan kekosongan legalitas (legal vacuum) yang berisiko menimbulkan normative uncertainty dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum korporasi. Dari perspektif filosofis, legalitas suatu akta bukan sekadar hasil dari pencatatan formal, melainkan manifestasi dari procedural legitimacy. Dalam rule of law, setiap perubahan struktur entitas hukum mesti dilalui melalui proses hukum yang sah agar menghasilkan legitimasi ontologis dalam sistem hukum. Ketika prosedur diabaikan, hukum kehilangan otoritas normatifnya, dan akta menjadi sekadar artefak administratif tanpa daya ikat hukum.

Oleh sebab itu, pendekatan validitas akta harus dilakukan secara holistik, dengan memperhatikan relasi antara otentisitas dokumen (formal authenticity), peran notaris sebagai pelaksana administratif, serta legalitas substantif yang diperoleh melalui pengesahan resmi negara. Hanya dengan integrasi elemen-elemen ini, corporate legal governance dapat tegak pada prinsip due process of law dan legal certainty. Dalam hukum, bentuk adalah gerbang menuju substansi; namun tanpa substansi yang sah, setiap bentuk hanyalah bayang-bayang legalitas.

Validitas Akta Perseroan dan Konsekuensi Hukum Strukturalnya

Secara yuridis normatif, validitas suatu akta dalam sistem hukum perseroan Indonesia tidak hanya bergantung pada keberadaan dokumen secara fisik, melainkan ditentukan oleh terpenuhinya syarat konstitutif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Ketentuan Pasal 7 ayat (4), Pasal 10 ayat (9), Pasal 21, dan Pasal 23 UU PT menegaskan bahwa akta pendirian maupun perubahan anggaran dasar baru memiliki kekuatan hukum mengikat setelah memperoleh pengesahan atau pemberitahuan dari Menteri Hukum RI sebagai bentuk legalitas resmi dari negara.

Kegagalan dalam memenuhi ketentuan tersebut menempatkan akta, serta dokumen-dokumen turunan yang bersumber darinya, dalam kondisi null and void, atau batal demi hukum sejak awal (void ab initio). Dalam hal ini, penerapan prinsip accessorium sequitur principale menjadi dasar normatif yang menegaskan bahwa jika akta pokok (induk) dinyatakan tidak sah, maka seluruh akta turunan secara otomatis kehilangan legitimasi yuridisnya. Akibatnya, struktur korporasi yang dibentuk berdasarkan akta tidak sah tersebut berubah menjadi konstruksi hukum fiktif (legal fiction) yang tidak memiliki eksistensi hukum formal dalam kerangka rechtsstaat.

Konsekuensi ini membawa dampak luas dalam hubungan hukum privat maupun publik, karena entitas korporasi yang dibangun di atas fondasi yang batal tidak dapat menimbulkan hak dan kewajiban hukum yang sah, baik terhadap para pihak internal (pemegang saham, direksi, komisaris), maupun eksternal (mitra usaha, kreditor, negara). Dengan kata lain, ketidaksahannya bersifat menyeluruh dan struktural, mengakibatkan hilangnya dasar hukum dari segala tindakan hukum yang dilakukan oleh entitas tersebut.

Legalitas sebagai Produk Keadilan Prosedural

Dalam perspektif filsafat hukum, validitas hukum tidak dapat dilepaskan dari keteraturan prosedural (procedural regularity) yang menjamin keadilan prosedural (procedural justice). Legalitas bukanlah sekadar hasil akhir, melainkan buah dari proses hukum yang sah. Tanpa prosedur yang benar, hukum kehilangan legitimasinya dan berubah menjadi alat pemaksaan kekuasaan (law without procedure is not justice but coercion). Fungsi notaris dalam konteks ini—sebagaimana diatur dalam UU Jabatan Notaris—bersifat terbatas pada verifikasi formal, pencatatan pernyataan para pihak, serta penyusunan akta secara autentik. Notaris tidak bertanggung jawab atas keabsahan substantif dari isi akta yang memuat hasil RUPS atau perubahan anggaran dasar yang belum memperoleh pengesahan. Dengan demikian, validitas hukum substantif tetap berada dalam otoritas negara melalui mekanisme pengesahan administratif oleh Menteri, dan bukan merupakan ruang tanggung jawab notaris secara hukum.

Teori Hukum Korporasi dan Konsekuensi Struktural

Dalam teori hukum korporasi modern, akta pendirian merupakan constructum iuris—sebuah konstruksi hukum yang keberadaannya bergantung pada pengakuan formil dari sistem hukum positif. Mahkamah Agung dalam sejumlah yurisprudensinya secara konsisten menolak pengakuan terhadap struktur korporasi yang dibentuk tanpa akta yang disahkan secara sah. Hal ini menegaskan bahwa tanpa legitimasi formal, tidak ada dasar hukum untuk mengklaim keberadaan, struktur, atau kewenangan korporasi. Implikasi praktis dari hal ini adalah perlunya upaya hukum preventif dan korektif, seperti:

  1. Permohonan pembatalan akta tidak sah;
  1. Penyusunan ulang akta sesuai prosedur UU PT;
  2. Koreksi administratif terhadap data di SABH;
  3. Serta edukasi hukum berkelanjutan bagi notaris dan pelaku usaha agar tidak terjebak dalam praktik dokumentasi yang hanya sah secara de facto, namun tidak memiliki legitimasi de jure.

Pilar Legalitas dalam Tata Kelola Korporasi

Kerangka normatif dan filosofis dalam hasil kajian ini menegaskan bahwa legalitas akta dan struktur korporasi tidak dapat dipisahkan dari kepatuhan terhadap prosedur hukum yang ditentukan secara tegas oleh peraturan perundang-undangan. Legalitas bukanlah narasi administratif, tetapi pilar konstitutif yang menentukan apakah suatu badan hukum benar-benar lahir dalam sistem hukum nasional. Dalam konteks rule of law, hanya entitas yang terbentuk melalui proses yang sah yang memiliki eksistensi dan legitimasi hukum. Hukum yang tidak lahir dari proses yang benar adalah seperti bangunan megah yang didirikan tanpa fondasi—ia mungkin berdiri, tapi tidak pernah benar-benar ada.

Validitas Formil sebagai Fondasi Legalitas Korporasi

Hasil kajian ini menegaskan bahwa keabsahan formil dalam pendirian dan perubahan struktur perseroan tidak sekadar memenuhi prosedur administratif, melainkan merupakan grundnorm yang melahirkan eksistensi hukum dari suatu entitas korporasi. Dalam kerangka pemikiran Hans Kelsen, keberadaan perseroan bukanlah entitas faktual, melainkan konstruksi normatif yang hanya memperoleh validitas melalui pengakuan hukum formal. Oleh karena itu, akta pendirian yang tidak memperoleh pengesahan dari negara gugur keberlakuannya secara ontologis dan tidak dapat dijadikan legal foundation dalam pembentukan struktur korporasi.

Pendekatan realist jurisprudence ala Karl Llewellyn menunjukkan bahwa dokumen hukum yang tidak memperoleh recognition by the system tidak memiliki legal efficacy, meskipun tampak sah secara administratif. Akta yang tidak memperoleh pengesahan menjadi contoh konkret dari dokumen yang kehilangan binding force karena tidak terintegrasi ke dalam sistem pengakuan hukum formal negara. Dalam pandangan positivism John Austin, akta yang tidak memperoleh status sebagai positive law hanya menjadi pseudo-legal document tanpa kapasitas untuk menimbulkan akibat hukum. Lebih jauh, dalam perspektif inner morality of law sebagaimana dikemukakan oleh Lon L. Fuller, hukum yang tidak dilandasi oleh kejelasan, konsistensi, dan prospektivitas akan kehilangan legitimasi moral. Maka, struktur korporasi yang berdiri di atas akta tidak sah tidak hanya cacat secara hukum, tetapi juga menyimpang dari prinsip-prinsip keadilan prosedural yang melekat dalam rule of law. Ini memperkuat urgensi untuk menolak praktik-praktik formalitas semu yang menyesatkan publik dan sistem peradilan.

Secara kontraktual, menurut Frank H. Easterbrook dan Daniel R. Fischel, akta pendirian adalah nexus of contracts antara pemilik dan pengelola perusahaan yang hanya memperoleh enforceability apabila diakui oleh sistem hukum negara. Tanpa legalisasi formal, relasi keperdataan dalam korporasi tidak memiliki kekuatan institutional binding dan tidak dapat dijadikan dasar klaim atau pembelaan hukum yang sah. Sementara itu, teori responsive law dari Philippe Nonet dan Philip Selznick menggarisbawahi bahwa hukum yang hanya mengandalkan legitimasi prosedural, namun kehilangan integritas substansi, akan melahirkan jurang antara legal form dan legal substance. Akta yang tidak sah dalam pandangan ini menjadi wujud dari legal dissonance—keadaan hukum yang tampak formal namun kosong secara legitimasi sosial dan institusional. Maka, struktur yang berdiri di atasnya tidak hanya tidak sah secara normatif, tetapi juga berbahaya bagi ekosistem hukum dan kepercayaan publik.

Dalam terang refleksi ini, dapat disimpulkan bahwa validitas akta korporasi harus dipandang sebagai titik temu antara legal formalism, legitimacy, dan ethical proceduralism. Ketika satu unsur tidak terpenuhi, keseluruhan struktur hukum menjadi rentan, dan dalam praktiknya akan menimbulkan legal uncertainty serta konflik kepentingan antar pemangku kepentingan. Hukum tanpa prosedur yang sah bagaikan kontrak tanpa persetujuan, dan entitas tanpa pengesahan hanyalah bayangan legalitas yang tak berdaya dalam terang keadilan.

Kontribusi Ilmiah dan Signifikansi Kajian

Hasil kajian ini berkontribusi pada pengembangan ilmu hukum korporasi dengan mengintegrasikan pendekatan yuridis normatif dan filsafat hukum dalam satu bingkai analitik yang interdisciplinary. Kebaruan utama terletak pada penekanan bahwa keabsahan suatu entitas korporasi bukan hanya ditentukan oleh keterlibatan notaris atau penyusunan dokumen hukum, tetapi juga melalui recognition formal oleh negara sebagai syarat existential legality. Pendekatan ini menjembatani dikotomi antara legal formality dan substantive legitimacy, yang selama ini menjadi tantangan dalam praktik hukum korporasi Indonesia.

Saran Strategis

  1. Normatif-Prosedural: Diperlukan peningkatan pemahaman dan implementasi atas syarat-syarat konstitutif pendirian dan perubahan perseroan melalui edukasi dan penguatan sistem regulasi, termasuk kejelasan sanksi terhadap pelanggaran administratif yang berdampak substantif.
  2. Struktural-Digital: Perlu integrasi sistem digital yang tidak hanya mencatat keberadaan dokumen, tetapi juga memverifikasi keabsahan substantifnya melalui fitur automated validation dan real-time legal auditing dalam SABH.
  3. Preventif-Yudisial: Diperlukan mekanisme hukum untuk pembatalan akta tidak sah secara efisien, serta prosedur penyusunan ulang akta-akta korporasi sesuai dengan standar legalitas positif yang berlaku.
  4. Akademik-Profesional: Perlu penguatan kurikulum hukum korporasi di perguruan tinggi dan lembaga pelatihan profesi hukum agar mengintegrasikan pendekatan procedural justice dan institutional legitimacy secara utuh.

Sebagai hasil dari keseluruhan analisis yang dilakukan secara mendalam, sistemik, dan berbasis pendekatan yuridis normatif serta refleksi filosofis terhadap hukum korporasi Indonesia, kajian ini berhasil mengidentifikasi sejumlah temuan hasil pembahasan yang tidak hanya memperkaya khazanah pemikiran hukum, tetapi juga memberikan kontribusi aplikatif terhadap penguatan sistem hukum perusahaan di Indonesia. Temuan-temuan ini mencerminkan relasi yang erat antara prosedur hukum yang sah, eksistensi yuridis badan hukum, dan integritas kelembagaan dalam kerangka negara hukum. Berikut ini disajikan secara ringkas poin-poin kebaruan yang merepresentasikan kontribusi konseptual hasil kajian:

  1. Penegasan Asas Accessorium Sequitur Principale dalam Konteks Akta Korporasi

Hasil kajian menunjukkan bahwa prinsip accessorium sequitur principale tidak hanya relevan dalam perikatan perdata klasik, tetapi juga menjadi prinsip kunci dalam struktur keabsahan akta perseroan. Ketika akta induk tidak sah secara hukum, seluruh akta turunan kehilangan juridical basis—baik dalam aspek formil maupun substantif. Temuan ini menguatkan konsep bahwa keabsahan formal merupakan syarat cascading legality dalam struktur dokumen korporasi.

  1. Validitas Formil sebagai Syarat Ontologis Eksistensi Badan Hukum

Validitas formil bukan sekadar kepatuhan administratif, tetapi merupakan syarat ontologis bagi legal personality perseroan. Tanpa pengesahan dan pendaftaran dalam sistem hukum negara, keberadaan badan hukum hanyalah legal fiction. Ini menjadi titik kritis dalam mendefinisikan eksistensi korporat yang sah dalam sistem rechtstaat.

  1. Integrasi Teori Legal Positivism dan Procedural Justice dalam Validitas Hukum

Kajian ini berhasil membangun sintesis antara legal positivism (Hart, Kelsen) dan procedural justice (Rawls, Fuller), yang menegaskan bahwa hukum tidak hanya sah jika sesuai norma, tetapi juga adil jika dibentuk melalui due process of law. Keabsahan akta dinilai tidak cukup dari aspek bentuk, tetapi dari keterpenuhan mekanisme legal yang sah.

  1. Redefinisi Peran Notaris: Dari Substansi ke Formilitas

Dipertegas bahwa tanggung jawab notaris bersifat administratif, yaitu memastikan terpenuhinya syarat formal dan autentikasi. Notaris bukan penjamin sah tidaknya substansi struktur korporasi atau pengesahan oleh negara. Ini membawa dampak terhadap batas tanggung jawab hukum dan etik notaris dalam akta-akta perseroan.

  1. Konsep Validity Control terhadap Akta dalam Sistem SABH

Sebagai solusi atas lemahnya sistem pengawasan, dikembangkan gagasan validity control berbasis ex post verification terhadap akta yang telah tercatat di SABH. Model ini menjadi bentuk konkret dari responsive legal enforcement untuk menjamin integritas data hukum nasional dan menghindari penggunaan dokumen korporasi ilegal.

  1. Model Simbiosis Legal Form dan Legal Substance dalam Legalitas Akta

Kajian ini menawarkan pendekatan baru bahwa legalitas bukan hanya berdasarkan legal form (akta otentik), tetapi juga pada substansi hukum yang sah dan konsisten dengan struktur normatif. Ketidaksesuaian antara keduanya adalah root cause dari timbulnya struktur fiktif dan konflik hukum dalam praktik korporasi.

  1. Rekomendasi Reformasi Struktural terhadap Sistem SABH

Disarankan integrasi antara SABH dengan sistem deteksi otomatis terhadap akta cacat hukum, berbasis putusan pengadilan atau pembatalan administratif. Hal ini tidak hanya mencegah munculnya phantom corporations, tetapi juga memperkuat rule of traceability dalam penataan sistem hukum modern.

  1. Paradigma Baru dalam Studi Hukum Korporasi Indonesia

Disajikan model analisis multidimensi yang menggabungkan:

  1. Pendekatan normatif-positivistik (berbasis UU PT),
  1. Analisis filosofis-ontologis (eksistensi dan keabsahan entitas hukum),
  2. Kajian komparatif-teoretis (perbandingan sistem hukum dan teori korporasi internasional), serta
  3. Aspek praktis-aplikatif (dampak litigasi, kebijakan publik, dan penguatan notariat).

Refleksi: Hukum tanpa prosedur adalah kekuasaan yang dibungkus legalitas semu; dan perseroan tanpa legitimasi hanyalah institusi bayangan yang hampa dari roh hukum.(Justice without legality is illusion; legality without procedure is tyranny in disguise.)

Dengan reformasi menyeluruh dalam kerangka yuridis, administratif, dan konseptual sebagaimana dipaparkan, sistem hukum korporasi Indonesia dapat diarahkan menuju tatanan yang menjunjung tinggi rule of law, menjaga kepastian hukum, serta membangun integritas dalam struktur dan dinamika entitas hukum. Dalam sistem yang sehat, prosedur bukan sekadar formalitas—ia adalah fondasi eksistensial yang menjiwai keberlakuan hukum itu sendiri. Legalitas bukanlah atribut yang melekat karena niat baik, tetapi capaian yang diperoleh melalui kepatuhan terhadap prosedur dan kejujuran terhadap norma; karena keadilan bukan hadir dari maksud, melainkan dari jalan yang dilalui. []

 

 

 

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed